Kenangan tentang Gus Dur
Dari Inul hingga kyai Nur
Ahlannawawi: Tiba-tiba saja perempuan itu tak mampu membendung air matanya. Suara jadi terbata-bata dan tak lancar menceritakan sebuah pengalaman yang dianggap paling berharga dalam hidupnya. Peristiwanya terjadi sekitar dua tahun lalu.
Perempuan berusia 31 tahun itu betul-betul merasakan kehilangan mendalam begitu mengingat kembali bagaimana sosok KH. Abdurrahman Wahid-akrab disapa Gus Dur-memberikan ‘pesan hidup' di atas mobilnya yang sengaja disiapkannya untuk menjemput dan membawa Gus Dur ke Pasuruan Jawa Timur. Saat itu sebuah acara untuk warga kampung digelar. Dan mantan ketua PBNU itu diundang memberikan taushiyah. Perempuan itu masih ingat betul apa yang diwejangkan Gus Dur hingga detail dalam bahasa Jawa Timuran. Apa yang dikatakan Gus Dur perempuan itu hafal.
"kon nyanyi neng nggone Jakarta, celengono duitmu (kamu nyanyi di jakarta, uangnya ditabung)," kata Ainur Rokhimah, sapaan akrab penyanyi dangdut dan goyang ngebor Inul Daratista menirukan Gus Dur sambil terisak. Isakannya berkali-kali terdengar sembari mengulang kata-kata Gus Dur tentang anjurannya untuk selalu menjaga diri dan menyisihkan hartanya bagi kemanfaatan orang lain. Yang juga terbersit kuat di benak Inul, Gus Dur menyarankan agar ia sekali-kali menyanyikan lagu kasidah. "Jangan Dangdut saja," kata Gus Dur seperti ditirukan Inul.
"Alhamdulillah itu sudah terwujud," katanya sembari menunjukkan sebuah kaset bertema religi di antara tumpukkan kaset dan foto penghargaannya dalam sebuah almari tak jauh dari tempatnya duduk. Isteri Adam Suseno itu belakangan memang kesampaian membuat album religi (kasidah).
Inul kemudian melanjutkan cerita bagaimana Gus Dur membela dirinya. Dari ceritanya kepada kami di kediamannya di Kawasan Pondok Indah Jalan Kartika Utama PT. 27, Jakarta Selata, Senin (27/9) sore itu mengesankan bahwa pembelaan Gus Dur terhadap dirinya-terutama terkait kasusnya dengan H.
Rhoma Irama di panggung hiburan-itu betul-betul menjadi jalan yang sangat berarti bagi kehidupan Inul selanjutnya. Seolah Inul ingin menyampaikan bahwa pembelaan Gus Dur terhadap dirinya itu bukan semata pembelaan seorang Gus Dur kepada seorang Inul semata, namun lebih dari itu. Di sana ada pesan untuk bangsa ini agar selalu menghargai hak-hak orang lain terutama yang terkait dengan kebebasan berekspresi, ada penegakan hukum, dan tentu kaidah-kaidah demokrasi yang berpatokan kepada Undang-undang dasar 1945.
Kesedihan mendalam nyatanya tak hanya dialami Inul seorang. Di tengah ribuan santrinya di wilayah Jakarta Barat, Kyai yang sempat menduduki kursi DPR RI Fraksi PKB periode 1999-2004 ini juga merasakan kesedihan mendalam begitu mengingat seorang Gus Dur dan jasa-jasanya pada bangsa ini.
Ketika ditemui di rumahnya di komplek Pondok Pesantren Assiddiqiyah, Jalan Surya sarana 6C Kedoya Utara Kebonjeruk Jakarta Senin (27/9) malam, kyai yang mempunyai nama Nur Muhammad Iskandar Al-Barsani bercerita banyak soal kisahnya mengenal Gus Dur. Bahkan ketika kami langsung membuka pertanyaan dengan soal meninggalnya Gus Dur, kedua mata kyai Nur perlahan berkaca-kaca, sejenak Ia menghentikan ceritanya.
Malam itu kami datang bertiga, saya, Alamsyah M. Dja'far salah seorang rekan staf Wahid yang terlibat juga dalam penerbitan buku Gus Dur dan Muntaat, driver yang setia mengantar kami kemana-mana.
Kyai yang sempat malam melintang di jagat politik ini menyampaikan penyesalannya, karena sesaat sebelum meninggalnya Gus Dur, Ia sejatinya diminta untuk bertemu empat mata dengan Gus Dur. "Saya ditelepon oleh yang nungguin Gus Dur, jam 5 (2 jam sebelum meninggalnya Gus Dur 18.45). Gus Dur mengharap saya ke Rumah sakit," cerita kyai Nur.
Namun sial, kemacetan dari daerah Tangerang menuju RSCM saat itu membuat dirinya gagal memenuhi permintaan Gus Dur tersebut. Penantian Kyai Nur di tengah kemacetan justru berujung kabar yang cukup mengagetkan. "Saya ditelepon wartawan, bahwa Gus Dur meninggal," papar kyai Nur dengan suara berat, mengingat keinginan yang tak kesampaian bertemu untuk terakhir kali.
Bagi pimpinan pondok pesantren Assiddiqiyyah ini, Gus Dur adalah orang yang mau mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang lain. Orang yang tidak pernah melihat sekat antara yang kaya dan yang miskin. Orang yang telah menjadi saksi bahwa ‘man tawadha ‘arufia'. "Barang siapa yang merendahkan dirinya, maka ia akan diangkat oleh Allah Swt," ujarnya melafalkan sebuah hadis.
Pengorbanan Gus Dur untuk kepentingan orang lain ini memang betul-betul dirasakan semua kalangan. Tidak hanya Inul yang tersandung kasus ‘goyangan ngebornya'. Tak kurang, pentolan Grup musik Dewa19, Ahmad Dhani juga merasakan betapa perlindungan Gus Dur sangat ia rasakan. Terutama saat kasus yang menimpa grup ini terkait dengan lambang grup Dewa19. Tentu perlindungan itu bukan sekadar sikap berbeda atau (apalagi) mencari popularitas. "Gus Dur tahu mana yang benar, mana yang nggak,"tegas Dhani ketika diwawancarai di kediamannya Jalan Pinang Mas III kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan, Minggu (19/9) siang.
Keikhlasan Gus Dur dalam membela grup musiknya ini yang membuat Dhani trenyuh bahkan tersentil kelenjar lakrimal-nya hingga Ia sesenggukan di depan pusara Gus Dur saat Ia ziarah ke komplek pemakaman Pesantren Tebuireng bersama ketiga anaknya Al, El dan Dul, Jum'at (8/1), seperti dikabarkan www.liputan6.com.
Inul, kyai Nur dan juga Dhani mungkin hanya sekian sosok manusia yang sejatinya punya pemikiran masing-masing yang tentu berbeda. Mereka hanya melampirkan pesan yang sangat perspektifal dari sisi pekerja seni dan tokoh masyarakat. Kita boleh sepakat, boleh juga tidak. Namun, yang perlu di catat bahwa pengorbanan Gus Dur untuk kemanusiaan, keikhlasan Gus Dur membela kebenaran, keberanian Gus Dur membela kaum lemah, serta tawadhu'-nya atau kesederhanaannya dalam bersikap menjadi cermin yang pas untuk kita teladani. Biarlah kepergian Gus Dur bak jasad yang tenggelam ditelan bumi, namun ruh perjuangannya akan tetap menjadi spirit yang hidup bagi kita semua.
(oleh: wiwit r fatkhurrahman)
Sumber: GUS DUR Net
Terbitan: Rabu, 13 Oktober 2010 14:10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar