Memulung Kebaikan
Oleh ribut achwandi
--SIANG ITU, saya lupa kapan tepatnya, seorang pemulung tengah mengais sampah di tong sampah depan rumah. Kebetulan, saya pun hendak membuang lembaran-lembaran kertas yang sudah tidak terpakai. Ratusan jumlahnya. Lalu, ketika hendak aku masukkan kertas-kertas itu ke dalam tong sampah, mendadak pemulung itu mencegahnya. Saya pun tak jadi memasukkannya ke tong sampah. Tetapi, saya taruh di samping tong sampah, berdekatan dengan karung plastik milik pemulung itu tadi.
“Ini ya Pak, saya taruh di sini,” kata saya. Saya paham, kertas-kertas itu pasti akan dikaisnya pula. Sama sekali saya tidak keberatan. Ketimbang jadi tumpukan sampah yang menggunung di rumah, lebih baik saya buang, pikir saya.
Selepas pemulung itu mengais sampah dari tong sampah itu, ia pun memungut kertas-kertas itu. Beberapa lembar ia baca. Lalu, dia bilang, “Apa ini nggak eman-eman, Kang?”
Spontan saya jawab dengan gelengan kepala. Tanda saya tidak keberatan sama sekali. Tetapi, pemulung ini kembali mengulangi pertanyaan yang sama. Tanggapan saya pun masih sama dengan sedikit menegaskan saya pun bilang, “Tidak apa-apa. Buat sampeyan saja, Pak.”
“Bukan soal ini mau dijual atau tidak, Kang. Ini kertas harganya memang mahal kalau dijual rongsokan. Tapi, ini tulisan-tulisan sampeyan kan?” balasnya.
Saya mengangguk.
“Apa baiknya nggak sampeyan simpan saja. Siapa tahu ini masih bisa dimanfaatkan,” katanya sembari menyodorkan kembali kertas-kertas itu kepada saya.
Dengan yakin saya pun menjawab, “Saya masih menyimpannya kok, Pak. Setidaknya di komputer saya.”
“Oh ya sudah. Kalau begitu ini benar-benar sudah diikhlaskan ya, Kang?” tanyanya sekadar untuk meyakinkan saya.
“Ya, ambil saja,” jawab saya yakin.
“Kalau begitu saya maturnuwun sekali. Ini tidak akan saya jual ke pengepul, tapi ini akan jadi oleh-oleh buat anak saya. Ya, boleh dibilang ini adalah bonus dari hasil mengais sampah hari ini. Boleh kan, Kang?” tanya pemulung itu lagi.
Selintas, mendengar ucapan pemulung itu tadi, saya sempat berpikir. Wah, ini pasti bukan pemulung biasa. Paling tidak, Pak pemulung ini pasti sudah pernah mencium aroma meja kursi sekolahan. Mencium aroma kertas pada buku-buku pelajaran. Mencium aroma kapur dan cat papan tulis yang masih basah setelah sekian lama tidak pernah diganti. Juga mencium aroma khas tinta ballpoint atau merasakan bagaimana bersusah payah meraut pensil yang tumpul atau patah ujung mata pensilnya. Pasti!
Saya pun lantas melemparkan senyum pada Pak pemulung itu. Senyum sebagai tanda salut dan penghormatan saya kepada Pak pemulung itu. Ini membuat saya lega. Membuat saya semakin ikhlas menyerahkan nasib kertas-kertas itu pada tangan Pak pemulung itu.
Lalu, saya pun tanyakan pada Pak pemulung itu tentang anaknya. “Anak sampeyan sudah kelas berapa, Pak?”
Kali ini, saya lihat Pak pemulung itu menjadi kikuk. Raut wajahnya tampak malu-malu. Seperti dipaksa harus menjawab, ia pun akhirnya menjawab, “Yang paling besar, baru kelas tiga SMA. Sebentar lagi lulus. Yang nomor dua, baru kelas dua SMP. Dan yang bontot, baru kelas enam SD.”
“Oh...,” gumam saya. Semula ingin saya lanjutkan dengan pertanyaan, ‘Ada rencana untuk melanjutkan? Mau melanjutkan kuliah di mana?’ dan segudang pertanyaan-pertanyaan lain. Tetapi, niatan itu saya tunda. Saya kurung pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati. Bukan maksud untuk merendahkan, melainkan saya berusaha sedini mungkin untuk menjaga perasaan. Saya tahu, seorang pemulung tidak mesti memiliki kehidupan yang payah secara ekonomi. Tetapi, barangkali saja terkaan saya salah. Bisa jadi masalah jika hal itu terjadi. Saya akan merasa sangat berdosa telah menanyakan hal-hal yang sekiranya tidak mengenakkan orang lain. Itu sama artinya saya telah melukai diri sendiri dan membuang sia-sia pertanyaan itu.
Maka, pilihan yang saya ambil adalah membiarkan Pak pemulung itu bercerita. Ya, bercerita apa saja. Dan saya lebih baik menjadi pendengar setianya. Itu saya kira pilihan tepat. Meskipun belum tentu baik dan benar.
Tetapi, rupanya pilihan saya tidak mampu menjangkau harapan. Pak pemulung itu tidak menceritakan apapun tentang dirinya, terutama tentang anak-anaknya. Malah, ia memilih pergi. Ya sudah, mungkin saya belum beruntung. Tetapi, saya pikir ada keberuntungan lain dalam rupa yang berbeda pula. Setidaknya, kertas-kertas itu tidak menjadi barang yang sia-sia. Sekalipun saya tidak bisa memastikan apakah yang dikatakan Pak pemulung itu akan benar-benar dilakukan atau tidak. Atau ia sekadar ingin membuat saya senang. Saya tidak peduli. Bagi saya, bagaimanapun juga, yang sudah tertulis pada kertas-kertas itu tetap akan menjadi lembar-lembar kenangan. Boleh dikenang, boleh juga tidak. Soal apakah kertas-kertas dan juga tulisan-tulisan yang menempel pada kertas itu akan bermanfaat, juga manfaat apa yang bisa diperoleh, serta bagaimana caranya memanfaatkannya, sepenuhnya saya serahkan pada Pak Pemulung tadi. Saya tidak harus ngeyel apalagi ngotot mengatakan bahwa tulisan-tulisan itu bermanfaat, tulisan-tulisan itu bermakna. Tidak. Saya tidak boleh begitu. Karena menurut saya, hanya ada satu yang bisa begitu, yaitu Tuhan. Selain Dia, tidak boleh.
Beberapa hari kemudian, peristiwa itu saya ceritakan pula pada seorang kawan. Dia seorang penulis. Saat saya ceritakan peristiwa itu agaknya kawan saya ini kurang sependapat dengan sikap saya. Dengan lantang dia berkata, “Lho, sampeyan itu bagaimana? Apa nggak eman-eman? Itu tulisan-tulisan sampeyan kalau nanti sampai dimanfaatkan oleh orang lain, ditulis ulang, dan dipublikasikan lalu jadi terkenal, apa sampeyan nggak merasa rugi?”
Saya diam.
Dia masih melanjutkan. Makin berapi-api, “Itu hartamu, Kaaaaang! Hartamu! Karyamu itu adalah kekayaanmu. Kok begitu saja sampeyan ini memperlakukan. Mbok mikiiiiiiir!”
Saya tak tahu harus berkata apa. Saya melanjutkan diam.
Dia terus nyerocos, nyaris seperti sebuah orasi. “Sampeyan harus segera menyelamatkan aset sampeyan, Kang. Harus! Tidak boleh tidak! Sejelek apapun tulisan kita, itu masih berharga. Sekalipun hanya disimpan di almari baju sampai dikrikiti kecoa. Tulisan kita adalah buah pikiran. Sekalipun itu asal jadi. Tidak gampang lho menulis itu. Jadi, sekarang sampeyan harus segera mempublikasikan tulisan sampeyan, Kang. Itu harus! Sayang kan kalau tidak sampai terpublikasi?”
Saya mengangguk kecil. Tetapi, kali ini saya berusaha menjawab pernyataan kawan saya itu. “Begini, ibarat seekor tupai, sepandai apapun ia melompat pasti jatuh pula ia. Begitu pula dengan manusia, sehebat apapun ia meniru, menjiplak, bahkan memiripkan karyanya dengan mengambil sebagian atau seluruh isi karya orang lain, pasti tidak akan sama. Mengapa begitu? Karena setiap kepala memiliki cara pandang yang berbeda, meskipun dalam keserupaan. Bagaimanapun, setiap kepala memiliki caranya sendiri-sendiri untuk menciptakan alur pemikirannya. Meskipun saya paham cara bernalarmu, belum tentu saya bisa mengikutinya dan membuat kelanjutan dari alur cara bernalarmu. Pasti ada yang berbeda. Ada bagian yang tidak nyambung. Jadi, untuk apa menjadi risau?”
Belum sempat saya lanjutkan, kawan saya ini tiba-tiba main serobot. “Eksistensi, Kang! Eksistensi! Itu penting! Apa sampeyan nggak mau diakui keberadaannya?”
“Ya, saya butuh itu.”
“Nah, kalau butuh, mengapa sampeyan bersikap seolah-olah tidak butuh? Mengapa seolah-olah sikap sampeyan itu terkesan yakin bahwa tindakan sampeyan tidak keliru?” desaknya. “Sampeyan jangan merasa suci. Merasa diri tidak membutuhkan apapun yang berbau keduniaan. Kita butuh. Semua butuh diakui, dihargai, dan dihormati. Tidak ada seorang pun manusia yang rela dirinya dihina dan dicampakkan. Tidak ada. Jadi, jangan konyol, Kang. Niat baikmu terlalu berlebihan. Tidak mencerminkan ketulusan yang sesungguhnya. Tetapi, mencerminkan betapa tololnya sampeyan itu.
“Sekarang, saya tanya. Seandainya rumah sampeyan disatroni maling, apa sampeyan rela harta benda yang sampeyan anggap paling berharga itu dicuri?” dia kian mendesak saya.
“Ya, kalau sudah hilang dicuri dan tidak ketemu mau apalagi, Kang?”
“Pasrah yang tak beralasan!” tukasnya. “Ini bukan soal ikhlas atau tidak. Ini soal bagaimana mesti bertindak. Sampeyan ini terlalu baik hati. Tetapi, kebaikan sampeyan itu justru melupakan hal yang penting, yaitu harga diri. Tidak selamanya hanya dengan berbuat baik lantas membuat harga diri seseorang itu menjadi baik pula. Bukankah Tuhan mengajarkan, ambillah apa yang menjadi hakmu, tetapi berbagilah sebagian dari hakmu itu kepada yang lain atas dasar bahwa yang dibagi itu adalah bagian yang menjadi hak orang lain. Artinya, meski ada bagian dari hakmu yang dibagi, bukan berarti kemudian menghilangkan atau memindahkan seluruh hakmu itu ke tangan orang lain.
"Pikiran-pikiranmu boleh saja kau bagikan kepada yang lain. Tetapi bukan berarti kau menyerahkan sepenuh-penuhnya dirimu kepada orang lain. Karena belum tentu yang ada pada sampeyan itu seluruhnya baik untuk orang lain dan untuk seluruh orang yang menerima pembagian itu,” jelasnya.
“Apakah itu artinya ada yang berpotensi bahaya pada tulisan-tulisan saya itu?” tanya saya.
“Bisa sangat mungkin. Aku sudah hafal betul tulisan-tulisan sampeyan, Kang. Sangat hafal. Adakalanya sangat berbahaya, provokatif, dan menjerumuskan, adakalanya pula tampak anggun dan menenteramkan. Tidak semuanya bisa diperlakukan sama, Kang. Tidak,” katanya.
Belum sempat saya tanyakan, ‘Lalu saya harus bagaimana?’ kawan saya ini langsung menyambung, “Karena ini sudah telanjur. Ya, berdoa sajalah, Kang, agar semua kemungkinan terburuk itu tidak terjadi.”
Bertolak dari dua peristiwa itu, saya lantas berpikir, bahwa semangat yang terlalu berlebihan dalam segala hal itu bisa berdampak kurang baik bagi diri sendiri, juga bagi orang lain. Lebih mengerikan lagi ketika dampaknya dirasakan oleh lingkungan. Kita boleh saja berbuat baik, tetapi bukan berarti kita harus mengaku sudah baik. Bahkan, jangan sampai mengaku menjadi diri yang paling benar dengan dalil apapun. Sebab, kita tidak tahu persis apa maunya Tuhan Yang Maha Baik lagi Maha Benar.
Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha untuk tetap menjadi lebih baik dengan mengakui segala kekurangan. Membaca segala yang mungkin masih terlepas, juga mengulang-ulang terus apa yang kita baca. Barangkali masih terdapat celah-celah kecil yang dihasilkan dari lemparan kerikil-kerikil tajam yang dihunjamkan oleh diri kita sendiri tetapi kita lupa. Berbenah bukan berarti kita harus menghapus masa lalu, tetapi sebaliknya, kita harus memajang masa lalu itu sebagai hiasan dinding untuk mengingatkan. Bukan membuangnya jauh-jauh atau bahkan membakarnya sampai menjadi abu. Seolah diri kita sudah mencapai apa yang disebut sebagai pribadi yang baru.
Tidak. Tidak ada istilah pribadi yang baru. Kita masih menjadi masa lalu kita. Seluruh organ tubuh kita masih organ tubuh yang lalu, seperti saat kita dihadirkan untuk kali pertama di dunia ini. Tubuh kita hanya bertumbuh, mengembang, lalu akan mengkerut. Susunan DNA kita masih sama persis dengan saat kita dilahirkan. Tidak pernah berubah. Hanya cara berpikir, sikap, dan perilaku kita yang bergeser seiring dengan penuaan. Semakin tua, semakin terbatas. Logika-logika berpikir kita pun ikut dibatasi.
Dulu, waktu kanak-kanak, kita bisa bebas memainkan imajinasi begitu liar. Semakin tua imajinasi kita menumpul, lalu disuguhi dengan nalar-nalar lain yang jauh berbeda dari masa kanak-kanak. Ya, kita tak bisa lepas dari masa lalu. Apalagi membuangnya. Kebaikan apapun yang dilakukan saat ini semestinya tidak lantas membuat kita seolah-olah telah menjadi manusia yang paripurna, yang terbebas dari masa lalu. Karena kita melintas pada titian waktu yang saling mengikat, tidak terpisah dari satu detik ke detik lain. Karena batas waktu antardetik tidak ada. Yang bisa kita lakukan, hanyalah memulung kebaikan-kebaikan yang berserakan di antara waktu.
Pekalongan, 4 Januari 2015
Sumber: NU Online
(Ahad, 11/01/2015 08:15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar