Dilema Formalisme Syariat dan Konstitusi Negara-(Pelajaran Nabi)
Oleh: M. Luqman Hakiem *)
Rupanya gerakan formalisasi syariat Islam mendapatkan momentum tersendiri dalam proses Amandemen UUD 45 di Sidang Tahunan MPR ini. Karena dari ketiga partai, PPP, PBB dan PK, syariat Islam memang menjadi salah satu platform utama partai-partai tersebut, terlepas dari pro dan kontra terhadap platform tersebut, pergumulan mengenai konstitusi negara akan menjadi kasus yang sangat menarik sejak Presiden Soekarno menetapkan Dekrit kembali ke UUD 45 di tahun 1959.
Menjelang kejatuhan Orde Baru, "Islamisasi" pada sektor-sektor perbankan, iptek dan politik mulai tumbuh dengan wajah kota dan kemoderenan. ICMI dan Muslim kota begitu bergairah untuk Islamisasi itu, walau pun pada akhirnya mereka terjebak pada verbalitas historis atas Islam itu sendiri. Pada saat yang sama juga muncul gerakan Civil Society yang lebih menggelar gerakan humanitarian dan demokrasi. Sementara masyarakat yang berbasis agama dalam kultur tradisional, NU, tetap konsisten dengan akomodasi dan toleransinya yang mengangkat isu tradisional dan kemodernan melalui "seni kultural"nya yang eklektif.
Ketika memasuki era reformasi, isu agama dan negara menguat kembali, menyusul kerusuhan SARA di Ambon dan Aceh. Kemudian di tubuh umat Islam muncul pemahaman agama dan gerakan politik agama, agar syariat Islam menjadi konstitusi formal negara, di lain pihak muncul gerakan spiritual agama, tanpa harus menjadikan agama sebagai konstitusi negara, sebab -- dengan formalisasi itu -- elit negara akan gampang memasung agama demi kepentingan politiknya, sekaligus mendistorsi universalitas agama itu sendiri.
Anehnya, dua titik pandang yang berbeda di atas -- di tengah proses keterbukaan dan demokratisasi ini, -- sama-sama mengklaim sebagai missi perjuangan agama dalam konteks bernegara. Mereka sama-sama memiliki dasar Ijtihad dan preseden hukum di zaman Nabi Muhammad SAW., dalam praktek sosial dan politik di zaman itu.
DIlema Formalisme Agama
Perjuangan menggolkan syariat Islam melalui pasal 29 UUD 45, tetap harus dilihat sebagai konteks proses berdemokrasi. Tetapi, sebagai umat mayoritas di negeri ini, sesungguhnya sudah memiliki pengalaman beragama sekian abad, dan belajar dari negara-negara Islam lainnya yang menjadikan agama serta syariat sebagai konstitusi formal. Fakta sejarah membuktikan, bahwa formalisme syariat, sesungguhnya bukan sesuatu yang mutlak. Bahkan cenderung dijadikan sebagai lambang negara yang berlindung dibalik teokrasi, yang menimbulkan tumpang tindih kepentingan diktatorime negara dengan missi agama yang sesungguhnya.
Jika kita mau belajar dari zaman Nabi Muhammad SAW dalam menyelenggarakan negara, tidak satu kata pun menyebut Islam sebagai dasar negara, sebagai dasar politik dan sebagai dasar kompromi dalam membentuk konstitusi, sebagaimana tercermin pada Konstitusi Madinah yang monumental itu. Bahkan istilah "Syariat" pun di zaman Nabi belum ada, sebagaimana belum adanya istilah Thariqat dan istilah Hakikat. Istilah-istilah tersebut muncul sebagai produk epistemologi historis atas opemahaman agama di kemudian periode, terutama di periode Mujtahidin yang memuncak dalam era Mazhabian (Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hambali). Bahkan istilah Aqidah Islam juga belum muncul di era Khulafaur-Rasyidin.
Karena itu istilah Syariat Islam sesungguhnya hanyalah produk Ijtihady yang dalam Ushul Fiqih dikategorikan sebagai sumber hukum paling lemah. Sebab, Ijtihad itu hanya berlaku pada syariat Islam yang bersifat spekulatif (dzonny), dan ada produk Ijtihad yang jumlahnya ribuan dengan mazhab yang berbeda-beda. Jika hasil-hasil Ijtihad ini akan diformalkan dalam konstitusi negara, tentu akan menimbulkan masalah yang krusial di dalam tubuh umat Islam sendiri, sekaligus menjadi ajang konflik intern yang berkepanjangan.
Dalam pandangan syariat ada jurisprudensi yang bersifat umum yang kelak disebut sebagai Kaidah-kaidah Hukum Islam (al-Qawaidul Fiqhiyah). Dalam Qawaidul Fiqhiyyah ada Kaidah "Al-Adat al-Muhakkamah" yaitu segala produk publik (termasuk konstitusi) yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, berarti sudah dikategorikan sebagai syariat itu sendiri, tanpa harus mencantumkan formalitas hukum tersebut. Dalam konteks UUD 45 dan pasal-pasal yang diperdebatkan, sepanjang tidak bertentangan dengan missi agama, sesungguhnya sudah cukup disebut sebagai produk yang dilegitimasi oleh Tuhan.
Oleh sebab itu formalisasi hukum atau syariat Islam dalam negara justru akan mengadapi dilema yang cukup serius:
Pertama, MPR yang ada saat ini, tidak satu pun yang memenuhi kriteria sebagai seorang Mujtahid dalam syariat Islam, sehingga jika harus memperjuangkan produk-produk Ijtihad malah akan bertabrakan dengan syarat-syarat yang cukup berat sebagai Mujtahid.
Kedua, selama negara tidak melarang warganya untuk melakukan ibadah, tidak menindas warga, maka seluruh produk aturan negara harus didukung oleh ummat Islam. Justru ketika warga memberontak -- baik atas nama demokrasi atau syariat -- di luar prosedur negara, maka pemberontak itu harus diperangi oleh negara, manakala ajakan dialog mengalami jalan buntu.
Ketiga, pencantuman Syariat Islam dalam konstitusi bernegara justru bertentangan dengan Konstitusi Madinah yang merupakan produk utama dalam sejarah penyelenggaraan negara di zaman Nabi SAW. Sebab, menurut Nabi, Negara hanyalah alat dan bersifat instrumental bagi agama, bukan sejajar dengan agama. Walau pun agama dan negara tidak boleh dipisahkan, sekaligus tidak boleh disatukan, maka, hubungan antara agama dan negara, bukanlah hubungan formal, tetapi hubungan spiritual.
Keempat, kepentingan rakyat mendapat tempat utama dalam hubungan antara agama dan negara (sebagaimana dalam Kaidah Fiqhiyah). Bukan kepentingan kelompok atau kepentingan ijtihad Ulama. Karena itu, negara harus menjamin kemaslahatan rakyat, dan bila perlu kemaslahatan rakyat merupakan dasar utama untuk konstitusi, dan pasal-pasal UUD yang tidak mengandung kemaslahatan publik, menurut agama harus diamandemen.
Kelima, pencantuman syariat Islam akan menimbulkan kesulitan tersendiri dalam praktek pelaksanaan hukum. Karena dalam produk Ijtihad Ulama sendiri, -- seringkali berubah dari zaman ke zaman -- memiliki aliran hukum yang berbeda-beda, bahkan bisa menimbulkan implikasi politik yang rawan, disatu sisi akan muncul gerakan politik atas nama Tuhan, dan di lain pihak memunculkan opini publik, bahwa seakan-akan Islam identik dengan gerakan-gerakan seperti itu.
Belajar Dari Nabi
Umat Islam dan elit-elitnya perlu belajar lebih banyak mengenai Islam itu sendiri, khususnya bagaimana praktek Nabi dalam menjalankan tradisi keagamaannya. Dalam sejarah Nabi, ada sejumlah kaum formalis yang terjebak oleh kemunafikannya, yang kelak tercacat sebagai kaum munafiqin dalam sejarah perang Uhud. Kaum munafiqin inilah yang secara formal mengatasnamakan Islam, tetapi justru mereka menghancurkan Islam dari dalam.
Nabi justru mengutamakan Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal dalam praktek bernegara dan berpolitik. Tidak ada satu pun dasar peperangan yang dilakukan oleh Nabi, misalnya, didasarkan oleh perbedaan agama atau akidah, termasuk terhadap kaum atheis sekali pun. Peperangan dilakukan dalam kondisi "sangat terpaksa", semata sebagai bentuk bela negara, bela konstitusi dan bela kepentingan publik. Segala bentuk pengkhianatan terhadap ketiga hal tersebut harus dihukum berat, termasuk lewat perang.
Nabi tidak ingin terjebak oleh formalisme syariat agama dalam konstitusi kenegaraannya, karena sehebat apa pun konstitusi dan aturan hukum, manakala spiritualitas manusianya penuh dengan kebusukan, justru akan menimbulkan fitnah (chaos) publik yang destruktif. Karena itu Nabi menghindari simbolisme Negara Islam, atau sistilah sejenis. Yang diperjuangkan Nabi adalah praktek keimanan, dan asketisme Ketuhanan. Oleh sebab itu, dalam periode Kanbian hanya dikenal tiga istilah utama: Islam, Iman dan Ihsan.
Islam mengatur urusan ibadah, aturan-aturan syariatnya, dan berimplikasi secara fungsional dalam mengatur hubungan-hubungan social kemanusiaan. Sedangkan Iman adalah aturan-aturan psikhologi ibadah itu sendiri, agar etika ibadahnya benar, tidak terjebak oleh hipokrisme ritual yang formal. Sedangkan Ihsan adalah wujud nyata dari seluruh pengabdian individu kepada Tuhannya, sampai pada tingkat paling par-exellent. Karena itu Ihsan kelak melahirkan peradaban Sufiologis yang sangat agung dalam sejarah Islam.
Ad-Diin, atau Sang Agama, selama tidak mengandung ketiga elemen utama itu, akan terlempar dalam kegersangan sejarahnya. Dan ketiga elemen utama itulah yang saat ini dilupakan oleh elit-elit umat, khususnya yang sedang bergulat di MPR. ***
*)M. Luqman Hakiem, MA adalah pengamat social keagamaan, Sufiolog dan Pimred Majalah Sufi Jakarta.
Jum'at, 23 Agustus 2002 00:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar