Jumat, 18 April 2014

KH ABDURRAHMAN WAHID BIN WAHID HASYIM BIN KH MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI..

K.H.
Abdurrahman Wahid
Presiden Indonesia ke-4
Masa jabatan
20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
Didahului oleh Baharuddin Jusuf Habibie
Digantikan oleh Megawati Sukarnoputri
Informasi pribadi
Lahir 7 September 1940
Jombang , Jawa Timur ,
Hindia Belanda
Meninggal 30 Desember 2009
(umur 69)
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Partai politik PKB
Suami/istri Sinta Nuriyah
Anak Alissa Qotrunnada
Zannuba Ariffah Chafsoh
Anita Hayatunnufus
Inayah Wulandari
Agama Islam
Situs web www.gusdur.net
Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil
Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur , 7
September 1940 – meninggal di Jakarta , 30
Desember 2009 pada umur 69 tahun) [1] adalah
tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik
yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat
dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan
Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil
Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah
Indonesia 1999|Pemilu 1999]].
Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu
oleh Kabinet Persatuan Nasional . Masa
kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai
pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada
Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat
23 Juli 2001 , kepemimpinannya digantikan
oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman
Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah
(badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kehidupan awal
Gus Dur semasa muda.
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan
bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di
Denanyar Jombang , Jawa Timur dari pasangan
Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat
kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus,
namun kalender yang digunakan untuk
menandai hari kelahirannya adalah kalender
Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban,
sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil.
"Addakhil" berarti "Sang Penakluk". [2] Kata
"Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti
nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur . "Gus" adalah
panggilan kehormatan khas pesantren kepada
seorang anak kiai yang berati " abang " atau
" mas ". [2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang
sangat terhormat dalam komunitas Muslim
Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H.
Hasyim Asyari , pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri
Syansuri , adalah pengajar pesantren pertama
yang mengajarkan kelas pada perempuan [3] .
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat
dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri
Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah,
adalah putri pendiri Pondok Pesantren
Denanyar Jombang. Saudaranya adalah
Salahuddin Wahid dan Lily Wahid . Ia menikah
dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat
putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan
bahwa ia memiliki darah Tionghoa .[4]
Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah
keturunan dari Tan Kim Han yang menikah
dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden
Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan
Demak. [5][6]
Makam Putri Campa di Trowulan
(foto diambil pada tahun
1870-1900)
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan
anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang
merupakan selir Raden Brawijaya V . [6] Tan
Kim Han sendiri kemudian berdasarkan
penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-
Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh
Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan
makamnya di Trowulan. [6]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang
ke Jakarta , tempat ayahnya terpilih menjadi
Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang
berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang
saat itu menduduki Indonesia. Setelah
deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang
dan tetap berada di sana selama perang
kemerdekaan Indonesia melawan Belanda .
Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah
ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai
Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di
Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke
SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan
membaca buku non-Muslim, majalah, dan
koran oleh ayahnya untuk memperluas
pengetahuannya[7] . Gus Dur terus tinggal di
Jakarta dengan keluarganya meskipun
ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama
pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid
meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun
1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama.
Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu
mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk
meneruskan pendidikannya dengan mengaji
kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren
Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957,
setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke
Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di
Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan
reputasi sebagai murid berbakat,
menyelesaikan pendidikan pesantren dalam
waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren
Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara
melanjutkan pendidikannya sendiri,
Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan nantinya
sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur
juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah
seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya. [8]
Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa
dari Kementrian Agama untuk belajar Studi
Islam di Universitas Al Azhar di Kairo , Mesir. Ia
pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun
ia mahir berbahasa Arab , Gus Dur diberitahu
oleh pihak universitas bahwa ia harus
mengambil kelas remedial sebelum belajar
Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu
memberikan bukti bahwa ia memiliki
kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa
mengambil kelas remedial. [9]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir
pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa
dan Amerika, dan juga menonton pertandingan
sepak bola . Wahid juga terlibat dengan
Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis
majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia
berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia
memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa
Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah
mempelajari banyak materi yang diberikan dan
menolak metode belajar yang digunakan
Universitas [10] .
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan
Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja,
peristiwa Gerakan 30 September (G30S)
terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani
situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan
komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya
tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir
diperintahkan untuk melakukan investigasi
terhadap pelajar universitas dan memberikan
laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini
diberikan pada Wahid, yang ditugaskan
menulis laporan [11] .
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak
setuju akan metode pendidikan serta
pekerjaannya setelah G30S sangat
mengganggu dirinya. [12] Pada tahun 1966, ia
diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.
[12] Pendidikan prasarjana Gus Dur
diselamatkan melalui beasiswa di Universitas
Baghdad .[13] Wahid pindah ke Irak dan
menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia
lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat
belajar. Wahid juga meneruskan
keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar
Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi
tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di
Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman
Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan
pendidikannya. Wahid ingin belajar di
Universitas Leiden , tetapi kecewa karena
pendidikannya di Universitas Baghdad kurang
diakui. [14] Dari Belanda, Wahid pergi ke
Jerman dan Perancis sebelum kembali ke
Indonesia tahun 1971.
Awal karier
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan
bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk
belajar di Universitas McGill Kanada. Ia
membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
organisasi yg terdiri dari kaum intelektual
muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES
mendirikan majalah yang disebut "Prisma" dan
Gusdur menjadi salah satu kontributor utama
majalah tersebut. Selain bekerja sebagai
kontributor LP3ES,Gusdur juga berkeliling
pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.
Pada saat itu,pesantren berusaha keras
mendapatkan pendanaan dari pemerintah
dengan cara mengadopsi kurikulum
pemerintah. Gusdur merasa prihatin dengan
kondisi itu karena nilai-nilai tradisional
pesantren semakin luntur akibat perubahan ini.
Gusdur juga prihatin dengan kemiskinan
pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang
sama ketika mereka membujuk pesantren
mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah
juga membujuk pesantren sebagai agen
perubahan dan membantu pemerintah dalam
perkembangan ekonomi Indonesia. Gusdur
memilih batal belajar luar negeri dan lebih
memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya
sebagai jurnalis,menulis untuk majalah dan
surat kabar Artikelnya diterima dengan baik
dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai
komentator sosial. Dengan popularitas itu,ia
mendapatkan banyak undangan untuk
memberikan kuliah dan seminar, membuat dia
harus pulang-pergi antara Jakarta dan
Jombang, tempat Gusdur tinggal bersama
keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada
saat itu, Gusdur masih merasa sulit hidup
hanya dari satu sumber pencaharian dan ia
bekerja untuk mendapatkan pendapatan
tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur
mendapat pekerjaan tambahan di Jombang
sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan
segera mengembangkan reputasi baik. Satu
tahun kemudian Wahid menambah
pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al
Hikam.
Pada tahun 1977, Gusdur bergabung ke
Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan
Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan
Universitas ingin agar Gusdur mengajar subyek
tambahan seperti syariat Islam dan misiologi.
Namun kelebihannya menyebabkan beberapa
ketidaksenangan dari sebagian kalangan
universitas.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti.
Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif
dalam menjalankan NU. Permintaan ini
berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam
menjadi intelektual publik dan ia dua kali
menolak tawaran bergabung dengan Dewan
Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya
bergabung dengan Dewan tersebut setelah
kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran
ketiga [15] . Karena mengambil pekerjaan ini,
Wahid juga memilih untuk pindah dari
Jombang ke Jakarta dan menetap di sana.
Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama,
Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga
mendapat pengalaman politik pertamanya.
Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid
berkampanye untuk Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang
dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai
Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa
Pemerintah mengganggu kampanye PPP
dengan menangkap orang seperti dirinya [16] .
Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena
memiliki hubungan dengan orang penting
seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformasi NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang
NU sebagai organisasi dalam keadaan
stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan
Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim
Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk
mengerjakan isu reformasi dan membantu
menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam
organisasi termasuk perubahan kepemimpinan.
Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU
bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan
meminta agar ia mengundurkan diri. Idham,
yang telah memandu NU pada era transisi
kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya
melawan, tetapi akhirnya mundur karena
tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar
pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya,
lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak
konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham
membatalkan kemundurannya dan Wahid
bersama dengan Tim Tujuh dapat
menegosiasikan persetujuan antara Idham dan
orang yang meminta kemundurannya [17] .
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali
sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dan mulai mengambil langkah untuk
menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara.
Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid
menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan
untuk menyiapkan respon NU terhadap isu
tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan
seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran
dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia
menyimpulkan bahwa NU harus menerima
Pancasila sebagai Ideologi Negara [18] . Untuk
lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga
mengundurkan diri dari PPP dan partai politik.
Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus
dalam masalah sosial daripada terhambat
dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan
pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer
di kalangan NU. Pada saat Musyawarah
Nasional 1984, banyak orang yang mulai
menyatakan keinginan mereka untuk
menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU.
Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia
mendapatkan wewenang penuh untuk memilih
para pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah
Nasional tersebut. Namun demikian,
persyaratannya untuk dapat memilih sendiri
para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi.
Pada hari terakhir Munas, daftar anggota
Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh
para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU
sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya
telah memberikan sebuah daftar kepada
Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan
hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang
bertentangan dengan Idham, mengumumkan
sebuah daftar yang sama sekali berbeda
kepada para peserta Munas. [19]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto
dan rezim Orde Baru . Penerimaan Wahid
terhadap Pancasila bersamaan dengan citra
moderatnya menjadikannya disukai oleh
pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985,
Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator
Pancasila. [20] Pada tahun 1987, Abdurrahman
Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut
terhadap rezim tersebut dengan mengkritik
PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan
memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia
kemudian menjadi anggota MPR mewakili
Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid
mengkritik pemerintah karena proyek Waduk
Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia.
[21] Hal ini merenggangkan hubungan Wahid
dengan pemerintah, namun saat itu Suharto
masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur
fokus dalam mereformasi sistem pendidikan
pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas
sistem pendidikan pesantren sehingga dapat
menandingi sekolah sekular.[22] Pada tahun
1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok
belajar di Probolinggo , Jawa Timur untuk
menyediakan forum individu sependirian dalam
NU untuk mendiskusikan dan menyediakan
interpretasi teks Muslim. [23] Gus Dur pernah
pula menghadapi kritik bahwa ia
mengharapkan mengubah salam Muslim
"assalamualaikum" menjadi salam sekular
"selamat pagi". [24]
Masa jabatan kedua dan melawan Orde
Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan
kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional
1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat
dalam pertempuran politik dengan ABRI , mulai
menarik simpati Muslim untuk mendapat
dukungan mereka. Pada Desember 1990,
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
dibentuk untuk menarik hati Muslim
Intelektual. Organisasi ini didukung oleh
Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf
Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual
Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish
Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991,
beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur
bergabung. Gus Dur menolak karena ia
mengira ICMI mendukung sektarianisme dan
akan membuat Soeharto tetap kuat. [25] Pada
tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan
membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang
terdiri dari 45 intelektual dari berbagai
komunitas religius dan sosial. Organisasi ini
diperhitungkan oleh pemerintah dan
pemerintah menghentikan pertemuan yang
diadakan oleh Forum Demokrasi saat
menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana
mengadakan Musyawarah Besar untuk
merayakan ulang tahun NU ke-66 dan
mengulang pernyataan dukungan NU terhadap
Pancasila. Wahid merencanakan acara itu
dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota
NU. Namun, Soeharto menghalangi acara
tersebut, memerintahkan polisi untuk
mengembalikan bus berisi anggota NU ketika
mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu
dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara,
Gus Dur mengirim surat protes kepada
Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi
kesempatan menampilkan Islam yang terbuka,
adil dan toleran.[26] Selama masa jabatan
keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus
Dur mulai mengubah banyak pendukungnya
menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur
terus mendorong dialog antar agama dan
bahkan menerima undangan mengunjungi
Israel pada Oktober 1994. [27]
Masa jabatan ketiga dan menuju
reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus
Dur menominasikan dirinya untuk masa
jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto
ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-
minggu sebelum munas, pendukung Soeharto,
seperti Habibie dan Harmoko berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika
musyawarah nasional diadakan, tempat
pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam
tindakan intimidasi. [28] Terdapat juga usaha
menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya.
Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua
NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa
ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan
Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan
nama ayahnya memiliki popularitas yang besar
dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Wahid menasehati Megawati untuk berhati-
hati dan menolak dipilih sebagai Presiden
untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati
mengacuhkannya dan harus membayar mahal
ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil
alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung
pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati,
Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya
sekarang adalah mundur secara politik dengan
mendukung pemerintah. Pada November 1996,
Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya
sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua
NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti
dengan pertemuan dengan berbagai tokoh
pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha
menghalangi pemilihan kembali Gus Dur. [29]

Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan
pilihannya untuk melakukan reformasi tetap
terbuka dan pada Desember 1996 bertemu
dengan Amien Rais , anggota ICMI yang kritis
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial
Asia . Soeharto mulai kehilangan kendali atas
situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk
melakukan reformasi dengan Megawati dan
Amien, namun ia terkena stroke pada Januari
1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi
terus memburuk dengan pemilihan kembali
Soeharto sebagai Presiden dan protes
mahasiswa yang menyebabkan terjadinya
kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam
mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada
tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama
dengan delapan pemimpin penting dari
komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman
Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite
Reformasi yang ia usulkan. Sembilan
pemimpin tersebut menolak untuk bergabung
dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki
pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto
dan meminta demonstran berhenti untuk
melihat apakah Soeharto akan menepati
janjinya. [30]

Hal tersebut tidak disukai Amien,
yang merupakan oposisi Soeharto yang paling
kritis pada saat itu. Namun, Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya pada
tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie
menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Reformasi
Pembentukan PKB dan Pernyataan
Ciganjur
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah
pembentukan partai politik baru. Di bawah
rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai
politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya
Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk,
dengan yang paling penting adalah Partai
Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien dan
Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-
P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998,
banyak orang dari komunitas NU meminta Gus
Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak
langsung mengimplementasikan ide tersebut.
Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai
menanggapi ide tersebut karena mendirikan
partai politik merupakan satu-satunya cara
untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum.
Wahid menyetujui pembentukan PKB dan
menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan
Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.
Meskipun partai tersebut didominasi anggota
NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai
tersebut terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di
Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati,
Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X
kembali menyatakan komitmen mereka untuk
reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara
resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat
pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR
Amien Rais dan Gus Dur pada
Sidang Umum MPR.
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam
arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12%
suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara.
Dengan kemenangan partainya, Megawati
memperkirakan akan memenangkan pemilihan
presiden pada Sidang Umum MPR. Namun,
PDI-P tidak memiliki kursi mayoritas penuh,
sehingga membentuk aliansi dengan PKB.
Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros
Tengah, koalisi partai-partai Muslim. [31] Poros
Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai
kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan
komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros
Tengah secara resmi menyatakan
Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.
[32] Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak
pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia
mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat
kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan
ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur.
Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali
berkumpul dan mulai memilih presiden baru.
Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai
Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara,
sedangkan Megawati hanya 313 suara. [33]
Tidak senang karena calon mereka gagal
memenangkan pemilihan, pendukung Megawati
mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa
Megawati harus terpilih sebagai wakil
presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto
untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil
presiden dan membuat PKB mendukung
Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan
Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober
1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan
wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz
dari PPP.
Kepresidenan
1999
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan
Nasional , adalah kabinet koalisi yang meliputi
anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB,
Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK).
Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet
tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan
dua reformasi pemerintahan. Reformasi
pertama adalah membubarkan Departemen
Penerangan, senjata utama rezim Soeharto
dalam menguasai media. Reformasi kedua
adalah membubarkan Departemen Sosial yang
korup. [34]
Pada November 1999, Wahid mengunjungi
negara-negara anggota ASEAN , Jepang,
Amerika Serikat, Qatar , Kuwait , dan Yordania .
Setelah itu, pada bulan Desember, ia
mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok. [35]
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet
Persatuan Nasional, Menteri Menteri
Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko
Taskin) Hamzah Haz mengumumkan
pengunduran dirinya pada bulan November.
Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya
diakibatkan karena Gus Dur menuduh
beberapa anggota kabinet melakukan korupsi
selama ia masih berada di Amerika Serikat. [34]
Beberapa menduga bahwa pengunduran diri
Hamzah Haz diakibatkan karena
ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur
dengan Israel [36] .
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh
referendum. Namun referendum ini
menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan
seperti referendum Timor Timur . Gus Dur juga
ingin mengadopsi pendekatan yang lebih
lembut terhadap Aceh dengan mengurangi
jumlah personel militer di Negeri Serambi
Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur
mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya.
Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid
berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin
Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama
Papua. [37]
2000
Abdurrahman Wahid di Forum
Ekonomi Dunia tahun 2000.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan
perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss
untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan
mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan
pulang menuju Indonesia. Pada Februari,
Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke
Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris ,
Perancis , Belanda , Jerman , dan Italia . Dalam
perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga
mengunjungi India , Korea Selatan , Thailand ,
dan Brunei Darussalam . Pada bulan Maret,
Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan
April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam
perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri
pertemuan G-77, sebelum kembali melewati
Kota Meksiko dan Hong Kong . Pada bulan
Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika,
Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan ,
dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam
daftar negara-negara yang dikunjunginya. [38]
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan
Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus
Dur melihat Wiranto sebagai halangan
terhadap rencana reformasi militer dan juga
karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor
Timur terhadap Wiranto. [39]
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto
berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan
Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun,
Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan
memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur
memecat Menteri Negara Perindustrian dan
Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara
BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang
diberikan Wahid adalah bahwa keduanya
terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus
Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat.
[40] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur
dengan Golkar dan PDI-P.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai
melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian,
pemerintah menandatangani nota
kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun
2001, saat kedua penandatangan akan
melanggar persetujuan.[41] Gus Dur juga
mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/
MPR/1966 yang melarang Marxisme-
Leninisme dicabut. [42]
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan
Israel, yang menyebabkan kemarahan pada
kelompok Muslim Indonesia. [43] Isu ini
diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar
Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen
Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul
adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan
Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar
negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak
tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta
besar Palestina untuk Indonesia, diganti. [44]
Dalam usaha mereformasi militer dan
mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik,
Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus
Wirahadikusumah , yang diangkatnya menjadi
Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli
2000, Agus mulai membuka skandal yang
melibatkan Dharma Putra, yayasan yang
memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui
Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid
untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur
mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana
menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat. Petinggi TNI merespon dengan
mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur
kembali harus menurut pada tekanan. [45]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin
memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku
dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi
ke Maluku untuk membantu orang Muslim
dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid
meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad,
namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku
dan dipersenjatai oleh senjata TNI.[46]
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000,
yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada
bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG)
melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari
persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus
Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur
ke Bulog untuk mengambil uang. [47] Meskipun
uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur
menuduhnya terlibat dalam skandal ini.
Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada
waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh
menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri.
Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan
Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus
Dur gagal mempertanggungjawabkan dana
tersebut. Skandal ini disebut skandal
Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba,
popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu
Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien
masih mendukungnya meskipun terjadi
berbagai skandal dan pencopotan menteri.
Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur
diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama
pidato, Wahid menyadari kelemahannya
sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan
mewakilkan sebagian tugas. [48] Anggota MPR
setuju dan mengusulkan agar Megawati
menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR
berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP
MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap
sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur
mengumumkan kabinet baru meskipun
Megawati ingin pengumuman ditunda.
Megawati menunjukan ketidaksenangannya
dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet.
Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih
banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota
Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat
militer di Maluku karena kondisi di sana
semakin memburuk. Pada saat itu semakin
jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh
anggota TNI dan juga kemungkinan didanai
oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir
Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera
bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus
Dur memperbolehkan bendera bintang kejora
dikibarkan asalkan berada di bawah bendera
Indonesia. [49] Ia dikritik oleh Megawati dan
Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000,
terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di
Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh
Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit
politik yang kecewa dengan Abdurrahman
Wahid. Orang yang paling menunjukan
kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan
kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden
tahun lalu. Amien juga berusaha
mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan
Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan
otot politik mereka. Megawati melindungi Gus
Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan
umum legislatif tahun 2004. Pada akhir
November, 151 anggota DPR menandatangani
petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur. [50]
2001 dan akhir kekuasaan
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan
bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari
libur opsional.[51] Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf
Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika
Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[52]
Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan
terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden
pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi
Australia .
Pada pertemuan dengan rektor-rektor
universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia masuk
kedalam anarkisme . Ia lalu mengusulkan
pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. [53]
Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-
Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk
mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota
tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus
MPR dimana pemakzulan Presiden dapat
dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out
dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga
menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa
Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar
kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus
Dur turun menuduhnya mendorong protes
tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk
berbicara dengan demonstran di Pasuruan .
[54] . Namun, demonstran NU terus
menunjukkan dukungan mereka kepada Gus
Dur dan pada bulan April mengumumkan
bahwa mereka siap untuk mempertahankan
Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba
membalas oposisi dengan melawan disiden
pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot
dari kabinet karena ia mengumumkan
permintaan agar Gus Dur mundur. [55] Menteri
Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot
dengan alasan berbeda visi dengan Presiden,
berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan
diangap tidak dapat mengendalikan Partai
Keadilan , [56] yang pada saat itu massanya
ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur.
Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai
menjaga jarak dan tidak hadir dalam
inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April,
DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta
diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1
Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri
Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan
(Menko Polsoskam) Susilo Bambang
Yudhoyono untuk menyatakan keadaan
darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur
memberhentikannya dari jabatannya beserta
empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet
pada tanggal 1 Juli 2001. [57] Akhirnya pada
20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang
Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli.
TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan
juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah
Istana Negara sebagai bentuk penunjukan
kekuatan. [58] Gus Dur kemudian
mengumumkan pemberlakuan dekret yang
berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2)
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu
tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar[59]
sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang
Istimewa MPR. Namun dekret tersebut tidak
memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR
secara resmi memakzulkan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati
Sukarnoputri . [60] Abdurrahman Wahid terus
bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap
tinggal di Istana Negara selama beberapa hari,
namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi
ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
[61]
Aktivitas setelah kepresidenan
Perpecahan pada tubuh PKB
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB
setuju untuk tidak hadir sebagai lambang
solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil , ketua
PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil
Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua
Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi
Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15
Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta
dalam aktivitas partai sebelum mencabut
keanggotaan Matori pada bulan November. [62]
Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori
mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh
pendukungnya di PKB. Munas tersebut
memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus
Dur membalasnya dengan mengadakan
Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari,
sehari setelah Munas Matori selesai [63]
Musyawarah Nasional memilih kembali Gus
Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi
Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih
dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB
Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pemilihan umum 2004
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6%
suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat
akan memilih secara langsung, PKB memilih
Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus
Dur gagal melewati pemeriksaan medis
sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak
memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu
mendukung Solahuddin yang merupakan
pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004,
Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu.
Untuk pemilihan kedua antara pasangan
Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi,
Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi terhadap pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah
satu pemimpin koalisi politik yang bernama
Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama
dengan Try Sutrisno , Wiranto , Akbar Tanjung
dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
terutama mengenai pencabutan subsidi BBM
yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan
dikaruniai empat orang anak: Alissa
Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny) ,
Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Yenny juga aktif berpolitik di Partai
Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah
direktur The Wahid Institute .
Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan
sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia
menderita gangguan penglihatan sehingga
seringkali surat dan buku yang harus dibaca
atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan
oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami
serangan stroke . Diabetes dan gangguan ginjal
juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari
Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta , pada pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit
tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum
wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci
darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid
adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada
arteri . [64] Seminggu sebelum dipindahkan ke
Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai
mengadakan perjalanan di Jawa Timur . [65]
Testimonial
KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) [66]
“Menurut saya, Gus Dur itu diutus Tuhan,
untuk mengajarkan Indonesia agar pandai
berbeda dengan yang lain. Karena itu, Gus
Dur sangat kontroversial, setiap sikap dan
ucapannya menimbulkan kontoroversi.
Dengan begitu, orang Indonesia akan
belajar bagaimana berbeda dengan orang
lain. Itu sebetulnya hakikat kehadiran Gus
Dur di Indonesia.
Kemudian, kita akan menjadi Negara yang
betul-betul demokratis, karena saling
menghargai pendapat orang lain. Kita
Negara yang sangat plural, sangat
majemuk. Kita mempunyai slogan Bhinneka
Tunggal Ika, dan itu akhir-akhir ini seperti
sedang mendapatkan tantangan orang-
orang yang tidak bisa berbeda dengan
saudara-saudaranya. Gus Dur sangat
berperan, sangat berjasa dan banyak.
Mungkin nanti, pengikut-pengikutnya yang
bertanggung jawab untuk meneruskan
perjuangan beliau. ”
Guruh Soekarnoputra [66]
“Saya rasa beliau patut menjadi pahlawan
nasional. Banyak hal-hal dari beliau yang
perlu diteladani dan harus diturun-
temurunkan kepada generasi muda.
Misalnya apa dibuat buku tentang
pemikiran-pemikiran beliau, biografi beliau
dan sebagainya. ”
Viryanadi Mahatera [66]
“Gus Dur itu salah satu tokoh yang benar-
benar universal. Selama ini Gus Dur
seringkali hadir ditengah-tengah kami.
Setiap kali ada even-even besar, seperti
seminar, talkshow dalam konteks
pluralisme, dan lain-lain. Dan apa yang
disampaikan; pesan, petunjuk-petunjuk,
nasihat-nasihat, ini membawa kemajuan
bagi khususnya umat budha. Gus Dur
adalah penasehat kami. ”
Soesilo Bambang Yudhoyono (Petikan pidato
dalam penutupan upacara kenegaraan di
Ponpes Tebuireng) [66]
“Sebagai pejuang reformasi, almarhum
telah mengajari kita kepada gagasan-
gagasan universal mengenai pentingnya
kita sebagai bangsa yang beragam ini
menghormati dan menghargai keadilan.
Melalui ucapan, sifat, dan perbuatan beliau,
Gus Dur mengobarkan sekaligus
melembagakan penghormatan kita kepada
kemajemukan dan identitas yang tercampur
dari perbedaan agama, kepercayaan, etnis,
dan kedaerahan. Disadari atau tidak,
sesungguhnya beliau adalah bapak
pluralisme dari multikularisme di
Indonesia. ”
Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon
Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang
cukup prestisius untuk kategori Community
Leadership .[67]
Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa"
oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di
Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang
selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan
pada tanggal 10 Maret 2004 .[6]
Ia mendapat penghargaan dari Simon
Wiesenthal Center, sebuah yayasan yang
bergerak di bidang penegakan Hak Asasi
Manusia . Wahid mendapat penghargaan
tersebut karena menurut mereka ia merupakan
salah satu tokoh yang peduli terhadap
persoalan HAM.[68][69] Gus Dur memperoleh
penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor
di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki
keberanian membela kaum minoritas, salah
satunya dalam membela umat beragama
Konghucu di Indonesia dalam memperoleh
hak-haknya yang sempat terpasung selama
era orde baru.[68] Wahid juga memperoleh
penghargaan dari Universitas Temple.
Namanya diabadikan sebagai nama kelompok
studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic
Study. [68] Pada 21 Juli 2010, meskipun telah
meninggal, ia memperoleh Lifetime
Achievement Award dalam Liputan 6 Awards
2010. [70] Penghargaan ini diserahkan
langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
Tasrif Award-AJI
Pada 11 Agustus 2006 , Gadis Arivia dan Gus
Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai
Pejuang Kebebasan Pers 2006. [71]
Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai
memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekpresi,
persamaan hak, semangat keberagaman, dan
demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis
dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari
budayawan Butet Kertaradjasa , pemimpin
redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan
Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra
Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23
kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi
Gus Dur menuai protes dari para wartawan
yang hadir dalam acara jumpa pers itu. [72]

Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya
karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti
Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima
penghargaan tersebut. Sementara wartawan
lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum
AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post
membantah dan mempertanyakan hubungan
perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan
kebebasan pers.[72]

Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari
berbagai lembaga pendidikan:
Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum
dari Universitas Thammasat, Bangkok ,
Thailand (2000) [73]
Doktor Kehormatan dari Asian Institute of
Technology, Bangkok, Thailand (2000) [73]
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan
Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan
Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas
Sorbonne , Paris , Perancis (2000) [73]
Doktor Kehormatan dari Universitas
Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Universitas Twente,
Belanda (2000) [74]
Doktor Kehormatan dari Universitas
Jawaharlal Nehru, India (2000) [73]
Doktor Kehormatan dari Universitas Soka
Gakkai, Tokyo , Jepang (2002) [73]
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan
dari Universitas Netanya, Israel (2003) [75]
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari
Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan
(2003) [73]
Doktor Kehormatan dari Universitas Sun
Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

Sumber: wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar