Kamis, 29 Januari 2015

Pemulung Yang Mulia

Pemulung Yang Mulia

Jalanan adalah salah satu area orang-orang sabar. Disana terdapat keringat-keringat asem. Namun pemilik keringat tersebut adalah golongan orang-orang yang baik. Sebagaimana pemulung. Mereka berjuang mencari nafkah yang mulia itu, demi menyambung hidup dalam ketentuanNya.

Setiap keringat yang jatuh mereka usap pula dengan sebuah kain, bahkan dengan tangan. Mereka adalah orang-orang yang berjiwa besar. Demi sesuap nasi mereka harus berhadapan dengan sang mentari. Mau tidak mau mereka terima dengan "suka rela".

Lebih dari itu, mereka pun harus berhadapan dengan debu-debu yang berhamburan. Yang konon, kata orang-orang modern dianggap sebagai dzat yang dapat mengakibatkan penyakit. Termasuk penyakit kulit. Padahal bagi mereka (pemulung), itu bukanlah sebuah masalah, akan tetapi pada dasarnya niat mereka itu bukan untuk debu melainkan mencari nafkah untuk anak dan istrinya di rumah.

Mereka berjuang dari satu tempat ke tempat lainnya. Mengkorek-korek setiap kumpulan sampah di beberapa tempat.  Satu demi satu mereka kumpulkan. Meskipun disekitarnya terdapat kotoran-kotoran yang cukup dengan tanda kutip 'menjijikan'. Akan tetapi, bagi mereka bukanlah masalah, melainkan sebuah keharusan.

Mereka adalah orang-orang ridho. Dengan kata lain, orang-orang yang hidup dengan apa adanya. Dalam konteks ini. Yakni, menjalani apa yang sudah menjadi keharusan bagi mereka-- Merekalah yang semestinya mendapat gelar orang-orang yang hidup dengan "Apa Adanya". 

Sungguh luar biasa!! Dalam kehidupannya walau serba kekurangan dari sisi ekonomi. Akan tetapi, mereka hidup berbahagia dengan keluarganya. Ketika, barang-barang bekas yang sudah mereka kumpulkan. Lalu mereka menjualnya, dan hasilnya mereka belanjakan. Itupun hanya sekedar beras dan lauk pauk. Tapi, bagi mereka itu cukup. Masya Allah! Mungkinkah mereka adalah wali-wali Mu ya Rabb Tuhan Sang Penguasa Alam.

Wahai Tuhanku, Sang Pencipta Alam Jagat Raya Dan Seisinya bumi. Kami berdoa kepadaMu Tuhan dengan berwasilah melalui kemuliaan para pemulung-pemulung itu.

Jadikanlah kesusahan para pemulung-pemulung itu adalah kebahagiaannya kelak. Jangan jadikan kesusahan mereka itu menjadi azab bagi kami dan bagi orang-orang kaya yang kaku;

--Jadikanlah kesusahan mereka adalah keberuntungan bagi kami. Yakni, kesejahteraan bagi hidup kami sehingga kami bisa membantu mereka (pemulung) itu;

--KepadaMu lah kami meminta kesejahteraaan itu dan hanya padaMulah kesejahteraan itu kembali. Sesungguhnya Engkau adalah dzat Yang Maha Mensejahterakan. Maka berikanlah kesejahteraan itu bagi kami. Amiin

Oleh: Elang
Kamis, 29-Januari-2015
Sendang, 13:17

Pendidikan Sosial Keagamaan

Pendidikan Sosial Keagamaan

Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau sekurang-kuraangnya mempunyai nilai Islamiah.

Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan, media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.

***

Ajaran Islam atau lebih khusus syari'at Islam, mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syari'at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu'amalah dan mu'asyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga menjadikan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah al-mutlaqah). Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra'sumaliah al-mutlaqah).

Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain.

Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum, kaum Muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan antara kaum Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan sehari-hari.

Dari sisi struktur sosial yang menyangkut setratifikasi sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya hubungan lingkar balik antara ulama, umara' (pemerintah), aghniya' (orang kaya) dan kelompok fuqara’ (orang fakir). Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu'asyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status masing-masing.

***

Disiplin sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai "ketertiban umum". Ketertiban itu sendiri merupakan aturan mu'asyarah antar masyarakat baik yang ditentukan oleh perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan dari suatu kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku, baik yang berorientasi pada budaya mau pun agama.

Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, perilaku, perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam Islam dikenal ada huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak manusia). Sedangkan hak-hak manusia pada hakikatnya adalah kewajiban-kewajiban atas yang lain. Bila hak dan kewajiban masing-masing bisa dipenuhi, maka tentu akan timbul sikap-sikap sebagai berikut:

Solidaritas sosial (al-takaaful al-ijtima'i), toleransi (al-tasamuh), mutualitas/kerjasama (al-ta’awun), tengah-tengah (al-i'tidal), dan stabilitas (al-tsabat).

Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan yang berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah. Disiplin sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal).

Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek kehidupan sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial.

Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek 'aqidah), Islam (aspek syari'ah), dan ihsan (aspek akhlaq, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani bagi kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS).

Sumber: NU Online
(Senin, 17/11/2014 11:01)
http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,55784-lang,id-c,taushiyah-t,Pendidikan+Sosial+Keagamaan-.phpx

Kata Mungkin Indah

Sahabatku:

Jadilah Kepribadianmu
Seperti halnya Hujan
Yang Tidak pernah memandang
Status Agama, Suku, dan Budaya
Jika dia turun
Kerap membasahi
Sesuatu yang ada ditempat
Sebagaimana saat dia turun

Sahabatku:

Hujan menunjukkan kebesaranNya
Sebagai tanda rizki bagi Kita
Menyuburkan tanah yang kering
Menumbuhkan buah-buahan
Lalu Kita memakannya
Bahkan Kita pun menjualnya
Memanfaatkannya
Untuk menyambung hidup
Sampai batas waktu
Yang ditentukanNya..

Sahabatku:

Bumi Yang Kita Pijak
Sebagai Hamparan
Yang Tidak Begitu Keras
Tidak Pula Begitu Lunak
Sehingga Tidak Mungkin
Didiami
Secara Tetap!!

Apa yg disebut api tidak hanya yang warna merah
Tidak pula yang berasap.
Sebab, 'api' memiliki lebih satu warna
Bahkan ada api yang seperti angin merayap di udara.
Dengan demikian,
sesuatu yang tampak
memiliki sesuatu yg tersembunyi (unknow).

Cinta itu aneh!!
Disaat damai dengan kekasihnya
Bisa lupa dengan teman sendiri
Tapi, kalau hubungannya renggang
Mendekati teman-temannya lagi

Ya, Allah
Jika didalam diri kita
Selalu merasa serba kurang
Maka berkati hati kita kekuatan
untuk merasa cukup

Kerudung dan Kesadaran Beragama

Kerudung dan Kesadaran Beragama
Oleh Abdurrahman Wahid

Kerudung adalah 'pemandangan' biasa di kalangan kaum muslimin yang taat beragama.Tidak semua wanita muslim dikenal dengan sebutan muslimat, menggunakannya. Namun porsi pemakainya cukup besar guna melekatkan predikat 'biasa' di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid maupun pesta dan upacara, pendeknya ke semua keperluan di luar rumah , kerudung selalu di pakai, begitu juga dirumah, kalau sedang ada tamu.

Ada yang berwama-wami, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah: ada juga yang polos, hanya pinggimya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata keseluruh sanggul di 'sasak' lebar-lebar, dengan diameter tidak kurang dari ban sekuter Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas: tidak berani meninggalkan identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.

Tidak disangka tidak dinyana, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan yang mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung dapat menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.

Padahal, tadinya masalah penggunaan kerudung dianggap masalah sepele saja. Yang masih kuat bertahan pada identitas 'kesantrian' terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah meninggalkannya. Juga ada peragu yang menggunakannya di atas bahu sewaktu ada pesta atau upacara.

Apakah gerangan yang membuat pemakaian kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia 'dibiarkan' pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat?

Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini , simbol tersebut, yaitu simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol 'kekampungan' bagi yang tidak mengenakannya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang didunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak pemah ada pertentangan terbuka, tidak pemah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau di seminarkan.

Masalahnya menjadi berbeda, ketika berkembang sebuah kesadaran baru di kalangan kaum remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketika seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh merumuskan 'kebenaran agama' memerintahkan remaja asuhannya untuk memelihara 'aurat' berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran itu diikuti, termasuk oleh siswi SMA lalu mengenakan kerudung dilingkungan sekolah. Sudah tentu ini pemandangan tidak , jauh dari kebiasaan berseragam sekolah tanpa tutup kepala sama sekali.

Dua hal dilanggar oleh perbuatan itu. Pertama, konsensus selama ini, yang juga tidak begitu didasari dahulu, bahwa kerudung bukanlah pakaian yang layak untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecenderungan kepada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk ditegakkan oleh lingkungan pendidikan nasional kita. Dari pesuruh sekolah sampai Menteri P dan K, besar sekali nampaknya kecenderungan untuk menyeragamkan pandangan sikap dan perilaku keluarga besar pendidikan nasional.

Sudah tentu konsensus dan kecenderungan di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa siswi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu. Dapat di terka, senjata utama yang digunakan pihak pimpinan sekolah adalah pelanggaran disiplin. Benar saja, atas dalih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.

Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak penegak disiplin dan pihak-pihak lain di luar. Berarti dalam kasus-kasus di mana ada kejelasan bahwa si pelanggar disiplin memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.

Kesulitannya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandung baru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri siswi berkerudung itu. Pelanggaran hak pribadi sang siswi untuk mengenakan pakaian yang disenanginya, tuduhan pimpinan sekolah bersikap memusuhi Islam dan lain-lain tuduhn lagi dilemparkan seenaknya.

Apa yang dilupakan kebanyakan orang adalah penglihatan global terhadap masalah kerudung itu. Ia tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya tuntutan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilaksanakan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan sikap Islam terhadap berbagai masalah, dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasi sebagai pandangan-pandangan sekularistis di kalangan kaum muslimin sendiri. Kasus kerudung itu adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini. Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu pengetahuan modem , yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perubahan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas peroalan-persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan pihak luar terhadap Islam.

Dapat di mengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya atas perilaku para remaja muslim di mana-mana termasuk mereka lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan Islam sebagai jalan hidup. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.

Kalau tidak diperhitungkan tindakan disipliner atas pelanggaran gadis berkerudung di salah satu SMA di Bandung itu dari sudut kesadaran beragama ini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenamya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan persoalannya saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul, dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.

Mungkinkah Setan Atau Jin Masuk Ke Dalam Tubuh Manusia?

Mungkinkah Setan Atau Jin Masuk Ke Dalam Tubuh Manusia?

Ada sebagian dokter menolak adanya jin yang masuk ke dalam tubuh manusia. Mereka berpendapat, bahwa seseorang yang dianggap kerasukan jin sesungguhnya orang tersebut sedang terkena epilepsi. Salah satu gejala epilepsi adalah berbuat dan berkata yang aneh seolah-olah seperti kesurupan.

Gejala epilepsi menurut Sumarno Markan dalam bukunya yang berjudul: Penurunan Neurologi pada halaman 115 menerangkan beberapa jenis gejala epilepsy sebagai berikut:

1. Sawan Lena (khas) Cirinya adalah (a) Penurunan kesadaran saja; (b) Disertai gerakan klonis ringan biasanya kelopak mata atas, sudut mulut atau otot-otot lainnya; (c) Dengan komponen atonik, otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai, tak jarang penderita jatuh karena serangan ini; (d) Disertai komponen tonik, otot-otot ekstemitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan manjadi melengkung kebelakang, lengan dapat mengeras atau menegang; (e) Disertai automatisme, gerakan-geralan atau perilaku yang terjadi dengan sendirinya. __ 2. Sawan Lena (tak Khas) adalah (a) Perubahan dalam tonus otot lebih jelas; (b) Permulaan dan berakhirnya kebangkitan mendadak. __ 3. Sawan Miloklonik: Pada sawan miloklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat dan lemah. Sebagian dan semua otot, sekali atau berulang-ulang. Sering terjadi waktu akan tidur atau waktu bangun tidur, atau waktu akan melakukan suatu gerakan. Bangkitan ini dapat terjadi pada semua umur.

Jika di perhatikan dari tanda-tanda penderita epilepsi diatas. Sangat mungkin bahwa orang yang diduga kerasukan jin itu adalah orang yang menderita penyakit sawan. Sedangkan, menurut kalangan ahli jiwa mengklaim kesurupan jin sebagai skizophrenia. Sering kali orang yang terganggu jin, karena sihir, kesurupan atau pun kerasukan jin hanya akibat sakit jiwa. Konon katanya, Skizophrenia merupakan penyakit gangguan jiwa yang bertaraf berat, dan salah satu dari 70 macam gangguan jiwa yang ada di Indonesia. Sementara di dunia medis terdapat lebih dari 300 gangguan jiwa.

Kata Skizophrenia sendiri berasal dari kata shizo, yang berarti "jiwa" dan phren yang berarti "kacau". Kalau digabung, skizophrenia berarti "jiwa yang terbelah" atau split of personality. Konon, penyakit ini memang kerap mengakibatkan si Penderita seolah-olah didalam tubuhnya terdapat jiwa yang lain.

Sementara, sebagaimana yang kita ketahui--orang yang kerasukan jin itu terkadang ia sering menunjukan sikap yang aneh seperti bukan sikap dirinya sendiri. Kadang ia suka diam dengan mata yang melotot, dan kadang diwaktu yang sama tiba-tiba ia marah-marah tanpa sebab yang jelas. Selain marah-marah dan diam dengan mata yang melotot, bahkan ia pun kadang kerap mengamuk dan membuat keresahan orang-orang disekelilingnya.

Mungkinkah sikap orang yang dijelaskan diatas itu dikarenakan adanya jin atau setan yang merasuk ke dalam tubunya? Mungkin saja, karena jin atau setan itu sendiri tidak bisa dilihat secara kasatmata. Bukankah Jin adalah satu nama jenis mahluk Tuhan, dan jin sendiri adalah musuh yang nyata bagi manusia walau memang tidak bisa dilihat secara jelas, namun keberedaanya dapat dirasakan. Seperti halnya saat mereka mempengaruhi kita. Jin dalam bahasa Inggris-nya di sebut Ginie. Perkataan tunggalnya "Jinny " yang bermaksud yang tersembunyi, yang tertutup atau yang gelap pekat.  Dengan kata lain, wujud jin tidak seperti sebagimana wujud manusia.

Pada dasarnya, Orang yang kerasukan jin dianggap diluar akal sehat manusia atau bertentangan dengan hukum alam. Sedangkan menurut hukum alam sendiri lebih identik realistis. Akan tetapi, jin itu jelas-jelas ada, dan masuknya jin ke dalam tubuh manusia memang benar adanya. Seperti apa yang dikatakan Al-Qur'an dalam surah Al-Baqarah ayat 275 yang saya kutip terjemahannya. Al-Qur'an surah Al-Baqarah:275 berkata: "Orang-orang yang makan (mengambil )riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila."

Penyakit gila itu bisa diartikan bagi orang yang "suka makan riba". Padahal memakan atau mengambil riba itu dilarang oleh agama. Dengan kata lain, sesuatu yang dilarang itu mungkin ada kaitannya dengan setan. Dalam arti, masuknya makanan dari hasil riba itu dapat mempermudah setan atau jin masuk ke dalam tubuh manusia dan sudah barang tentu dapat mempengaruhi wataknya. Maka sangat dimungkinkan kebenarannya bahwa setan atau jin bisa masuk ke dalam tubuh manusia seperti apa yang dikatakan Al-Qur'an tadi (Al-Baqarah:275). Maka wajar saja jika ada orang yang kerasukan jin. Dan konon, setan itu masuk ke dalam tubuh manusia melalui peredaran darahnya. Maka dari itu, agama mengajarkan kita untuk memakan makanan yang halal, dan agamapun mengajarkan kita untuk membaca do'a terlebih dahulu sebelum makan.

Orang yang kerasukan jin bukan berarti hanya orang yang makan riba. Akan tetapi, yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kebenaran adanya jin yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Sedangkan, yang dimaksud diatas (soal makanan riba) adalah salah satu sebab yang mempermudahkan masuknya jin ke dalam tubuh manusia.

Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari hari ke hari. Namun apapun yang dicapainya, sesungguhnya Al-Qur'an sudah lebih dahulu mengabarkannya. Hanya saja masing-masing caranya berbeda. Sebab perbedaannya dari sumber pegangan--yang satu dari Tuhan (Allah SWT), sedang yang satu lagi dari hamba (para ilmuan).

Kerasukan Jin Menurut Departemen Pendidikan Inggris menyebutkan: "Keberadaan roh yang menakutkan dan mencelakakan bagi manusia memang sudah harus diakui, karena telah banyak kasus yang membuktikannya. Biasanya roh-roh jahat itu menguasai orang-orang yang bodoh dan lemah jiwa tapi tidak jahat, dan memang tidak ada orang yang jahat pada dasarnya."

Salah satu bentuk roh-roh jahat yang menguasai orang bodoh dan lemah jiwanya adalah sebagaimana dia mau di pengaruhi oleh bisikan roh-roh jahat itu. Maka, sudah barang tentu akal dan jiwanya dikendlikan oleh roh-roh jahat yang telah menguasainya. Dalam arti, dia mau menuruti apa yang diperintahkan oleh roh-roh jahat tersebut. 

Benar apa kata orang bijak: "Salah satu sisi ajaran agama yang tidak boleh terlupakan adalah penyucian jiwa." Hal ini bisa diartikan, bahwa dengan menyucikan jiwa dari kotoran-kotoran yang telah menempel bisa bersih. Dengan demikian, agar jiwa seseorang tidak mudah dimasuki atau dipengaruhi oleh bisikan-bisikan setan.

Sementara, untuk kata lain. Pengetahuan itu bisa jadi bumerang, bila tidak disertai penyucian jiwa. Seperti halnya, kita bisa menciptakan bom misalnya. Tetapi hati kita jahat. Maka, kita akan mudah meledakkan bom itu sesuka kita tanpa memikirkan apa akibatnya. Dengan begitu, sangat relevan, salah satu sisi ajaran agama ini mengajarkan kita melakukan penyucian jiwa. Demikian sebagai upaya untuk menghindari sifat jahat dan pengaruh-pengaruh setan ke dalam diri kita. Meskipun roh-roh jahat (jin) itu tidak bisa dilihat jelas, namun keberadaannya dapat berpengaruh terhadap tingkah laku manusia. Termasuk memberi was-was.

Penyucian Jiwa memang sangat tepat untuk tidak dilupakan. Sebagai benteng jiwa atau pikiran manusia. Karena yang mempengaruhi manusia bukan hanya jin tidak terlihat saja, bahkan ada juga jin yang berbentuk manusia. Sebagaimana manusia yang memiliki sifat jahat seperti jin. Dalam hal demikian Al-Qur'an pun menjelaskan. Kata Al-Qur'an: "Yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia." (Qs. an-Nas [114]:5-6)

Wallahu 'Alam

Penulis: Elang
Selasa, 27-Januari-2015
http://basselang.blogspot.com/2015/01/mungkinkah-setan-atau-jin-masuk-ke.html

Gus Dur dan Keseteraan Gender

Gus Dur dan Keseteraan Gender

Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan inspirasi banyak orang. Hal ini erat kaitannya dengan perjuangan beliau dalam membela kaum minoritas. Pemikiran ulama asal Jombang itu telah memberi warna tersendiri dalam wacana kebangsaan selama ini.

Gus Dur dikenal sebagai kiai yang memperjuangkan dan menegakkan isu-isu demokrasi, pluralisme dan HAM. Tidak banyak orang yang dapat konsisten seperti halnya dilakukan oleh Gus Dur. Pemikiran dan perjuangannya didekasikan untuk kaum lemah, termasuk kaum perempuan. selama ini perempuan mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang. 

Buku bertajuk Gus Dur di Mata Perempuan ini mengulas sosok feminisme Gus Dur. Buku ini mengeksplorasi pendapat para tokoh perempuan tentang Gus Dur. Para penulis yang semuanya perempuan ini menceritakan pengalaman apa yang mereka saksikan tentang pemikiran Gus Dur terkait kesetaraan dan pembebasan perempuan. 

Pandangan-pandangan Gus Dur tentang toleransi dan demokrasi sudah sering disinggung. Namun pandangannya tentang gender dan kesetaraan masih belum banyak yang mengulas. Pandanganya mengenai kedudukan perempuan menunjukkan bahwa dirinya memang serius dalam melakukan pembebasan. Karena perempuan adalah semacam titik masuk dari berbagai pemikiran mengenai pembebasan dan kemanusiaan.

Tidak sekadar wacana, pembelaan Gus Dur terhadap perempuan dilakukan dalam berbagai sikap dan tuturan. Misalnya, Gus Dur ikut serta menolak Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi. Karena RUU tersebut justru berpotensi menjebak perempuan dalam dilema peran sosial. 

Perjuangan terhadap perempuan juga terlihat ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden ke-4. Gus Dur memelopori terbitnya inpres presiden nomor 9 tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender. Pada perkembangannya inpres ini ditingkatkan menjadi UU Keadilan dan Kesetaraan Gender.  

Kepedulian Terhadap Perempuan

Bagi keluarga, Gus Dur adalah orang yang betul-betul menerapkan kesetaraan, bukan sekedar gaya hidup. Baginya, kesetaraan berangkat dari ruh hak asasi manusia yang sama. Sebagai adik kandung Gus Dur, Aisyah Baidhowi menitikberatkan pada kiprah dan pemikiran Gus Dur tentang perempuan di Nahdlatul Ulama (NU). Sejak Gus Dur terpilih pada Muktamar Situbondo 1984 sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU, Gus Dur selalu mendorong Muslimat untuk memperhatikan dan okus pada masalah-masalah kemasyarakatan yang lain, bukan hanya isu perempuan. Gus Dur juga selalu menasehatkan jangan berkutat di internal organisasi tetapi harus berani ekspansi, bekerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat di luar. (Halaman 52)

Ala’i Nadjib menuliskan Gus Dur di Mata Keluarga Inti. Tulisan ini berisi hasil wawancara Nadjib dengan istri dan anak-anak Gus Dur. Nadjib memotret kehidupan Gus Dur dalam keluarga. Terutama perhatian Gus Dur terhadap kesehatan reproduksi. Berdasarkan wawancara itu banyak yang disimak mengenai sikap Gus Dur sebagai seorang suami sekaligus bapak dari empat putrinya. Pola pendidikan yang diberikan kepada keluarganya adalah pendidikan yang membebaskan dan bertanggung jawab.

Pemikiran feminis Gus Dur terhadap perempuan tergambar melalui pandangannya terhadap ketimpangan relasi gender. Diskriminasi merupakan persoalan utama untuk membangun keharmonisan relasi gender.

Selain peduli terhadap perdamaian, pluralisme, demokrasi, dan pembelaan terhadap kaum minoritas. Gus Dur juga peduli terhadap hak asasi perempuan Indonesia. Gus Dur memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat fundamental bagi terwujudnya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki.

Jika dicermati, perjalanan karier dan kecendekiawanan Gus Dur juga tidak bisa lepas dari perempuan. Selain istri, Gus Dur memiliki empat putri. Bahkan, publik mengenal salah satu putri Gus Dur Yeni Wahid sebagai salah seorang tokoh politik masa kini. Di mata keluarga Gus Dur sebagai sosok pemimpin yang demokratis. 

Apabila ditelisik, pemikiran Gus Dur yang sdah maju pada eranya tentang kesetaraan sebenarnya telah tumbuh dari keluarga inti beliau, ayah dan ibunya. KH. Wahid Hasyim merupakan pelopor sekolah hakim perempuan pertama pada tahun 1950-an, saat beliau menjadi Menteri Agama.

Gus Dur adalah belantara makna yang seakan tak pernah habis digali. Sudah tak terhitung kajian dilakukan terhadap sosok dan pemikirannya dalam berbagai dimensi. Namun, buku ini memiliki keunikan dan kelebihan dibanding dengan karya-karya lainnya.

Buku ini berawal dari cita-cita Fatayat untuk mendokumentasikan, pandangan dan pengalaman perempuan terhadap sosok dan perjuangan Gus Dur. Buku ini terbit tidak lepas dari upaya Fatayat NU, sebagai organisasi gerakan perempuan di bawah Nahdlatul Ulama (NU). untuk terus menerus mengkampanyekan pemikiran feminisme yang berakar pada khasanah pemikiran dan tradisi keindonesian.

Data buku

Judul buku : Gus Dur di Mata Perempuan 
Editor : Ala’i Nadjib
Penerbit : Gading, Yogyakarta
Cetakan : 2014
Tebal: 296 Halaman
ISBN : 978-602-14913-9-3
Peresensi : Ahmad Suhendra El-Bughury, reporter majalah Bangkit PWNU DIY

Sumber: NU Online
(Senin, 29/12/2014 06:02)

Nasehat Bijak KH Wahid Hasyim 3

Syair-syair Hikmah KH Wahid Hasyim (2)

Ketokohan KH Abdul Wahid Hasyim tentu sulit diingkari. Dalam usia 21 tahun, Wahid  muda sudah membuat terobosan-terobosan cemerlang di dunia pendidikan, utamanya pesantren.
Ketika bergabung di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), usianya baru genap 25 tahun. Namun setahun kemudian, Wahid justru mengetuai federasi organisasi massa dan partai Islam ini.

Karir perjuangannya menanjak cepat. Wahid turut memimpin PBNU, menjadi anggota BPUPKI, dan akhirnya ditunjuk sebagai menteri agama. Artinya, selain berjihad menumpas kaum penjajah, Wahid terlibat aktif dalam segenap tahapan paling menentukan dalam proses pendirian negara.

Masa-masa hidup Wahid hampir dihabiskan seluruhnya dengan penuh manfaat. Ulama dan tokoh nasional ini tutup usia pada 19 April 1953, sebelum ulang tahunnya yang ke-38 diperingati. Berikut ini adalah sejumlah syair inspiratif pegangannya, yang sarat pesan perjuangan, kerja keras, penghargaan atas waktu, cita-cita, serta keinsafan tentang dinamika hidup.

 

وَلَمْ أَجِدِ الْإِنْسَانَ إِلاَّ ابْنَ سَعْيِهِ # فَمَنْ كَانَ أَسْعَى كَانَ بِالْمَجْدِ أَجْدَرَا 
وَبِاْلهِمَّةِ العُلْيَا تَرَقَّى إِلَى العُلىَ # فَمَنْ كَانَ أَعْلَى هِمَّةً كَانَ أَظْهَرَا
وَلَمْ يَتَأَخَّرْ مَنْ أَرَادَ تَقَدُّماً # وَلَمْ يَتَقَدَّمْ مَنْ أَرَادَ تَأَخُّرَا

Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki mundur.

 

وَلَا تَحْتَقِرْ كَيْدَ الضَّعِيْفِ وَرُبَّمَا # تَمُوْتُ الأَفَاعِي مِنْ سُمُومِ العَقَارِبِ 
وَقَدْ هَدَّ قِدْماً عَرْشَ بُلْقِيْسَ هُدْهُدٌ # وَخَرَّبَ حَفْرُ الفَأْرِ سَدَّ الْمَأرِبِ�

Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh.

 

وَمِنْ عَادَةِ اْلأَيَّامِ أَنَّ خُطُوْبَهَا # إِذَا سُرَّ مِنْهَا جَانِبٌ سَاءَ جَانِبُ 

Sudah menjadi tabiat waktu, membahagiakan satu pihak akan menyedihkan pihak lainnya.

 

بِذَا قَضَتِ الْأَيَّامُ مَا بَيْنَ أَهْلِهَا # مَصَائِبُ قَوْمٍ عِنْدَ قَوْمٍ فَوَائِدُ
عَرَفْتُ سَجَايَا الدَّهْرِ أَمَّا شُرَوْرُهُ # فَنَقْدٌ وَأَمَّا خَيْرُهُ فَوعُوْدُ

Begitulah waktu menentukan takdir untuk penghuninya (manusia). Musibah bagi sekelompok orang adalah keberuntungan bagi kelompok lain. Aku sudah mafhum dengan kelakuan zaman yang sekilas ini: keburukannya merupakan kritik, sedangkan kebaikannya hanyalah janji.

 

فَإِنَّ غُبَارَ الصَّافِنَاتِ إِذَا عَلاَ # نَشَقْتُ لَهُ رِيْحاً ألَذُّ مِنَ النَّدِّ 
وَرَيْحَانَتِي سَيْفِيْ وَكَأْسَاتُ مَجْلِسِيْ # جَماَجِمُ سَادَاتٍ حِرَاصٍ عَلَى الْمَجْدِ�

Ketika debu kavaleri berhamburan, aku justru menghirup keharuman yang melampaui wangi kemenyan. Semir mata pedang dan gelas-gelas di meja rapatku pun menjelma tengkorak para pembesar (musuh) yang rakus kejayaan.

 

جَزَى اللهُ خَيْراً كُلَّ مَنْ لَيْسَ بَيْنَنَا # وَلَا بَيْنَهُ وُدٌّ وَلَا مُتَعَرِّفُ
فَمَا نَالَنِي ضَيْمٌ وَلَا مَسَّنِي أَذَى # مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مِنْ فَتَى كُنْتُ أَعْرِفُ�

Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada setiap manusia yang belum saling sayang dan saling kenal. Tak pernah aku mengeluh dan diterpa kesulitan kecuali dari orang yang sudah aku kenal.

 

وَلَدَتْكَ أُمُّكَ يَابْنَ آدَمَ بَاكِياً # وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوْرًا
فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ إِذَا بَكَواْ # فِيْ يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكاً مَسْرُوْراً

Saat bunda melahirkanmu, engkau menangis, sementara orang-orang sekeliling menyambutmu dengan tawa gembira. Berjuanglah, hingga saat mautmu tiba, mereka manangis, sementara engkau tertawa ria.

 

 

Mahbib Khoiron
Dikutip dan diterjemah ulang dari
KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011

Sumber: NU Online
(Selasa, 02/04/2013 15:02)

Kakakku Pemimpinku

Kakakku Pemimpinku

Wahai Kakakku: "Tuhan tidaklah merubah seseorang l Sehingga dirinya sendiri yang merubahnya l Sebab, air dalam bak mandi l Setiap kali engkau mengambilnya l Pastilah kan berkurang karenanya l Kecuali, engkau sendiri mau mengisinya.."

Wahai Kakakku: "Baju yang engkau pakai l Tentulah tidak selamanya engkau kenakkan di tubuhmu l Padahal, air yang mentah l Engkau enggan meminumnya.."

Wahai kakakku: "Engkau adalah pemimpinku l Setiap ada yang muda l Ada pula yang tua l Tidak ada yang dibelakang l Tanpa ada yang didepan l Sebagaimana derekan bebek l Sebab, tidak ada pucuk pohon l Yang tidak mempunyai akar.."

Wahai kakakku: "Bumi yang kita pijak l Sebagai hamparan l Yang tidak begitu keras l Tidak pula begitu lunak l Sehingga tidak mungkin ditemati secara tetap!! l Sebab, bayi yang keluar dari perut manusia l Tidak selamanya disebut bayi.."

Wahai kakakku: "Sembunyikan dagingmu l Di tanah yang tak dikenal l Hingga rasamu l Melayang bebas ke angkasa l Sebab, sesuatu yang tumbuh l Dari biji yang tak ditanam l Tak berbuah dengan sempurna.."

Wahai kakakku: "Sebuah manggis yang manis l Tentu kan membusuk l Padahal, pohon jati yang kuat l Bisa tumbang oleh angin puting beliung.."

Wahai kakakku: "Didalam dirimu itu l Ada rahasia yang luar biasa l Andai kau mau mengenalnya l Tentu engkau senang bersamanya l Sebab, buah alpuket yang pahit rasanya l Kadang bisa manis disertai dengan gula jawa l Padahal, tanah yang kering pun l Bisa subur dengan air hujan.."

Wahai Kakakku: "Engkau terlahir dihari senin l Di bulan februari yang lalu l Sehingga engkau tidak pelit l Pun ikhlas hati dalam memberi l Namun tidak bisa menyimpan uang l Kadang mudah tersinggung l Tapi, tidak pandai bicara l Karena memang engkau banyak diamnya l Namun diwaktu yang sama l Kadang engkau banyak bicaranya.."

Wahai Kakakku: "Lebih dari itu l Watakmu memang kesannnya aneh untuk dimengerti l Kadangkala engkau disukai karena kebaikannya l Kadangkala pula tak disukai karena perbuatannya l Senang dipuji dan selalu menuruti apa yang diinginkannya l Suka humor dengan orang-orang l Hormat pada siapa saja l Mempunyai pendirian tetap l Namun sering mengingkari janji.."

Penulis: Elang
Rabu, 28-Januari-2015
Sendang, 13:44
http://basselang.blogspot.com/2015/01/kakakku-pemimpinku.html

Senin, 26 Januari 2015

Satu dan Diantara Tipe Kepribadian Manusia

Satu dan Diantara Tipe Kepribadian Manusia.

Manusia selain makhluk sosial ia juga makhluk yang di karuniai akal yang tidak dimiliki makhluk Tuhan yang lainnya. Lebih dari itu. Selain manusia dikaruniai akal, manusia juga memiliki Tipe Pokok Kepribadian yang mungkin dimiliki oleh setiap orang. Salah satu Tipe dan diantaranya adalah Tipe Koleris, Sanguin, Melankolis, dan Tipe Plegmatis.

Salah satu Tipe Koleris dan diantara yang lainnya ialah selalu menilai sesuatu Secara Logis, dan seperti mempunyai bakat sebagai pemimpin, memerintah, dan suka menyuruh. Lebih dari itu, yang mempunyai Tipe Koleris ini biasanya suka tantangan, dan penuh pertimbangan. Kepribadian seperti ini tidak suka di kritik tapi sebaliknya suka mengkritik orang lain.
Dalam sebuah perdebatan pun bagi mereka adalah kemenangan bukan kebenaran. Dengan demikian, untuk menghadapi orang seperti ini jangan mengkritik argumentasi pribadinya, tapi sampaikan saja argumentasi anda. Walau argumentasi mereka bertentangan dengan argumentasi anda. Dengan kata lain, kita maklumi dan terima saja argumentasi mereka dengan lapang dada. Agar diantara anda dengan mereka tidak ada masalah dan bisa berteman dengan baik. 

Untuk Tipe Sanguin, biasanya memiliki keperibadian yang suka bercanda (Humoris), supel, easy going, ekspresif. Lebih dari itu, kepribadian Sanguin ini mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Dalam pergaulan, bagi mereka tidak sulit mencari teman, karena mereka memang disukai banyak orang. Walau demikian, kadang mereka selalu berbicara terus-menerus, hingga seolah-olah tidak memberi ruang atau kesempatan bagi orang lain untuk berbicara. Dan kepribadian seperti ini kadang juga suka membesar-besarkan diri. Akan tetapi, Tipe Kepribadian seperti ini kadang cepat bosan termasuk dalam pekerjaannya. Kadang egois, dan gampang lupa. Saat anda menghadapi Tipe Kepribadian orang tersebut. Ada baiknya memberi pujian. Sebab titik kelemahan mereka adalah pujian. Dan dalam setiap apapun yang mereka lakukan adalah demi ingin mendapat pujian dari orang lain, termasuk hasil karya-karyanya, hasil kerjanya, dsb. Maka, untuk mengambil hati mereka adalah dengan pujian. Baik itu dalam hal-hal kecil maupun hal yang cukup besar, agar anda bisa selalu dekat dengan mereka.

Sedang Tipe Melankolis biasanya suka meneyendiri; suka dengan keadaan-keadaan yang sunyi; mempunyai perasaan yang peka;  Dan berbakat dalam hal musik; Selalu ragu-ragu dalam bertindak, dalam arti ketika setiap mereka mengambil keputusan harus mendapat persetujuan dari orang lain atau orang-orang terdekatnya; Kurang cepat tanggap dalam hal yang berbau Humor.
Saat anda menghadapi orang yang memiliki Tipe tersebut, maka anda harus berhati-hati. Dalam arti, karena mereka memang gampang sakit hati, sebab mereka orangnya sangat perasa. Lebih dari itu, mereka biasanya membutuhkan dukungan moral untuk setiap keputusannya yang menurutnya benar atau keputusan yang akan diambil olehnya. Maka mereka selalu membutuhkan teman agar setiap keputusan yang akan mereka ambil ada orang disekelilingnya yang mau memberi dukungan moral tersebut. Oleh sebab itulah, berikan dukungan penuh terhadapnya, nantii mereka akan menjadi pasukan anda. Dengan kata lain, mereka akan selalu mendekati anda, karena mereka membutuhkan dukungan anda.

Nah, untuk Tipe Plegmatis biasanya mereka suka sosialisasi atau senang bergaul. Namun dalam pergaulannya ia lebih suka diam, dalam arti ia lebih suka menjadi pendengar. Yang menjadi istimewah dari Keperibadian mereka adalah sifat sabar; Suka menyembunyikan emosinya. Dengan arti lain—saat dalam pergaulannya, ia suka menjadi seorang penengah yang baik. Inilah sosok seseorang yang dewasa. Akan tetapi, mereka juga mempunyai kekurangan. Seperti, mereka lebih sering menghindari tanggung jawab. Dengan kata lain, ia tidak bisa dijadikan sebagai pemimpin. Karena pada dasarnya mereka lebih suka menjadi penengah. Sedang untuk kata lainnya, mereka lebih suka menjadi bawahan. Dan konon, kesabaran dan kebijaksanaannya kepribadian ini lebih digilai oleh lawan-lawan jenisnya. Saat anda menghadapi kepribadian tersebeut, berikan semangat terhadapnya agar ia tidak menghndari tanggung jawabnya. Walau kepibadian memang sulit untuk dirubah, akan tetapi jika sedikit demi sedikit ingin berubah tentu akan berubah. Namun lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang asyik untuk dijadikan tempat curahan hati.

Penulis: Elang
Sendang, 26-Januari-2015
12:58

https://m.facebook.com/notes/elang-bass/satu-dan-diantara-tipe-kepribadian-manusia/1568604690053138/?refid=17&_ft_&__tn__=C

Minggu, 25 Januari 2015

Nasehat Bijak Kh Wahid Hasyim ra 2


Syair-syair Hikmah KH Wahid Hasyim (2)

Ketokohan KH Abdul Wahid Hasyim tentu sulit diingkari. Dalam usia 21 tahun, Wahid  muda sudah membuat terobosan-terobosan cemerlang di dunia pendidikan, utamanya pesantren.
Ketika bergabung di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), usianya baru genap 25 tahun. Namun setahun kemudian, Wahid justru mengetuai federasi organisasi massa dan partai Islam ini.

Karir perjuangannya menanjak cepat. Wahid turut memimpin PBNU, menjadi anggota BPUPKI, dan akhirnya ditunjuk sebagai menteri agama. Artinya, selain berjihad menumpas kaum penjajah, Wahid terlibat aktif dalam segenap tahapan paling menentukan dalam proses pendirian negara.

Masa-masa hidup Wahid hampir dihabiskan seluruhnya dengan penuh manfaat. Ulama dan tokoh nasional ini tutup usia pada 19 April 1953, sebelum ulang tahunnya yang ke-38 diperingati. Berikut ini adalah sejumlah syair inspiratif pegangannya, yang sarat pesan perjuangan, kerja keras, penghargaan atas waktu, cita-cita, serta keinsafan tentang dinamika hidup.

وَلَمْ أَجِدِ الْإِنْسَانَ إِلاَّ ابْنَ سَعْيِهِ # فَمَنْ كَانَ أَسْعَى كَانَ بِالْمَجْدِ أَجْدَرَا
وَبِاْلهِمَّةِ العُلْيَا تَرَقَّى إِلَى العُلىَ # فَمَنْ كَانَ أَعْلَى هِمَّةً كَانَ أَظْهَرَا
وَلَمْ يَتَأَخَّرْ مَنْ أَرَادَ تَقَدُّماً # وَلَمْ يَتَقَدَّمْ مَنْ أَرَادَ تَأَخُّرَا

Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki mundur.

وَلَا تَحْتَقِرْ كَيْدَ الضَّعِيْفِ وَرُبَّمَا # تَمُوْتُ الأَفَاعِي مِنْ سُمُومِ العَقَارِبِ
وَقَدْ هَدَّ قِدْماً عَرْشَ بُلْقِيْسَ هُدْهُدٌ # وَخَرَّبَ حَفْرُ الفَأْرِ سَدَّ الْمَأرِبِ�

Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh.

وَمِنْ عَادَةِ اْلأَيَّامِ أَنَّ خُطُوْبَهَا # إِذَا سُرَّ مِنْهَا جَانِبٌ سَاءَ جَانِبُ

Sudah menjadi tabiat waktu, membahagiakan satu pihak akan menyedihkan pihak lainnya.

بِذَا قَضَتِ الْأَيَّامُ مَا بَيْنَ أَهْلِهَا # مَصَائِبُ قَوْمٍ عِنْدَ قَوْمٍ فَوَائِدُ
عَرَفْتُ سَجَايَا الدَّهْرِ أَمَّا شُرَوْرُهُ # فَنَقْدٌ وَأَمَّا خَيْرُهُ فَوعُوْدُ

Begitulah waktu menentukan takdir untuk penghuninya (manusia). Musibah bagi sekelompok orang adalah keberuntungan bagi kelompok lain. Aku sudah mafhum dengan kelakuan zaman yang sekilas ini: keburukannya merupakan kritik, sedangkan kebaikannya hanyalah janji.

فَإِنَّ غُبَارَ الصَّافِنَاتِ إِذَا عَلاَ # نَشَقْتُ لَهُ رِيْحاً ألَذُّ مِنَ النَّدِّ
وَرَيْحَانَتِي سَيْفِيْ وَكَأْسَاتُ مَجْلِسِيْ # جَماَجِمُ سَادَاتٍ حِرَاصٍ عَلَى الْمَجْدِ�

Ketika debu kavaleri berhamburan, aku justru menghirup keharuman yang melampaui wangi kemenyan. Semir mata pedang dan gelas-gelas di meja rapatku pun menjelma tengkorak para pembesar (musuh) yang rakus kejayaan.

جَزَى اللهُ خَيْراً كُلَّ مَنْ لَيْسَ بَيْنَنَا # وَلَا بَيْنَهُ وُدٌّ وَلَا مُتَعَرِّفُ
فَمَا نَالَنِي ضَيْمٌ وَلَا مَسَّنِي أَذَى # مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مِنْ فَتَى كُنْتُ أَعْرِفُ�

Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada setiap manusia yang belum saling sayang dan saling kenal. Tak pernah aku mengeluh dan diterpa kesulitan kecuali dari orang yang sudah aku kenal.

وَلَدَتْكَ أُمُّكَ يَابْنَ آدَمَ بَاكِياً # وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوْرًا
فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ إِذَا بَكَواْ # فِيْ يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكاً مَسْرُوْراً

Saat bunda melahirkanmu, engkau menangis, sementara orang-orang sekeliling menyambutmu dengan tawa gembira. Berjuanglah, hingga saat mautmu tiba, mereka manangis, sementara engkau tertawa ria.

Mahbib Khoiron
Dikutip dan diterjemah ulang dari
KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011

http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,43496-lang,id-c,hikmah-t,Syair+syair+Hikmah+KH+Wahid+Hasyim++2+-.phpx
(Selasa, 02/04/2013 15:02)

Nasehat Bijak Kh Wahid Hasyim ra


Syair-syair Hikmah KH Wahid Hasyim (1)

KH Abdul Wahid Hasyim termasuk tokoh yang gemar mencatat. Tak heran, sejumlah pantun dan sajak kesukaannya dalam berbagai bahasa tetap tersimpan rapi hingga sekarang. Beberapa syair hikmah berbahasa Arab berikut adalah sebagain warisan berharga dari ulama dan pahlawan nasional ini.

وَلَا شَيْءٌ يَدُوْمُ فَكُنْ حَدِيْثاً # جَمِيْلَ الذّكْرِ فَالدُّنْيَا حَدِيْثُ
Tak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah cerita

أَلَا لِيَقُلْ مَا شَاءَ مَنْ شَاءَ إِنّماَ # يُلاَمُ الفَتىَ فِيْمَا اسْتَطَاعَ مِنَ اْلأَمْرِ
Ungkapkanlah apa yang ingin diungkapkan. (Jangan ragu) pemuda memang selalu dicemooh lantaran kecakapannya.

ذَرِيْنِيْ أَنَالُ مَا لَا يُناَلُ مِنَ اْلعُلَى # فَصَعْبُ العُلىَ فِي الصَّعْبِ وَالسَّهْلُ فِي السَّهْلِ
تُرِيْدِيْنَ إِدْرَاكَ المَعَالِي رَخِيْصَةً # فَلَا بُدَّ دُوْنَ الشَّهْدِ مِنْ إِبْرِ النَّحْلِ�
Biarkan aku meraih kemuliaan yang belum tergapai. Derajat kemuliaan itu mengikuti kadar kemudahan dan kesulitannya. Engkau kerap ingin mendapatkan kemuliaan itu secara murah. Padahal pengambil madu harus merasakan sengatan lebah.

سَتُبْدِيْ لَكَ الأَيَّامُ مَا كُنْتَ جاَهِلاً # وَيَأْتِيْكَ بِاْلأَخْبَارِ مَا لَمْ تُزَوِّدِ�
Kelak waktu akan memperlihatkan dirimu sebagai orang yang bodoh, dan membawakan kabar untukmu tentang perbekalan yang kosong.

لَقَدْ غَرَسُوْا حَتَّى أَكَلْناَ وَإِنَّناَ # لَنَغْرَسُوْا حَتَّى يَأْكُلَ النَّاسُ بَعْدَنَا
Para pendahulu telah menanam sehingga kita memakan buahnya. Sekarang kita juga menanam agar generasi mendatang memakan hasilnya.

إِذَا فَاتَنِيْ يَوْمٌ وَلَمْ أَصْطَنِعْ يَدًا # وَلَمْ أَكْتَسِبْ عِلْماً فَمَاذَاكَ مِنْ عُمْرِيْ
    Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini?

Mahbib Khoiron
Dikutip dan diterjemah ulang dari
KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011

http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,43322-lang,id-c,hikmah-t,Syair+syair+Hikmah+KH+Wahid+Hasyim++1+-.phpx
(Selasa, 26/03/2013 11:01)

Darimanakah Cinta Itu?

Darimanakah Cinta Itu?

Dalam tulisan ini, penulis mencoba hanya sekedar menuangkan pendapat dalam hal cinta atau terjalinnya hubungan cinta yang sering dianggap bahwa terjalinnya hubungan cinta datangnya dari pengorbanan atau perjuangan. Ada juga yang menggapnya,  bahwa terjalinnya hubungan cinta datangnya dari pendekatan atau yang sering disebut PDKT oleh kalangan anak muda masa kini.

Menurut pandangan penulis, kalau terjalinnya hubungan cinta datangnya dari hal-hal yang dimaksud diatas. Adapun kalau memang benar adanya, ini berarti cinta bukan karena jiwa atau hati.  Dengan kata lain, cinta tidak didasari dengan jiwa atau hati. Padahal, pengorbanan, perjuangan, atau pendekatan (PDKT), itu merupakan sebuah sarana usaha untuk mengambil hati seseorang yang dicintai. Ketika ia sudah berhasil mengambil hati seseorang yang dicintainya. Maka, akan melahirkan sebuah ikatan dari ke dua belah pihak laki-laki dan perempuan.  Sebuah Ikatan itu sendiri sering disebut Pacaran (hubungan cinta). Dari sini jelas adanya, bahwa ke tiga hal tersebut merupakan sarana usaha, atau sebab dan akibat.

Kalaupun benar adanya, cinta itu datangnya dari pengorbanan. Kenapa masih ada saja orang yang tidak berhasil atau sukses mengambil hati seseorang yang dicintai dalam pengorbanannya? Kalaupun cinta itu karena perjuangan. Kenapa masih ada saja orang yang memperjuangkan cintanya harus berdampak pada sebuah penyesalan? Kalaupun cinta itu datangnya dari pendekatan (PDKT). Kenapa masih ada saja orang yang gagal dalam hal ini? Oleh karena itu, dalam pandangan penulis cinta itu bukan datangnya dari pengorbanan, perjuangan, atau pendekatan (PDKT), melainkan cinta itu datangnya dari kesesuaian jiwa atau kecocokan hati sesuai karakter masing-masing.

Mereka yang melakukan pengorbanan, perjuangan, atau pendekatan untuk mendapatkan cintanya tersebut. Ini didasari karena hati, namun seseorang yang ia cintai belum menaruh hatinya kepadanya. Sehingga ia pun melakukan tiga hal tersebut. Akan tetapi, Selama ada pengorbanan, perjuangan, atau pendekatan, namun selama itu belum melahirkan kesesuaian jiwa atau kecocokan hati, atau belum dapat menaklukan hati seseorang yang ia cintai, maka selama itu tidak akan ada sebuah ikatan. Kecuali, bagi mereka yang hanya sekedar perselingkuhan. Oleh sebab itu, makanya kadang ada orang yang tidak berhasil memperjuangkan cintnya dengan tiga hal tersebut. Karena seseorang yang ia cintai tidak merasa cocok atau tidak sesuai dengan jiwa. Yang sering terjadi dalam hal ini adalah mereka yang di tolak mentah-mentah. 

Andai saja, masing-masing ke dua belah pihak sudah ada kesesuaian jiwa atau kecocokan hati. Mungkin dari salah satunya tidak harus melakukan pengorbanan, perjuangan, atau pendekatan. Tapi ada satu hal yang tidak bisa di pungkiri. Yaitu, harus ada dari salah satunya yang berani mengatakan: "Aku cinta kamu" atau "Aku sayang kamu". Dengan demikian , ini sebagai salah satu tanda bukti bahwa ia benar-benar ada cinta. Kalau tidak di ungkapkan misalnya, mana mungkin dari salah satunya bisa tahu tentang perasaannya tersebut. Kadang memang, perasaan itu tidak harus di ungkapkan secara kata-kata , bahkan bisa dilakukan dengan perilaku atau sebuah tindakan untuk menunjkan perasaannnya. Akan tetapi, untuk menunjukan perasaannya mu tidak mau ya harus ditunjukkan dengan sebuah ungkapan kata-kata supaya dapat meyakini kebenarannya. Setelah dari salah satu ke dua belah pihak sudah berani mengungkapkan isi hatinya, maka yang satunya tinggal menjawabnya. Kemudian, mereka berdua menciptakan sebuah ikatan yang sering disebut pacaran.

Nah, untuk membuktikan bahwa cinta itu datangnya dari kesesuaian jiwa atau kecocokan hati. Penulis akan jelaskan sesuai kenyataan yang ada. Kemarin hari ada salah seorang teman penulis yang mengunkapkan curahan hatinya atas apa yang dialaminya waktu itu. Konon, katanya. Ia menjalani hubungan cintanya sudah empat (4) tahun lamanya. Akan tetapi, sayangnya hubungan itu pun berakhir. Selama empat tahun menjalani pacaran itu, ia sudah banyak melakukan pengorbanan. Baik itu pengorbanan materi, pikiran, dan tenaganya.

Konon, Pengorbanan secara materinya, ia sering memberikan pulsa, makan bersama, membelikan baju, memberikan sesuatu hadiah, dsb. Pengorbanan secara pikirannya, ia sering memberikan pendapat atau solusi, yang jika apabila ketika kekasihnya tersebut mempunyai masalah dengan keluarganya. Seperti masalah dengan saudaranya, dengan ayah maupun ibunya. Sedangkan untuk pengorbanan secara tenaganya, ia sering memberikan jasa gratis kepada kekasihnya. Seperti, mengantarkan kekasihnya ke pasar, membantu keluarganya dirumah, dsb. Namun sayangnya, semua pengorbanan itu tidak membuat hubungannnya bertahan sampai saat ini. Yang ada ia putus dengan kekasihnya tersebut. Karena, kekasihnya lebih memilih orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi darinya.

Kenapa kekasihnya lebih memilih orang lain daripada drinya? Padahal begitu banyak yang ia korbankan untuk kekasihnya tersebut selama empat tahun lamanya. Dalam pandangan penulis, apa yang dipilih si kekasihnya itu adalah, karena sudah tidak ada kesesuaian dan kecocokan lagi dalam hatinya. Makanya, sih kekasih lebih memilih orang lain yang pada akhirnya membuat hubungan mereka putus. Dan itu bukan berarti, tindakan si kekasihnya tersebut  adalah salah besar. Karena, adapun jika dilanjutkan atau di pertahankan tentu tak nyaman. Bukankah kenyamannnya itu adanya didalam hati? Maka sudah sepantasnya si kekasihnya lebih memilih putus. Ketimbang dilanjutkan tetapi tak nyaman untuk apa? Dan sudah barang tentu merugikan ke dua-duanya. Dengan kata lain, ada yang merasa tak nyaman dan ada yang merasa kekurangan perhatian.

Penulis: Elang
Sendang, 25-Januari-2015

Sabtu, 24 Januari 2015

Dilema Formalisme Syariat dan Konstitusi Negara

Dilema Formalisme Syariat dan Konstitusi Negara-(Pelajaran Nabi)
Oleh: M. Luqman Hakiem *)

Rupanya gerakan formalisasi syariat Islam mendapatkan momentum tersendiri dalam proses Amandemen UUD 45 di Sidang Tahunan MPR ini. Karena dari ketiga partai, PPP, PBB dan PK, syariat Islam memang menjadi salah satu platform utama partai-partai tersebut, terlepas dari pro dan kontra terhadap platform tersebut, pergumulan mengenai konstitusi negara akan menjadi kasus yang sangat menarik sejak Presiden Soekarno menetapkan Dekrit kembali ke UUD 45 di tahun 1959.

Menjelang kejatuhan Orde Baru, "Islamisasi" pada sektor-sektor perbankan, iptek dan politik mulai tumbuh dengan wajah kota dan kemoderenan. ICMI dan Muslim kota begitu bergairah untuk Islamisasi itu, walau pun pada akhirnya mereka terjebak pada verbalitas historis atas Islam itu sendiri. Pada saat yang sama juga muncul gerakan Civil Society yang lebih menggelar gerakan humanitarian dan demokrasi. Sementara masyarakat yang berbasis agama dalam kultur tradisional, NU, tetap konsisten dengan akomodasi dan toleransinya yang mengangkat isu tradisional dan kemodernan melalui "seni kultural"nya yang eklektif.

Ketika memasuki era reformasi, isu agama dan negara menguat kembali, menyusul kerusuhan SARA di Ambon dan Aceh. Kemudian di tubuh umat Islam muncul pemahaman agama dan gerakan politik agama, agar syariat Islam menjadi konstitusi formal negara, di lain pihak muncul gerakan spiritual agama, tanpa harus menjadikan agama sebagai konstitusi negara, sebab -- dengan formalisasi itu -- elit negara akan gampang memasung agama demi kepentingan politiknya, sekaligus mendistorsi universalitas agama itu sendiri.

Anehnya, dua titik pandang yang berbeda di atas -- di tengah proses keterbukaan dan demokratisasi ini, -- sama-sama mengklaim sebagai missi perjuangan agama dalam konteks bernegara. Mereka sama-sama memiliki dasar Ijtihad dan preseden hukum di zaman Nabi Muhammad SAW., dalam praktek sosial dan politik di zaman itu.

DIlema Formalisme Agama

Perjuangan menggolkan syariat Islam melalui pasal 29 UUD 45, tetap harus dilihat sebagai konteks proses berdemokrasi. Tetapi, sebagai umat mayoritas di negeri ini, sesungguhnya sudah memiliki pengalaman beragama sekian abad, dan belajar dari negara-negara Islam lainnya yang menjadikan agama serta syariat sebagai konstitusi formal. Fakta sejarah membuktikan, bahwa formalisme syariat, sesungguhnya bukan sesuatu yang mutlak. Bahkan cenderung dijadikan sebagai lambang negara yang berlindung dibalik teokrasi, yang menimbulkan tumpang tindih kepentingan diktatorime negara dengan missi agama yang sesungguhnya.

Jika kita mau belajar dari zaman Nabi Muhammad SAW dalam menyelenggarakan negara, tidak satu kata pun menyebut Islam sebagai dasar negara, sebagai dasar politik dan sebagai dasar kompromi dalam membentuk konstitusi, sebagaimana tercermin pada Konstitusi Madinah yang monumental itu. Bahkan istilah "Syariat" pun di zaman Nabi belum ada, sebagaimana belum adanya istilah Thariqat dan istilah Hakikat. Istilah-istilah tersebut muncul sebagai produk epistemologi historis atas opemahaman agama di kemudian periode, terutama di periode Mujtahidin yang memuncak dalam era Mazhabian (Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hambali). Bahkan istilah Aqidah Islam juga belum muncul di era Khulafaur-Rasyidin.

Karena itu istilah Syariat Islam sesungguhnya hanyalah produk Ijtihady yang dalam Ushul Fiqih dikategorikan sebagai sumber hukum paling lemah. Sebab, Ijtihad itu hanya berlaku pada syariat Islam yang bersifat spekulatif (dzonny), dan ada produk Ijtihad yang jumlahnya ribuan dengan mazhab yang berbeda-beda. Jika hasil-hasil Ijtihad ini akan diformalkan dalam konstitusi negara, tentu akan menimbulkan masalah yang krusial di dalam tubuh umat Islam sendiri, sekaligus menjadi ajang konflik intern yang berkepanjangan.

Dalam pandangan syariat ada jurisprudensi yang bersifat umum yang kelak disebut sebagai Kaidah-kaidah Hukum Islam (al-Qawaidul Fiqhiyah). Dalam Qawaidul Fiqhiyyah ada Kaidah "Al-Adat al-Muhakkamah" yaitu segala produk publik (termasuk konstitusi) yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, berarti sudah dikategorikan sebagai syariat itu sendiri, tanpa harus mencantumkan formalitas hukum tersebut. Dalam konteks UUD 45 dan pasal-pasal yang diperdebatkan, sepanjang tidak bertentangan dengan missi agama, sesungguhnya sudah cukup disebut sebagai produk yang dilegitimasi oleh Tuhan.

Oleh sebab itu formalisasi hukum atau syariat Islam dalam negara justru akan mengadapi dilema yang cukup serius:
Pertama, MPR yang ada saat ini, tidak satu pun yang memenuhi kriteria sebagai seorang Mujtahid dalam syariat Islam, sehingga jika harus memperjuangkan produk-produk Ijtihad malah akan bertabrakan dengan syarat-syarat yang cukup berat sebagai Mujtahid.
Kedua, selama negara tidak melarang warganya untuk melakukan ibadah, tidak menindas warga, maka seluruh produk aturan negara harus didukung oleh ummat Islam. Justru ketika warga memberontak -- baik atas nama demokrasi atau syariat -- di luar prosedur negara, maka pemberontak itu harus diperangi oleh negara, manakala ajakan dialog mengalami jalan buntu.

Ketiga, pencantuman Syariat Islam dalam konstitusi bernegara justru bertentangan dengan Konstitusi Madinah yang merupakan produk utama dalam sejarah penyelenggaraan negara di zaman Nabi SAW. Sebab, menurut Nabi, Negara hanyalah alat dan bersifat instrumental bagi agama, bukan sejajar dengan agama. Walau pun agama dan negara tidak boleh dipisahkan, sekaligus tidak boleh disatukan, maka, hubungan antara agama dan negara, bukanlah hubungan formal, tetapi hubungan spiritual.

Keempat, kepentingan rakyat mendapat tempat utama dalam hubungan antara agama dan negara (sebagaimana dalam Kaidah Fiqhiyah). Bukan kepentingan kelompok atau kepentingan ijtihad Ulama. Karena itu, negara harus menjamin kemaslahatan rakyat, dan bila perlu kemaslahatan rakyat merupakan dasar utama untuk konstitusi, dan pasal-pasal UUD yang tidak mengandung kemaslahatan publik, menurut agama harus diamandemen.

Kelima, pencantuman syariat Islam akan menimbulkan kesulitan tersendiri dalam praktek pelaksanaan hukum. Karena dalam produk Ijtihad Ulama sendiri, -- seringkali berubah dari zaman ke zaman -- memiliki aliran hukum yang berbeda-beda, bahkan bisa menimbulkan implikasi politik yang rawan, disatu sisi akan muncul gerakan politik atas nama Tuhan, dan di lain pihak memunculkan opini publik, bahwa seakan-akan Islam identik dengan gerakan-gerakan seperti itu.

Belajar Dari Nabi
Umat Islam dan elit-elitnya perlu belajar lebih banyak mengenai Islam itu sendiri, khususnya bagaimana praktek Nabi dalam menjalankan tradisi keagamaannya. Dalam sejarah Nabi, ada sejumlah kaum formalis yang terjebak oleh kemunafikannya, yang kelak tercacat sebagai kaum munafiqin dalam sejarah perang Uhud. Kaum munafiqin inilah yang secara formal mengatasnamakan Islam, tetapi justru mereka menghancurkan Islam dari dalam.

Nabi justru mengutamakan Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal dalam praktek bernegara dan berpolitik. Tidak ada satu pun dasar peperangan yang dilakukan oleh Nabi, misalnya, didasarkan oleh perbedaan agama atau akidah, termasuk terhadap kaum atheis sekali pun. Peperangan dilakukan dalam kondisi "sangat terpaksa", semata sebagai bentuk bela negara, bela konstitusi dan bela kepentingan publik. Segala bentuk pengkhianatan terhadap ketiga hal tersebut harus dihukum berat, termasuk lewat perang.
Nabi tidak ingin terjebak oleh formalisme syariat agama dalam konstitusi kenegaraannya, karena sehebat apa pun konstitusi dan aturan hukum, manakala spiritualitas manusianya penuh dengan kebusukan, justru akan menimbulkan fitnah (chaos) publik yang destruktif. Karena itu Nabi menghindari simbolisme Negara Islam, atau sistilah sejenis. Yang diperjuangkan Nabi adalah praktek keimanan, dan asketisme Ketuhanan. Oleh sebab itu, dalam periode Kanbian hanya dikenal tiga istilah utama: Islam, Iman dan Ihsan.

Islam mengatur urusan ibadah, aturan-aturan syariatnya, dan berimplikasi secara fungsional dalam mengatur hubungan-hubungan social kemanusiaan. Sedangkan Iman adalah aturan-aturan psikhologi ibadah itu sendiri, agar etika ibadahnya benar, tidak terjebak oleh hipokrisme ritual yang formal. Sedangkan Ihsan adalah wujud nyata dari seluruh pengabdian individu kepada Tuhannya, sampai pada tingkat paling par-exellent. Karena itu Ihsan kelak melahirkan peradaban Sufiologis yang sangat agung dalam sejarah Islam.

Ad-Diin, atau Sang Agama, selama tidak mengandung ketiga elemen utama itu, akan terlempar dalam kegersangan sejarahnya. Dan ketiga elemen utama itulah yang saat ini dilupakan oleh elit-elit umat, khususnya yang sedang bergulat di MPR. ***

*)M. Luqman Hakiem, MA adalah pengamat social keagamaan, Sufiolog dan Pimred Majalah Sufi Jakarta.

Jum'at, 23 Agustus 2002 00:00

http://www.gusdur.net/opini/detail/?id=184/hl=id/Dilema_Formalisme_Syariat_Dan_Konstitusi_Negara-_Pelajaran_Nabi

Memahami Sufisme Politik Gus Dur

Memahami Sufisme Politik Gus Dur
Oleh: M. Luqman Hakiem*)

Kaidah-kaidah visioner yang sering dilontarkan oleh kalangan Nahdhiyyin (NU), adalah Al-Muhafadzatu ‘alal Qadimis Shalih wal-Akhdzu bil Jadidil Aslah, yang berarti melestarikan nilai-nilai tradisi lama yang baik, dan merespon nilai-nilai baru yang lebih baik.

Kaidah yang dijadikan sebagai legitimasi untuk perubahan-perubahan wacana dan kebudayaan NU, ketika menghadapi tantangan zaman. Sesungguhnya kaidah tersebut lebih menekankan pola hubungan-hubungan transformatif Syari'ah (legacy) dalam membangun kerangka sosiologis. Di satu sisi tetap memberikan penghargaan terhadap sejarah masa lalu, makna-makna kultural yang telah dibangun oleh para pendiri Republik, para Kiai, para Agamawan dan para budayawan. Sementara dalam dialektika sejarah, tidak bisa dihindari adanya percepatan rasionalisme Barat dan akulturalisme Islam dan nilai-nilai lokal. Sehingga responsi terhadap pembaharuan mendapatkan tempat terhormat dalam kebudayaan pemikiran NU.

Tulisan ini lebih sedikit melompat ke belakang, tanpa harus memutar jarum jam sejarah kebudayaan NU, yaitu perspektif yang lebih fundamental dibanding sekadar kaidah-kaidah sosial dan hukum (fiqhiyah) yang selama ini dijadikan basis kebijakan untuk pengambilan keputusan konstituen NU, melali Bahsul Masail. Yaitu, perspektif Sufisme yang menjadi jiwa dan batin setiap gerakan historis masyarakat NU itu sendiri. Dari sinilah kita akan melihat kepribadian kepemimpinan Gus Dur, yang merefleksikan cara pandang sekaligus style kepribadian yang unik. Bahwa apa yang dipresentasikan Gus Dur adalah kristalisasi dari seluruh nilai-nilai ke-NU-an dalam proses kebangsaan, khususnya dalam konstelasi demokratisasi.

Bisa saja nilai-nilai seperti pengembangan pluralisme, toleransi, desakralisasi negara, hubungan antar agama, modernitas dan tradisi lokal, serta perdamaian, hanya akan muncul dalam wacana dan "kepentingan" praktikal, manakala tidak dijembatani oleh kultur yang berbasis pada moralitas tertinggi. Karena itu, Sufisme menjadi nuansa yang paling menarik perhatian Gus Dur untuk dijadikan "titik kordinat" antara nilai-nilai keagamaan dalam tradisi NU dan fakta-fakta ke-Indonesiaan yang plural dalam berdemokrasi.

Sebagai salah satu tokoh Sufi di Indonesia, Gus Dur memerankan satu pandangan yang sangat liberal, dibanding - sekadar - berpijak pada tradisi-tradisi formal NU. Liberalitas Gus Dur sesungguhnya tidak lepas dari cara pandang Sufisme terhadap dunia, dengan menerjemahkan lebih substansial apa yang disebut dengan "rahmatan lil'alamin".

Karena, transformasi nilai-nilai terdalam dibalik cahaya rahmat itu sendiri, dalam tradisi NU justru tumbuh dari cahaya Sufisme yang dijadikan sebagai pegangan moral para Ulama dan Kiai-kiai terdahulu. Bahkan titik kordinat bagi perdamaian agama sekali pun, Sufisme berada di garda depan, sebab perdamaian sesungguhnya tidak pernah maujud dalam fakta ketika kecintaan kepada Tuhan dan sesama makhluk tidak tumbuh dari kedalaman jiwa. Karena perilaku Sufistik itulah, Gus Dur menjadi ancaman bagi seluruh gerakan apa pun yang tidak memihak pada moralitas terdalam.

Ketika kebijakan-kebijakan "ke-Sufian" masuk dalam pola kepemimpinannya, maka terjadi benturan-benturan psikologis dengan nuansa-nuansa penyimpangan moral itu sendiri. Karena itu, ketika kita kembali ke masa lalu, kita akan menemukan fakta-fakta sejarah bahwa eksistensi Indonesia, baik sebagai negara maupun sebagai bangsa, akan terlihat bahwa Nation Building mendahului State Building. Dengan bahasa lain, kultur kebangsaan kita telah terbentuk sebelum negara ini terbentuk. Dari sinilah, sehari-hari kita bisa merasakan betapa hubungan-hubungan antar sesama dalam bentuk "rasa batin" mendahului segala hubungan, dari sekadar kepentingan rasional dan teknikal. Bahkan dalam tradisi sosial keagamaan sekali pun, landasan-landasan batiniyah ternyata lebih kuat jaringan kebudayaannya dibanding dengan landasan-landasan ritus-formal. Kelak, landasan-landasan ini begitu kuat tarik menariknya dalam pergulatan politik elit yang memperebutkan hegemoni kebudayaan keagamaan dalam instrumen kekuasaan.

Maka, jangan heran jika tarik menarik itu secara verbal tampak dalam konflik politik NU-Muhammadiyah, adalah konflik memperebutkan "kekuasaan nilai" yang harus hegemonik dalam kehidupan bangsa dan ummat. Yaitu perebutan formalitas agama dalam konstelasi bernegara, sehingga bendera-bendera Islam diformalkan dalam partai, slogan dan konstitusi vis a vis kultur "moralitas agama" untuk kebangsaan, dimana kultur agama mendasari perilaku bernegara.

Tradisi Wali Songo yang sering dijadikan acuan dakwah NU misalnya, adalah tradisi Sufistik budaya, bahkan dalam pola akulturasi dengan kekuasaan formal dan kebudayaan lokal. Kalau tradisi "halal-haram" diterapkan begitu saja dalam formalitas budaya, agama akan mengalami keterasingan dan kekeringan. Karena itu, para Wali memilih Jalan Sufistik menuju Tuhan, bahkan dalam konstribusinya terhadap pengelolaan kekuasaan di zaman dinasti Islam awal di Jawa, ketika secara de jure Raden Fattah menjadi raja, dan secara de facto para Wali-lah yang memimpin spiritualitas bangsa ketika itu.

Demokrasi dan Sufisme

Disinilah Sufisme menjadi penghubung efektif, ketika demokrasi diterjemahkan dalam hubungan saling menghargai di tengah pluralitas yang sedang bergerak. Sebab, kebebasan, penghargaan terhadap hak-hak kemakhlukan, kecintaan sesama, kehambaan individu, dan sejumlah nilai-nilai yang bisa mempertemukan perspektif bersama hanya pada Sufisme. Sebab hanya Sufisme-lah yang melihat dua titik pandang: Allah dan manusia. Pandangan-pandangan Sufistik itulah yang melampaui "halal-haram", sehingga hubungan kebangsaan tidak dihorisonkan pada belahan-belahan yang saling berhadapan, hitam dan putih. Di sini, jika tidak kita cermati, lompatan-lompatan pemikiran Gus Dur terasa konstroversial, karena di satu sisi ia harus menjadi Kiai Bangsa, di lain pihak ketika ia harus menjadi Presiden. Ketika ia masih menjadi presiden ada posisi dualistik. Posisinya sebagai Kiai Bangsa adalah posisi Sufistik dalam membangun kearifan hidup bersama, sementara tugas-tugas formal kepresidenannya, jelas berhubungan dengan amanat yang dilimpahkan oleh MPR kepadanya. Namun, ketika posisi Kiai Bangsa dinilai lebih menonjol ketimbang kepresidenannya, tiba-tiba gugatan-gugatan muncul sampai pada titik paling kritis. Suatu gugatan "halal-haram" dari lawan-lawan politiknya.

Mengapa Gus Dur lebih banyak menonjolkan Kiai Bangsa ketimbang kepresidenannya? Karena kebutuhan bangsa saat ini bukanlah kebutuhan formalitas dan "topeng-topeng" dibalik birokrasi dan penyelenggaraan negara. Setelah tiga dasawarsa bangsa ini dibelenggu oleh formalisme dan ritualisme monopolitik, maka, pertama-tama bangsa ini membutuhkan pencerahan jiwa agar bisa kembali ke fitrah kebangsaannya.

Tanpa kesadaran psikhologis akan hakikat berbangsa, demokrasi akan gagal dibangun, apalagi oleh sekadar mayoritas dan minoritas dalam perolehan suara, menang dan kalah belaka. Berarti, Gus Dur tetap mengambil wilayah hati nurani, untuk menjadi jiwa demokrasi. Disebut hati nurani disini, bukanlah ambisi-ambisi batin yang diaksentuasikan dalam jeritan protes atau pemberontakan rasional. Protes-protes apa pun namanya, selalu merujuk pada ketidakadilan.

Tetapi penegakan keadilan belaka, ternyata tidak cukup untuk menegakkan rumah kebangsaan. Karena fondasi rumah kebangsaan kita adalah cinta dan kasih sayang, bukan keadilan. Kasih sayang atau rahmat, ketika diimplementasikan dalam proses berdemokrasi, akan melahirkan penghargaan terhadap pluralitas secara adil dan egaliter. Sementara penegakan keadilan tanpa rahmat, hanya melahirkan kemenangan penuh dendam. Inilah yang ingin dihindari Gus Dur, ketika dulu mengadili Soeharto, jangan sampai timbul rasa dendam terhadap tokoh Orba tersebut. Sebab siapa pun merasa tidak mendapatkan ketidakadilan ketika ia harus dihukum, namun harus pula menerima dendam kemanusiaan.

Dalam kisah legendaris, yang dipresentasikan secara dramatis antara Sunan Kalijogo dengan Syeikh Siti Jenar, terpantul suatu cerminan, bahwa eksekusi terhadap Syeikh Siti Jenar, sedikit pun tidak mengurangi rasa cinta Sunan Kalijogo terhadap kawannya itu. Karena, sesungguhnya jiwa dan hati Sunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar berada dalam dataran yang sama. Dan sebaliknya, sikap demokrat sejati Syeikh Siti Jenar yang secara "berani" menghadapi eksekusi, adalah karena penghargaannya terhadap konstitusi dan hukum para Wali.

Maka, di dalam drama eksekusi tersebut, prosedur-prosedur formal tidak boleh mengintervensi aturan-aturan jiwa yang menjadi batin dari suatu keputusan. Karena intervensi rasionalisme terhadap spiritualisme bisa melahirkan emosi-emosi negatif, sebalikinya intervensi spiritualisme terhadap rasionalisme bisa melahirkan kalim-klaim sakralisme dalam bentuk sekularisme yang maniak.

Oleh sebab itu, dendam terhadap tokoh yang bersalah, bisa disebut sebagai "dosa demokrasi" ketika penegakan hukum sebagai salah satu lemen demokrasi, justru ditaburi oleh "balas dendam". Sementara fakta yang kita lihat dalam proses demokratisasi kita, justru ada elemen lain yang ditolerir dalam proses penegakan hukum, yaitu proses dendam sejarah. Kenyataan ini menunjukkan adanya pertanyaan besar yang belum dijawab oleh mereka yang ingin menegakkan demokrasi itu sendiri. Nilai-nilai dan roh demokrasi model apakah yang hendak ditegakkan bagi demokrasi Indonesia?

Sebagai suatu wacana, Sufisme bisa disebut sebagai wacana baru bagi proses penegakan wacana kedemokrasian kita. Walau pun begitu, -- setidak-tidaknya, -- kita melihat sebagian praktek Sufisme bagi demokrasi itu ada dalam perilaku kepemimpinan Gus Dur. Terlepas suka maupun tidak, sangat tidak demokratis manakala kita bersikap apriori begitu saja terhadap gerakan Demokrasi Gusdurian, sebelum kita memahami secara tulus apa dan siapa Gus Dur dalam konteks kebudayaan dan hakikat-hakikat keagamaan. ***

*) M. Luqman Hakiem, MA, adalah Sufiolog dan Pimred Majalah Sufi, tinggal di Jakarta

Rabu, 28 Agustus 2002 00:00

http://www.gusdur.net/opini/detail/?id=185/hl=id/Memahami_Sufisme_Politik_Gus_Dur

Jumat, 23 Januari 2015

Risalah Nasihat

Risalah Nasihat

Mukadimah

             Aku mendengar dari orang yang kupercaya tentang sejarah perjalanan hidup Syaikh al-Imam az-Zahid. Se­moga Allah senantiasa memberikan taufik pada beliau dan  memeliharanya dalam menjalankan risalah agama­Nya. Sejarah perjalanan hidup beliau memperkuat keinginanku untuk menjadi saudaranya di jalan Allah Swt. karena mengharapkan janji yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang saling mencinta.

            Persaudaraan tidak harus dengan bertemu muka dan berdekatan secara fisik, tapi yang dibutuhkan adalah adanya kedekatan hati dan perkenalan jiwa. Jiwa-jiwa merupakan para prajurit yang tunduk; jika telah saling mengenal, jiwa-jiwa itu pun jinak dan menyatu. Oleh karenanya, aku ikatkan tali persaudaraan dengannya di jalan Allah Swt.. Selain itu, aku harap beliau tidak mengabaikanku dalam doa-doanya ketika sedang berkhal­wat serta semoga beliau memintakan kepada Allah agar diperlihatkan kepadaku bahwa yang benar itu benar dan aku diberi kemampuan untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta aku diberi kemampuan untuk meng­hindarinya. Kemudian aku dengar beliau memintaku untuk memberikan keterangan berisi petuah dan nasihat serta uraian singkat seputar landasan-landasan akidah yang wajib diyakini oleh seorang mukalaf.

Menasihati Diri

             Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pan­tas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran un­tuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagai­mana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak me­miliki cahaya tak mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Mar-yam, "Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malu­lah kepada-Ku." Nabi kita saw bersabda, "Aku tinggal­kan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam."

            Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, se­dangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagai­mana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasi­hati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenar­kan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pa­da diri ini, "Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru na­sihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang di­turunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?" Ia menjawab, "Benar." Allah Swt. berfirman, "Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-­apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal per­buatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan" (Q.S. Hud: 15-16).

            Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena eng­kau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak me­nyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cin­ta pada dunia? Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiur­kan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ke­timbang Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengam­bil pelajaran. Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, "Pem­beri nasihat yang berbicara (Alquran) telah memberi­tahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, 'Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberi­tahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan' (Q.S. al-Jumuah: 8)." Kukatakan padanya, "Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, 'Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada me­reka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.' (Q.S. asy­Syuara: 205-206)."

            Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, "Engkau benar." Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt. sebagai­mana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat se­bagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk meng­hadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengum­pulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, pa­dahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, "Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perleng­kapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan­mu menghadapi panas?" Ia menjawab: "Benar." "Kalau begitu", kataku, "Bermaksiatlah kepada Allah sesuai de­ngan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan ber­siap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana." Ia menjawab, "Ini merupakan kewa­jiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu." Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, "Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tak tercegah."

            Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat ke­matian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh ka­rena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama. Sean­dainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah SWT.

            Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasu­llah saw ketika beliau bersabda,"Salatlah seperti salat­nya orang yang akan berpisah (dengan dunia)." Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.

            Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mem­persiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan  selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.

            Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.

Akidah Seorang Mukmin

             Kemudian, seorang mukalaf minimal harus meyakini tafsiran dari kata-kata "tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah." Jika ia membenarkan Rasul saw., maka ia juga harus membenarkan beliau dalam hal sifat-sifat Allah Swt. Dia Zat Yang Maha hidup, Berkuasa, Mengetahui, Berbicara, dan Berkehendak Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Namun, ia tak harus meneliti hakikat sifat-sifat Allah tersebut serta tak harus mengetahui apakah kalam dan ilmu Allah bersifat qadim atau baru. Bahkan, tak jadi masalah walaupun hal RI tak pernah terlintas dalam benaknya sampai ia matt da lam keadaan mukmin. Ia tak wajib mempelajari dalil dalil yang dikemukakan oleh para ahli kalam. Selama hatinya meyakini al-Haq, walaupun dengan iman yang tak disertai dalil dan argumen, ia sudah merupakan mukmin. Rasulullah saw. tidak membebani lebih dari itu.

            Begitulah keyakinan global yang dimiliki oleh bangsa Arab dan masyarakat awam, kecuali mereka yan berada di negeri-negeri dimana masalah-masalah tentang qadim dan barunya kalam Allah, serta istiwa dan nuzul Allah, ramai diperdebatkan. Jika hatinya tak terlibat dengan hal itu dan hanya sibuk dengan ibadah dan amal salehnya, maka tak ada beban apa pun baginya. Namun, jika ia juga memikirkan hal itu, maka minimal ia harus mengakui keyakinan orang-orang salaf yang mengatakan bahwa Alquran itu qadim, bahwa Al­quran adalah kalam Allah, bukan makhluk, bahwa is­tiwa Allah adalah benar, bahwa menanyakan tentangnya adalah bidah, dan bahwa bagaimana cara istiwa itu ti­dak diketahui. Ia cukup beriman dengan apa yang di­katakan syariat secara global tanpa mencari-cari hakikat dan caranya. Jika hal itu masih tidak berguna juga, di­mana hatinya masih bimbang dan ragu, jika memung­kinkan, hendaknya keraguan tersebut dihilangkan de­ngan penjelasan yang mudah dipahami walaupun tidak kuat dan tidak memuaskan bagi para ahli kalam. Itu sudah cukup dan tak perlu pembuktian dalil. Namun, lebih baik lagi kalau kerisauannya itu bisa dihilangkan dengan dalil yang sebenarnya. Sebab, dalil tidak sem­purna kecuali dengan memahami pertanyaan dan jawab­annya. Bila sesuatu yang samar itu disebutkan, hatinya akan ingkar dan pemahamannya tak mampu menang­kap jawabannya. Sebab, sementara kesamaran tersebut tampak jelas, jawabannya pelik dan membingungkan sehingga sukar dipahami akal. Oleh karena itu, orang­-orang salaf tak mau mengkaji dan membahas masalah ilmu kalam. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan masyarakat awam yang lemah.

            Adapun orang-orang yang sibuk memahami berba­gai hakikat, mereka memiliki telaga yang sangat mem­bingungkan. Tidak membicarakan masalah ilmu kalam kepada orang awam adalah seperti melarang anak kecil mendekati pinggir sungai karena takut tenggelam. Se­dangkan orang-orang tertentu diperbolehkan karena me­reka mahir dalam berenang. Hanya saja, ini merupakan tempat yang bisa membuat orang lupa diri dan mem­buat kaki tergelincir, dimana, orang yang akalnya lemah merasa akalnya sempurna. Ia mengira dirinya bisa me­ngetahui segala sesuatu dan dirinya termasuk orang hebat. Bisa jadi, mereka berenang dan tenggelam dalam lautan tanpa ia sadari. Hanya segelintir orang saja dari mereka yang menempuh jalan para salaf dalam meng­imani para rasul serta dalam membenarkan apa yang diturunkan Allah Swt. dan apa yang diberitakan Ra­sul-Nya dimana mereka tak mencari-cari dalil dan ar­gumen. Melainkan, mereka sibuk dengan ketakwaan.

            Demikianlah, ketika Nabi saw. melihat para sahabatnya sibuk berdebat, beliau marah hingga memerah kedua pipi beliau dan berkata, "Apakah kalian diperintahkan untuk ini. Kalian mengumpamakan sebagian isi Kitab­ullah dengan yang lain. Perhatikan! apa yang Allah pe­rintahkan pada kalian kerjakanlah, sedangkan yang dilarang kalian tinggalkan." Ini merupakan peringatan terhadap manhaj yang benar. Lengkapnya, hal itu kami jelaskan dalam kitab Qawa'id al-Aqaa'id.

https://sites.google.com/site/pustakapejaten/ajaran-dasar/3-jalan-orang-bijak-bidayatul-hidayah/i-risalah-nasihat