Demokratisasi Sebagai Proses
Oleh: Abdurrahman Wahid
Beberapa hari yang lalu, penulis artikel ini diundang seorang teman untuk bertemu dengan sekitar 200 Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di negeri kita. Dalam pertemuan itu sudah tentu ada berbagai pandangan yang saling berbeda. Tuan rumah menyatakan dalam pidato yang disertai oleh dokumentasi yang kuat, bahwa sebaiknya penulis artikel meninggalkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), untuk lebih mengonsentrasikan diri pada perjuangan menegakkan demokrasi.
Ia menyatakan, apa yang dikemukakannya itu menjadi sangat penting karena penulis artikel ini adalah seorang pejuang yang meyakini pentingnya demokratisasi. Hal ini telah dibuktikan dalam masa yang sangat panjang, yaitu sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa.
Namun ada hal yang harus diingat bagi kepentingan kita bersama. Penulis artikel ini ‘mempertahankan’ sikapnya, bahwa Undang-Undang telah menetapkan pentingnya arti sebuah partai politik (parpol). Berpegang pada kenyataan tersebut, penulis artikel ini tentu saja merasa bahwa kehidupan parpol itu menjadi sangat penting.
Karena penulis artikel ini sudah mendirikan parpolnya sendiri, yaitu PKB, maka sudah tentu ia tidak dapat meninggalkan parpol tersebut. Karena itu, penulis artikel ini harus meneruskan kiprahnya melalui PKB, bahkan lebih jauh lagi, penulis harus ‘rela’ untuk menampung dalam parpol tersebut orang-orang yang tidak mengerti hakekat demokratisasi itu sendiri. Inilah konsekuensi dari ketaatannya pada Undang-Undang. Dalam hati penulis artikel ini bahkan berjanji kepada diri sendiri untuk menerima kehadiran siapapun dalam PKB, termasuk orang-orang dari partai lain yang ingin bergabung dalam PKB.
Konsekuensi tersebut tidak pernah terbayangkan oleh penulis artikel ini sebelumnya. Di sinilah penulis artikel ini memahami apa yang ditulis oleh teman baiknya, Rahman Tolleng, dengan istilah demokrasi moderen. Kata moderen harus dibedakan dari demokratisasi berdasarkan takhayul, dan hal-hal lain yang tidak rasional. Pada prinsipnya demokrasi itu harus dibedakan pada hal-hal yang tidak rasional yang sering menjadi ‘bumbu’ bagi kita untuk melakukan sebuah tindakan politis.
Hal ini telah dilakukan pemerintahan Orde Baru dengan menggambarkan seolah-olah diperlukan sistem kekuasaan yang bertumpu kapada satu orang.
Sudah tentu hal ini berbeda dari apa yang dikemukakan oleh Undang-Undang Dasar 1945, karena MPR belum mengundangkan amandemen-amandemen atas konstitusi yang kita miliki, yang memberikan jaminan kepada semua golongan baik mayoritas atau minoritas yang ada di negeri kita.
Hal ini berbeda dengan pandangan Munarman, SH., saudara penulis artikel ini sebagai seorang santri, bukannya musuh. Tetapi penulis artikel ini menolak padangannya yang hanya mementingkan satu pihak saja. Haknya untuk berpendapat lain dijamin oleh Undnag-Undang Dasar yang kita gunakan saat ini. Sikap memerangi orang yang berbeda pandangan dengan kita lalu menjadi hilang, kalau kita setia kepada UUD 1945.
Pendapat seperti yang dikemukakan penulis artikel ini adalah pendapat yang sering dijauhi orang. Padahal, pendapat seperti itulah yang sebenarnya merupakan esensi sebuah proses yang dinamai demokratisasi. Memang tradisi berdemokrasi tidak mudah diwujudkan. Memang sangat berat, tapi untuk sebuah tujuan mulia ia harus dilalui. Tapi, begitu sebuah masyarakat demokratis dapat didirikan, sikap seperti itu menjadi sangat mudah untuk diterapkan.
Mantan wapres AS Albert Arnold Gore (Al Gore) menghimbau masyarakat untuk waspada terhadap penguasaan modal besar atas televisi. Peringatan Al Gore itu menjadi sangat penting, tapi ia menunjukan sesuatu yang ‘sangat indah’ yaitu bahwa warga negara biasa dapat melakukan koreksi atas sebuah hal yang dianggap salah.
Dengan kata lain, kita perlu selalu waspada terhadap penggunaan media-media politik secara benar dan tepat.
Sebuah proses demokratisasi memang memerlukan kawaspadaan para pejuang yang ingin menegakkannya. Inilah esensi proses demokratisasi: Para pemilih berhak menentukan apa yang diperlukan oleh sebuah bangsa dan negara. Kalau hal ini dilupakan, maka yang terjadi adalah tegaknya sebuah proses Pseudo demokrasi seperti terjadi di bawah Hitler, Mussolini, Stalin dan Hideki Tojo. hal inilah yang tidak boleh kita lupakan lalu menajdi penting arti sebuah kewaspadaan bukan?
Sindo, Jakarta, 15 Agustus 2008
Sumber: https://m.facebook.com/filegusdur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar