Senin, 28 April 2014

Peringati Harlah, Fatayat NU Pakistan Gelar Diskusi Keindonesiaan

Peringati Harlah, Fatayat NU Pakistan Gelar Diskusi Keindonesiaan

Islamabad, NU Online
Dalam rangka merayakan hari lahir atau Harlah Fatayat
NU ke-64, komunitas Fatayat NU Islamabad menggelar
acara diskusi keindonesiaan bekerjasama dengan
Departemen Keilmuwan Perhimpunan Pelajar dan
Mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan di kediaman Otto
Ghani di Sector F-8/1 House 28 Islamabad, Sabtu (26/4)
sore waktu setempat.
Suasana cuaca Pakistan yang mulai panas rupanya tidak
menyurutkan semangat panitia dan hadirin karena tema
yang diangkat adalah seputar peran wanita dalam
konteks Islam Nusantara. Hadir sebagai pembicara, Siti
Marina (Ahli Madya Pariwisata dan Sarjana Ilmu Politik,
Universitas Indonesia) yang membawakan tema
merefleksikan peran wanita dalam sejarah pada konteks
Enterpreneurship. Dan pembicara kedua adalah Lia
Kholifah yang mengangkat tema peran wanita dalam
strategi dakwah kekinian.
Dalam pemaparannya, Lia Kholifah yang juga aktivis
keilmuwan di Fatayat NU Pakistan tersebut menegaskan
bahwa dalam agama, wanita itu memiliki tiga aspek
tugas terpenting yakni tugas alamiah, tugas manziliyah
(domestic duty) , dan tugas kemasyarakatan ( social duty)
.
Ketiga peran tersebut mempunyai korelasi erat satu
sama lain, ibarat man behind the scene, seorang ibu
mempunyai peran penting yang memang kadang tak
terlalu nampak kerjanya, tapi hasilnya bisa terlihat pada
bagaimana kualitas keturunannya, bagaimana hasil
support pada suaminya, dan bagaimana interaksinya
pada masyarakat.
Islam memuliakan wanita dengan batasan-batasan yang
ada memang untuk mempunyai peran ini, dan wanita
dituntut untuk tetap bisa berjalan proporsional.
“Batasan-batasan yang diberikan Al-Qur’an pada wanita
bukanlah untuk mengikat ruang gerak, justru inilah
posisi wanita, menjadi tokoh di balik layar untuk
kesuksesan suami, kesuksesan keturunan menjadi
pribadi berkualitas, dan kesuksesan jalur dakwah di
masyarakat, ingatlah pada pepatah al ummu madrosatul
uulaa , ibu adalah sekolah yang pertama. Konotasi ini
menunjukkan urgensi peran wanita,” tegasnya.
Sebagai contoh konkrit peranan seorang wanita sebagai
Istri ialah Khadijah RA sebagai istri baginda Rasulullah
SAW. Karena wanita merupakan sosok yang berarti di
balik kesuksesan seorang pria. Untuk memenuhi support
ini, wanita perlu dibekali nalar keilmuwan dan intelektual
yang tinggi. “ Waroo’a kulli rojulin adzhiim imro’atun
soolihatun,” ujarnya.
Adapun bilamana seorang wanita berkenan untuk
mengabdikan dirinya pada masyarakat umum bukanlah
sebuah masalah selama kewajiban primer sudah
terlaksana dan izin dari suami sudah didapatkannya.
Sementara Siti Marina yang membawakan topik peran
wanita dalam enterpreneurship menegaskan bahwa
dalam era globalisasi yang kompetitif ini, kemampuan
membaca kesempatan adalah hal penting yang ranah
tren ekonomi global. Seperti yang diungkapkan Ibu Lia,
ibu Marina juga menegaskan dalam kodratnya sebagai
wanita, tidak membatasi wanita untuk menjadi sosok
pebisnis dan tentunya melihat porsi-porsi yang
ditentukan dan melihat skala prioritas.
Pada sesi tanya jawab, Ahyani Billah seorang peserta
yang juga perwakilan dari PIP PKS Pakistan menanyakan
tentang kiat memilih sekolah yang tepat untuk anak,
berangkat dari ketakutan pada isu kekerasan seksual
yang ramai terjadi di tanah air belakangan ini.
“Kita sepatutnya selektif, dengan mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya tentang sekolah-sekolah,
memang banyak sekolah dengan isu dan kasus-kasus
tersebut, tapi tidak sedikit juga sekolah-sekolah di tanah
air yang baik. Pendidikan pesantren juga sekarang-
sekarang ini sudah komprehensif silabusnya, bisa jadi
pilihan,” jawab Lia.
Ditanya tentang isu kesetaraan gender, Lia menjawab
bahwa dalam agama, wanita sudah ada porsinya, namun
ada beberapa lini yang memungkinkan wanita
mendapatkan hak yang sesuai dengan laki-laki,
sepanjang tidak melenceng dari aturan syar’i. Mariana,
yang akrab dipanggil bu Nana juga menambahkan bahwa
wanita sah-sah saja menjalani aktivitas serupa dengan
laki-laki dalam karir, tapi tentunya melihat kapasitasnya
juga sebagai ibu rumah tangga, jangan sampai di luar
dia unggul tapi kualitas anak dan kinerja suami tak
didukung.
Ahmad Badruddin, Rais Syuriyah PCINU Pakistan
menuturkan bahwa local wisdom nusantara menghargai
eksistensi wanita, dari sejak Islam datang, kultur
nusantara meletakkan wanita dalam posisi yang
dimuliakan, tidak seperti kultur Arab yang kental dengan
nuansa patriarki. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya
peran wanita dalam berbagai bidang di tanah air.
“Jadi ya..sebaiknya wanita Indonesia bangga dan
menghargai tradisinya sendiri, tidak perlu lah
mengadopsi budaya kearabanyang berlebihan dan
mengikat dan kebablasan mengisolir ruang geraknya.
Kartini hanyalah simbol salah satu pejuan hak-hak
intelektual pada wanita, banyak lagi pejuang yang lain,
jadi kita refleksikan saja semangat itu pada konteks saat
ini,” tambahnya. Ia juga memberikan apresiasi yang
besar kepada fatayat NU Pakistan yang sukses aktiv
menghidupkan nuansa keilmuwan dan keagamaan di
Pakistan.
Dalam closing statement yang disampaikan oleh
pembicara, Lia menuturkan, “Kita memang tidak boleh
memimpin, tapi kita bisa mensupport seorang pemimpin,
kita bisa mendidik calon pemimpin, dan melahirkan
generasi pemimpin,” ujarnya, disambut riuh tepuk tangan
antusias para hadirin.
Nana melanjutkan, “Menjadi wirausaha harus ada niat
dab kemauan yang kuat jangan pantang menyerah, untuk
muslimah harus tetap dalam koridor Islam dengan tidak
melupakan kodrat sebagai seorang istri dan seorang ibu,
semoga menginspirasi kawan-kawan sekalian untuk
terus mencoba,” tambahnya.
Ditanya tentang kesannya pada acara tersebut, ketua
Tanfiziyah PCINU Pakistan Firman Arifandi menegaskan,
“Fatayat NU yang dinahkodai bu Fina Fandini dan
saudari Ummi Salamah sudah berhasil menghidupkan
hak-hak intelektual untuk kalangan wanita, misi
selanjutnya memasarkan Islam nusantara yang tasamuh,”
ujarnya, singkat.
Acara yang berlangsung 2 jam itu sangat hidup dan sarat
diskusi keilmuwan. Antusias dari WNI dan mahasiswa
yang hadir untuk tanya jawab sehingga sesi tanya
jawabpun ditambah oleh saudari Muna selaku
moderator.
Hadir dalam acara tersebut sejumlah warga Indonesia di
Pakistan, sejumlah staf KBRI, dan juga sekitar 50 orang
Mahasiswa yang terhimpun dalam PPMI. Tak kalah
meriahnya, hadir juga ketua PIP-PKS Pakistan saudara
Muhammad Irfan Abdul Aziz, ketua Muhammadiyah
Pakistan saudara Hatta Fahamsyah, perwakilan dari
PERSIS cab Pakistan bapak Ahmad Faruki, dan ketua
perhimpunan masyarakat Pasundan di Pakistan saudara
Zulfikr. Acara ditutup dengan potong kue untuk simbolik
harlah Fatayat NU. (Red: Anam)

Sumber: NU Online
Terbitan (Ahad, 27/04/2014 13:40)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar