Mengenal Kepribadian Gus Dur
Ahlannawawi: ~ Teologi Kebangsaan Gus Dur
Telah empat tahun, sejak 30 Desember 2009, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Namun warisan pemikiran dan perjuangannya tetap menerangi gerak hidup bangsa ini. Warisan tersebut memiliki keabadian, khususnya ketika negeri ini semakin terpuruk dalam perilaku hidup nan koruptif.
Bahkan sejak 1987, Gus Dur telah merumuskan “nilai keindonesiaan” yang unik dan mendasar. Menurutnya, “nilai yang paling Indonesia” ialah pencarian tak berkesudahan akan perubahan sosial tanpa memutus sama sekali ikatan dengan masa lalu. Artinya, keindonesiaan selalu bersifat praksis: perubahan sosial menuju kehidupan sosial manusiawi (human social life). Namun asa akan perubahan itu tak harus mencerabut bangsa ini dari akar kulturalnya sendiri.
Senyata, pengagum buku Etika Nikomacheia karya Aristoteles ini kemudian mempraktikkan perubahan sosial berdasarkan nilai kultural yang paling ia cintai: Islam. Oleh karenanya, tulisan ini akan mengajak kita menilik warisan Gus Dur paling berharga, yakni dasar-dasar keislaman bagi pandangan kebangsaan yang relevan hingga hari ini.
Etika Sosial
Dalam mendekati hubungan antara Islam dan bangsa, Gus Dur bersifat fungsional. Artinya, pertama, ia mendekati Islam berdasarkan fungsi agama ini sebagai pandangan hidup yang menebarkan kesejahteraan bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Menarik karena Gus Dur tidak memaknai kata rahmat sebagai kasih, melainkan kesejahteraan. Bagi Gus Dur, kasih mungkin bersifat abstrak. Sementara Islam adalah agama hukum yang memiliki kadar politik. Maka yang dipilih adalah kesejahteraan yang meniscayakan pemerintahan demokratis yang mampu mensejahterakan.
Gus Dur menempatkan Islam sebagai “agama kesejahteraan”, karena ia memahami Islam sebagai etika sosial. Dalam terang etis ini, kesempurnaan iman baru tercapai ketika seorang muslim memiliki kepedulian atas kaum miskin, selayak titah al-Baqarah:177. Kepedulian ini lahir dari pemuliaan Islam atas martabat manusia (QS 2:32), sehingga tujuan utama dari syariat Islam (maqashid al-syari’ah) sendiri adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia (al-kulliyat al-khamsah).
Kedua, fungsi negara sebagai alat bagi tujuan Islam. Ketika fungsi dan tujuan Islam adalah kesejahteraan rakyat (al-mashalih al-ra'iyah), maka negara menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karenanya, Gus Dur menggunakan kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan cara pencapaian). Jika sebuah negara (NKRI) bisa menjadi alat bagi tujuan Islam; bentuk dari negara itu tidak lagi penting. Apalagi jika di dalam dasar negara tersebut (Pancasila), termuat cita keadilan sosial yang sama dengan Islam.
Dengan demikian, Gus Dur bukan seorang sekularis, sebab meskipu mengritik teo-demokrasi al-Maududi misalnya, ia juga tak sepakat dengan sekularisme Ali Abdur Raziq. Kritik atas teo-demokrasi dan segenap ideal negara Islam terletak pada keterjebakan konsep tersebut di dalam hukum. Sebab negara hanya didekati dari sudut pandang formalisme hukum tanpa terkait dengan kualitas demokratis dari sistem politiknya. Sementara itu sekularisasi terkritik, karena ia telah melucuti sisi normatif Islam dan hanya menempatkan agama ini sebagai landasan filosofis dari negara.
Menurut Gus Dur, Indonesia telah melampaui dikotomi integrasi (negara-agama) dan separasi (negara tanpa agama) di atas, karena dua hal. Pertama, partikel hukum Islam telah dilembagakan di dalam hukum nasional. Melalui pengesahan pemerintan RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki kewenenangan (waliy al-amri al-dlaruri bi al-syaukah), segenap syariat Islam sah diterapkan di negeri ini. Formalisasi syariat ini telah menghindarkan NKRI dari sekularisasi.
Kedua, ditegakkannya Islam sebagai etika sosial yang membentuk keadaban publik demi keadaban negara. Dalam rangka peran etis ini, Islam menubuh dalam struktur politik Indonesia melalui dua strategi. Pertama, penegakan etika politik melalui Pancasila. Artinya, Islam menjadi landasan etis bagi dasar negara. Ini yang Gus Dur maksud, "Pancasila adalah bangunan rumah, Islam menjadi aturan rumah tangga". Hal ini rasional sebab semua sila Pancasila bersifat Islami, dan lebib jauh, agama ini bisa menyempurnakan pandangan-dunia Pancasila melalui visi politik Islam yang lebih komprehensif.
Strategi kedua melalui gerakan sipil Islam (civil Islam). Artinya, politik Islam bermain di luar negara untuk mengimbangi negara. Dengan demikian, etika sosial Islam akhirnya menjelma etika publik yang digerakkan oleh gerakan Islam. Penempatan Islam sebagai gerakan sipil yang mengimbangi otoriterisme negara inilah yang membuat Islam Indonesia menjadi primadona bagi dunia Barat. Pada dekade 1990, puluhan Indonesianis melakukan pertaubatan metodologis akibat kemampuan Islam tradisional menjadi oposisi demokratik di Indonesia. Mitsuo Nakamura misalnya, menyebut Nahdlatul Ulama (NU) era Gus Dur sebagai "tradisionalisme radikal". Artinya berdasarkan tradisi, NU telah menggerakkan radikalisme politik. Kemampuan Islam memperjuangkan oposisi demokratik, tak lepas dari peran Gus Dur dalam mentransformasikan Islam sebagai etika sosial.
Dari sini bisa dipahami bahwa Gus Dur telah memperjuangkan politik Islam melalui demokrasi. Dan karena definisi demokrasinya adalah demokratisasi politik menuju struktur masyarakat berkeadilan. Maka perjuangan demokrasi Gus Dur tak terhenti pada proseduralisme politik (pemilu) melainkan demokratisasi (otoriterisme) negara demi keadilan sosial bagi rakyat yang papa. Visi ini secara substantif Islami, sebab Gus Dur memahami Islam sebagai "agama demokratik" karena memuat nilai syura (musyawarah), 'adalah (keadilan) dan musawah (persamaan).
Reorientasi Politik
Dari uraian di atas terpahami bahwa Gus Dur mengembangkan suatu nasionalisme Islam yang praksis. Artinya, ia tak hanya terhenti pada ketegangan teologis antara Islam dan negara, melainkan mempraksiskannya dalam perjuangan demokratik. Hal ini terjadi karena bagi Gus Dur, negara adalah alat bagi kesejahteraan rakyat. Strategi untuk mewujudkan hal itu adalah demokrasi. Pada titik ini posisi Islam sangat vital sebab menyediakan landasan etik bagi pembentukan struktur masyarakat yang adil.
Bercermin dari warisan berharga ini, umat Islam perlu melakukan reorientasi politik Islam. Dari orientasi formalis-simbolik, menuju perjuangan substantif-etis dengan menempatkan "keadilan politik" sebagai tujuan dari perjuangan Islam. Reorientasi ini akan menyelamatkan gerakan Islam dari peran tak strategis: menolak atau melegitimasi keadaan. Gus Dur telah membuktikan bahwa Islam memiliki ideal politik yang bisa diperjuangkan melalui keadaban demokratik. Ketidakmampuan atas hal ini akan mengukuhkan irrelevansi Islam dan menempatkan agama ini di pinggiran sejarah bangsanya sendiri.
* Pengajar Mata Kuliah “Pemikiran Gus Dur” di Pascasarjana STAINU Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar