Kiai Said: NU Tak Ada Tendensi Politik dalam Menyikapi RUU Pilkada
Jakarta, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan, NU tidak memiliki tendensi politik dalam sikapnya mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD karena hal itu sudah diputuskan pada munas NU 2012 di Cirebon, bukan mensikapi perdebatan di DPR yang saat ini sedang mengemuka.
Kiai Said menjelaskan, para ulama dalam forum musyawarah NU tertinggi setelah muktamar ini menilai, baik pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung masing-masing memiliki kelemahan. Para kiai NU tersebut mengalami langsung kondisi di lapangan efek negatif yang ditimbulkan oleh pilkada langsung ini dan berkesimpulan, pilkada langsung lebih banyak mudharatnya, terutama terkait dengan biaya yang besar dan konflik horisontal.
“Ini merupakan keputusan para ulama sepuh yang dengan jernih menilai, mudharat pilkada langsung sudah jelas, sementara manfaatnya belum tentu tercapai,” kata Kiai Said di gedung PBNU, Jum’at (12/9).
Terkait dengan sejumlah tokoh bersih yang terpilih melalui pilkada langsung seperti Tri Rismaharini, Jokowi, Azwar Anas, Ridwal Kamil dan lainnya, jumlah mereka masih bisa dihitung dengan jari dibandingkan dengan pemimpin daerah yang terkena korupsi. Beberapa pemimpin daerah yang terjerat kasus korupsi oleh KPK diantaranya, Bupati Bogor, Bupati Kerawang, Bupati Biak Numfor dan lainnya.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan pada pada Mei 2014 lalu menyebutkan sudah terdapat 325 kepala daerah yang terjerat hukum, baik masih berstatus tersangka atau sudah menjadi narapidana.
“Untuk bisa terpilih dalam pilkada, minimal harus mengeluarkan 15 milyar, atau pemimpin yang benar-benar dicintai oleh rakyat seperti Pak Jokowi,” kata Kiai Said.
Kiai Said menambahkan, “Kalau di PBNU, perbedaan pendapat pilihan politik dianggap sebagai hal yang biasa, tetapi belum tentu masyarakat di daerah bisa bersikap sama.”
Sikap NU ini, kata Kiai Said, akan terus dipegang selama belum ada keputusan baru dalam forum yang setara atau di muktamar sebagai forum permusyawaratan tertinggi organisasi.
Berikut hasil bahtsul masail maudluiyyah pemilukada dalam perspektif Islam dalam Munas NU Cirebon, 15-17 September 2012
1. Pemilukada yang didasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tujuan yang sangat mulia, antara lain:
a. Melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat luas dalam memilih pemimpin di daerahnya. Dengan demikian, ini merupakan pendidikan politik bagi masyarakat dalam berdemokrasi.
b. Terpilihnya kepala daerah yang aspiratif yang memahami betul problematika masyarakat dan pemecahannya.
Tujuan mulia ini dapat disebut dengan kemaslahatan (mashlahah) yang hendak diraih dengan pemilukada.
2. Dalam praktek pelaksanaan pemilukada selama ini, dampak positif (mashlahah) yang diharapkan tidak selalu terbukti. Bahkan sebaliknya, dampak negatif (mafsadah), baik dalam proses maupun dalam produknya, telah terjadi dalam skala yang sangat mencemaskan.
3. Pendidikan politik yang diberikan kepada rakyat melalui pemilukada bukanlah pendidikan politik yang sehat, melainkan pendidikan politik yang buruk, antara lain berupa merebaknya money politics (risywah siyasiyyah). Biaya pemilukada menjadi sangat mahal, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi para kandidat. Hal ini sangat potensial untuk menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, membuktikan kebenaran hal ini.
4. Harapan untuk memperoleh kepala daerah yang terbaik (ashlah) melalui pemilukada, lebih sering tidak terwujud dalam kenyataan. Sementara itu konflik horizontal akibat pemilukada telah menjadi kenyataan yang sangat memprihatinkan.
5. Mengingat mafsadah pemilukada merupakan mafsadah yang sudah nyata terjadi (muhaqqaqah), sedangkan mashlahahnya lebih sering maslahat semu (wahmiyyah), maka pemilukada wajib ditinjau kembali. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghilangkan kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan.” (Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1403 H, h. 87).
6. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati dan walikota melalui lembaga perwakilan (DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II) layak untuk diberlakukan kembali, karena terbukti mafsadahnya lebih kecil daripada mafsadah pemilukada. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang ditempuhnya madharat yang lebih ringan di antara dua madharat (irtikab akhaff al-dlararain) yang didasarkan pada kaidah fiqhiyyah:
اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
“Apabila ada dua mafsadah saling bertentangan maka harus diperhatikan mafsadah yang lebih besar bahayanya dengan memilih mafsadah yang lebih ringan madlaratnya” (Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1403 H, h. 87). (mukafi niam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar