Minggu, 30 Maret 2014

Al-Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi (Kwitang)

Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-
Habsyi (Kwitang)
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi adalah
putera dari Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Ayah
beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai
Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur.
Dalam perkawinannya dengan Al-Habib
Abdurrahman Al-Habsyi lama sekali tidak
memperoleh seorang putera pun. Pada suatu
ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan
sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga
membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah
mimpinya itu kepada suaminya.
Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman
segera menemui Al-Habib Syeikh bin Ahmad
Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan
perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib
Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi
tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib
Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra
yang saleh dan ilmunya akan melimpah-limpah
keberkatannya.
Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu
tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai
Salmah mengandung dan pada hari Minggu
tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 bertepatan
tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang
kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman
Alhabsyi.
Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup
mendampingi putra yang beliau cintai tersebut.
Beliau berpulang ke Rahmatulloh ketika putra
beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum
beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu
wasiat kepada istrinya agar putra beliau
hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah
untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat
tersebut.
Habib Abdurrahman wafat pada tahun 1881 M,
dimakamkan di Cikini, belakang Taman Ismail
Marzuki, yang kala itu milik Raden Saleh. Adapun
kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-
Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat.
Habib Abdullah menikah di Semarang dan dalam
pelayaran kembali ke Pontianak, beliau wafat,
karena kapalnya karam. Adapun Habib
Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali
Kwitang dating dari Hadramaut, lalu bermukim di
Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah
dengan para Sultan dari Klan Algadri.
Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah
menjual gelang satu-satunya perhiasan yang
dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali
Alhabsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di
waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi
tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam
usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Alhabsyi
dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal
sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat
yang dituju.
Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai
seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan
masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut
ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang
halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut
ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab
beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu
untuk mengirimkan uang kepada beliau selama
menuntut ilmu di luar negeri tersebut.
Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut
dalam mencari rizki yang halal untuk bekal
menuntut ilmu ialah mengambil upah
menggembala kambing. Pekerjaan menggembala
kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan
kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya’.
begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-
orang besar yang akan diberikan tugas memimpin
umat ini.
Majelis Ta'lim Kwitang hingga saat ini masih di
hadiri banyak orang
Diantara guru-guru beliau yang banyak
memberikan pelajaran dan mendidik beliau
selama di Hadramaut antara lain :
Al-’Arif billah Al-Imam Al-Habib Ali bin
Muhammad Alhabsyi (Shohibul maulid di Seiwun)
Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-’Attos
(Huraidha)
Al-Habib Al-Allammah Abdurrahman bin
Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)
Al-Habib Ahmad bin Hasan Alaydrus (Bor)
Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor
(Guwairah)
Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (Ghurfah)
Al-Habib Muhammad bin Sholeh bin Abdullah
Alatas (Wadi Amed)
As-Syeikh Hasan bin Mukhandan (Bor)
Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan
pelajaran di tanah suci Makkah, Habib Ali juga
pernah belajar dan mengajar di Masjidil Haram,
Makkah. Disana beliau mendapat ijazah dari
gurunya, Syekh Umar bin Muhammad Al-Azabi,
untuk menyelenggarakan pembacaan syair Maulid
Azabi, karya Syekh Muhammad bin Muhammad
Al-Azabi. Guru-guru beliau yang lainnya di
Mekkah, diantaranya :
Mufti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin
Alhabsyi
Sayid Bakri Syaththa’
As-Syeikh Muhammad Said Babsail
As-Syeikh Umar Hamdan
Berkat doa ibu dan ayah beliau, juga berkat doa
para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau
Rasullulloh SAW, dalam masa 6,5 tahun belajar di
luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu
Islam yang murni, luas dan mendalam yang
dibawanya kembali ke Indonesia.
Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang
tidak sombong atas ilmunya. Beliau tidak
menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah
cukup. Beliau masih dan selalu mengambil
manfaat dari para alim ulama yang ada di
Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari
mereka. Diantara para guru beliau yang ada di
Indonesia adalah :
Al-Habib Muhammad
bin Thohir Alhaddad
(Tegal)
Al-Habib Muhammad
bin Idrus Alhabsyi
(Surabaya)
Al-Habib Abdullah bin
Muhsin Alatas
(Empang, Bogor)
Al-Habib Husin bin
Muhsin Asy-Syami
Alatas (Jakarta)
Al-Habib Muhammad
bin Ahmad Al-Muhdhor
(Bondowoso)
Al-Habib Ahmad bin Muhsin Alhaddar (Bangil)
Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (Bangil)
Al-Habib Abdullah bin Usman Bin Yahya (Mufti
Jakarta)
Selain menuntut ilmu, beliau juga aktif dalam
mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak
umat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam
yang suci dengan dasar cinta kepada Alloh dan
Rasul-Nya SAW.
Selain di pengajian tetap di majlis ta’lim Kwitang
yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak
kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang
dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-
puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah
di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan
hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-
lereng gunung. Selain itu Al-Habib Ali Alhabsyi
juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India,
Pakistan, Srilangka dan Mesir. Beliau juga sempat
mendirikan sebuah madrasah yang bernama
Unwanul Ulum. Beliau banyak juga mendirikan
langgar dan musholla, yang kemudian diperbesar
menjadi masjid. Selain itu beliau juga sempat
menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Azhar Al-
Wardiyyah fi As-Shuurah An-Nabawiyyah dan Ad-
Durar fi As-Shalawat ala Khair Al-Bariyyah.
Beliau selain ahli dalam menyampaikan dakwah
ilalloh, beliau juga terkenal dengan akhlaknya
yang tinggi, baik terhadap kawan maupun
terhadap orang yang tidak suka kepadanya.
Semuanya dihadapinya dengan ramah-tamah dan
sopan santun yang tinggi. Terlebih lagi khidmat
beliau terhadap ibunya adalah sangat luar biasa.
Dalam melakukan rasa bakti kepada ibunya
sedemikian ikhlas dan tawadhu’nya, sehingga
tidak pernah beliau membantah perintah ibunya.
Biarpun beliau sedang berada di tempat yang
jauh, misalnya sewaktu beliau sedang berdakwah
di Surabaya ataupun di Singapura, bila beliau
menerima telegram panggilan dari ibunya, segera
beliau pulang secepat-cepatnya ke Jakarta untuk
memenuhi panggilan ibunya tersebut.
Maka tidak heran apabila ilmu beliau sangat
berkat, dan dakwah beliau dimana-mana
mendapat sambutan yang menggembirakan.
Setiap orang yang jumpa dengan beliau, apalagi
sampai mendengarkan pidatonya, pastilah akan
tertarik. Terutama di saat beliau mentalqinkan
dzikir atau membaca sholawat dengan suara
mengharukan, disertai tetesan air mata, maka
segenap yang hadir turut meneteskan air mata.
Dan yang demikian itu tidak mungkin jika tidak
dikarenakan keluar dari suatu hati yang ikhlas,
hati yang disinari oleh nur iman dan nur
mahabbah kepada Alloh dan Rasul-Nya SAW.
Habib Ali Kwitang bersama pejabat pemerintahan
Menurut keterangan cucunya, Habib
Abdurrahman, sebelum mendapat izin gurunya,
Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas, Habib Ali
belum berani mengenakan imamah alias serban.
Baru setelah diizinkan, beliau menggunakan
setiap saat.
"Kakek saya selalu menyelipkan surat gurunya itu
di sela-sela imamah yang dikenakan. Ketika
beliau wafat, sesuai wasiatnya, imamah dan surat
itu di masukkan ke dalam makamnya. Selain juga
abwa ( selempang ) ketika duduk ), serban dari
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, dan seuntai
tasbih." Tutur Habib Abdurrahman Al-Habsyi.
Beliau mulai berdakwah di samping berniaga di
berbagai pelosok ibu kota. Salah satu syiar
islamnya adalah menyelenggarakan Maulid
dengan pembacaan Maulid Azabi setiap tanggal
12 Rabi'ul awal.
"sebelum mensyiarkan Simtud Duror, beliau
mensyiarkan Maulid Azabi selama belasan kali.
Kelebihan Azabi, bahasanya enteng dan ceritanya
tak terlalu bertele-tele. Jadi boleh dibilang, Habib
Ali juga penggerak Maulid Azabi." Kata Habib
Abdurrahman Al-Habsyi.
Pada tahun 1919, Habib Ali Kwitang mendapat
mandat untuk mensyiarkan Maulid Simtud Duror
dari gurunya, Habib Muhammad bin Idrus Al-
Habsyi, bahkan isyarat dari Rasulullah saw. Maka
pada tahun 1920, Habib Ali Kwitang mulai
menggelar Maulid dengan membaca Simtud Duror
di kawasan Tanah Abang. Dan pada tahun 1937,
acara maulid diselenggarakan di Kwitang, Jakarta
pusat. Pembacaan maulid Simtud Duror pertama
kali setelah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
( Penyusun Simtud Duror ) wafat; digelar di
Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, di majlis
Taklim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus
Al-Habsyi. Belakangan Maulid Simtud Duror
dibaca di Majlis Taklim di Tegal, Jawa Tengah,
kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu
masjid Ampel Surabaya.
Selama hayatnya, Habib Ali Kwitang
melaksanakan Maulid dengan pembacaan Simtud
Duror, rutin setiap akhir kamis atau kamis
terakhir bulan rabi'ul awal sebanyak 51 kali. Di
tangan beliau, Maulid Simtud Duror bekembang
dengan pesat dan dikunjungi jamaah bukan hanya
dari masyarakat Jabotabek, tapi juga dari
daerah-daerah lain dan bahkan dari Negara-
negara sahabat.
Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali
Kwitang selalu menganjurkan agar umat islam
senantiasa berbudi luhur, memegang teguh
ukhuwah islamiyah dan meneladani keluhuran
budu Rasulullah saw, beliau juga menganjurkan
kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat
dan Negara, dengan mendidik anak-anak agar
menjadi manusia yang taat kepada Allah swt dan
rasulnya.
Akhirnya sampailah waktu dimana beliau
memenuhi panggilan Allah. Beliau berpulang ke
haribaan Allah pada hari Minggu tanggal 20 Rajab
1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di
tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta,
dalam usia 102 tahun menurut Hijriyah atau usia
98 tahun menurut perhitungan Masehi. Ungkapan
duka cita mengiringi kepergian beliau. Masyarakat
berbondong-bondong hadir mengikuti prosesi
pemakaman beliau…dalam suasana sendu dan
syahdu. Seorang ulama besar telah berpulang,
namun jasa-jasa dan ahklak mulia beliau masih
tetap terkenang…menembus batasan ruang dan
zaman.
Image
TVRI yang merupakan satu-satunya stasiun
televisi kala itu, menyiarkan berita duka cita
wafatnya beliau. Ribuan orang berbondong-
bondong melakukan takziah ke kediamannya di
Kwitang, Jakarta pusat; Presiden Soeharto
mengirimkan utusan khusus untuk menyatakan
belasungkawa, sementara sejumlah menteri dean
pejabat tinggi Negara berdatangan memberikan
penghormatan terakhir. Sejumlah murid Almarhum
dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan
luar negeri, juga datang bertakziah.
Sebelum jenazah dimakamkan di masjid Ar-
Riyadh yang dipimpinnya sejak beliau muda,
Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah
bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad,
putra almarhum, sebagai penerusnya. Beliau
berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum
dan memegang teguh aqidah Alawiyin.
Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat.
Suatu hari, beliau minta tiga orang kiyai kondang
asal Jakarta maju kahadapannya. Mereka adalah
K.H.Abdullah Syafi'i , K.H.Thahir Rohili dan K.H.
Fathullah Harun. Habib ali mempersaudarakan
mereka dengan putranya, Habib Muhammad.
Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan
ribuan jamaah itu, Habib Ali berharap, keempat
ulama yang dipersaudarakan itu terus
mengumandangkan dakwah islam.
Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib
Muhammad meneruskan tugas ayahandanya
memimpin majlis taklim Kwitang selama 26
tahun; K.H. Abdullah Syafi'i sejak 1971 hingga
1985 memimpin majlis Taklim Asy-Syafi'iyah;
K.H. Thahir Rohili memimpin majlis Taklim Ath-
Thahiriyah; sedangkan K.H. Fathullah Harun
belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.
Tidak mengherankan jika ketiga majelis Taklim
tersebut menjadikan kitab An-Nashaihud Diniyah,
karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad
Shohibur Ratib, sebagai pegangan. Sebab kitab
itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.
Setelah Habib Ali wafat, syiarnya dilanjutkan
putranya, Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi
yang semasa hidupnya menyelenggarakan maulid
sebanyak 26 kali, pada waktu dan tempat yang
sama. Sebelum wafat, Habib Muhammad bin Ali
Al-Habsyi membuat wasiat berkenaan dengan
kepengurusan Majlis Taklim Habib Ali Kwitang
yang isinya agar putranya Habib Abdurrahman Al-
Habsyi meneruskan perjuangan syiar islam Majlis
Taklim termasuk meneruskan menyelenggarakan
maulid Simtud Duror setiap kamis akhir bulan
Rabiul awal.
( No. 09 / Tahun IV / 24 April - 7 Mei 2006 &
No.10 / tahun III / 9 - 22 Mei 2005 )
Radhiyallahu anhu wa ardhah…

Sumber; https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-habaib-nusantara/al-habib-ali-bin-abdurrahman-al-habsyi-kwitang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar