Melafalkan Niat Dalam Ibadah, Sunnah atau Bid’ah?
Ahlannawawi..
Posted by: Ust. Idrus Ramli in Kontra Wahabi 26/02/2014
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb. Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang saya hormati. Sebagaimana dimaklumi, kaum Muslimin di Nusantara apabila mau melaksanakan suatu ibadah, memulainya dengan niat yang diucapkan atau dilafalkan. Misalnya dalam ibadah shalat, akan berkata ushalli, dalam ibadah wudhu akan berkata nawaitu dan seterusnya. Belakangan ini ada sebagian kelompok yang mengharamkan dan membid’ahkan melafalkan niat dalam ibadah. Mereka beralasan bahwa dalam ibadah shalat, puasa dan wudhu’ tidak ada hadits yang menganjurkan melafalkan niat. Lagi pula kata mereka, dalam soal ibadah tidak boleh melakukan qiyas. Bagaimana sebenarnya hukum melafalkan niat dalam ibadah dalam pandangan para fuqaha Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Jawaban:
Melafalkan niat dalam ibadah termasuk masalah furu’iyah, yang diperselisihkan di kalangan ulama fuqaha, antara yang mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Akan tetapi dari segi dalil, para ulama fuqaha yang mengatakan sunnah, memiliki dalil yang sangat kuat dan otoritatif. Sebelum menjelaskan dalil kesunnahan melafalkan niat dalam ibadah, ada baiknya kami paparkan terlebih dahulu, tentang pendapat para ulama fuqaha madzhab yang empat seputar melafalkan niat.
Ada tiga pendapat mengenai hukum melafalkan niat dalam ibadah.
Pertama, pendapat yang mengatakan sunnah, agar ucapan lidah dapat membantu memantapkan hati dalam niat ibadah. Pendapat ini diikuti oleh madzhab Hanafi dalam pendapat yang mukhtar, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali sesuai dengan kaedah madzhab. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48, al-Imam al-Khathib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 57, dan al-Imam al-Buhuti al-Hanbali dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah makruh. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan sebagian ulama madzhab Hanbali. Hal ini juga diceritakan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48 dan al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah boleh (mubah), akan tetapi sebaiknya ditinggalkan. Kecuali bagi orang yang waswas, maka melafalkan niat disunnahkan baginya, untuk menghilangkan keraguannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Arafah dalam Hasyiyah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 233-234 dan al-Shawi dalam al-Syarh al-Shaghir juz 1 hal. 304.
Demikian pendapat para ulama fuqaha madzhab empat tentang hukum melafalkan niat dalam ibadah.
Sedangkan dalil yang dijadikan dasar para ulama yang menganjurkan melafalkan niat dalam ibadah adalah hadits sebagai berikut ini:
عن أَنَسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata (ketika akan menunaikan ibadah haji dan umrah): “Aku penuhi panggilan-Mu, untuk menunaikan ibadah umrah dan haji.” HR Muslim.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalmam melafalkan niat dalam ibadah haji dan umrah. Apabila dalam satu ibadah, melafalkan niat itu dianjurkan, maka dalam ibadah lainnya juga dianjurkan, karena sama-sama ibadah. Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عَنْ عَائِشَة َأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمًا : هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ ؟ قَالَتْ لَا ، قَالَ : فَإِنِّي إذَنْ أَصُومُ ، قَالَتْ : وَقَالَ لِي يَوْمًا آخَرَ أَعِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ قُلْتُ نَعَمْ ، قَالَ : إذَنْ أُفْطِرُ وَإِنْ كُنْتُ فَرَضْتُ الصَّوْمَ ” رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَصَحَّحَ إسْنَادَهُ
“Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah kalian mempunya makanan untuk sarapan?” Ia menjawab: “Tidak ada.” Lalu beliau bersabda: “Kalau begitu, aku berniat puasa.” Aisyah berkata: “Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Apakah kalian mempuanyai sesuatu (makanan)?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, aku niat berbuka, meskipun tadi aku bermaksud puasa.” HR. al-Daraquthni dan ia menshahihkan sanadnya.”
Dalam hadits di atas, jelas sekali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melafalkan niatnya untuk menunaikan ibadah puasa. Dalam ibadah puasa, melafalkan niat disunnahkan, berarti dalam ibadah yang lain juga dianjurkan karena sama-sama ibadah.
Perlu diketahui, bahwa dalam niat puasa, tidak harus menggunakan redaksi nawaitu shauma ghadin (saya niat puasa besok), bahkan boleh juga dengan redaksi ashumu ghadan (aku niat puasa besok) atau inni sha’imun ghadan (sungguh aku puasa besok). Demikian pula, dalam niat shalat, tidak harus dengan redaksi ushalli (saya niat shalat), akan tetapi boleh dengan redaksi nawaitu shalatal ‘ashri (saya niat shalat ashar) dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah.
Sekarang, apabila melafalkan niat dalam ibadah shalat dan wudhu’, disunnahkan karena diqiyaskan dengan ibadah haji dan puasa, lalu bagaimana dengan pernyataan sebagian kalangan Wahabi yang mengharamkan dan membid’ahkan melafalkan niat dengan alasan kaedah la qiyasa fil ‘ibadat (tidak boleh menggunakan qiyas dalam hal ibadah)? Tentu saja kaedah la qiyasa fil ‘ibadat tersebut tidak benar dan bertentangan dengan penerapan para ulama salaf terhadap dalil qiyas.
Ketika qiyas itu diakui sebagai salah satu dalil dalam pengambilan hukum Islam, maka penerapannya bersifat umum, termasuk dalam bab ibadah. Oleh karena itu, kita dapati para ulama salaf sejak generasi sahabat melakukan qiyas dalam hal ibadah. Misalnya, al-Imam al-Hafizh Nuruddin al-Haitsami meriwayatkan dalam kitabnya Majma’ al-Zawaid, bahwa sebagian sahabat seperti Anas bin Malik menunaikan shalat sunnah 4 raka’at sebelum shalat ‘id. Sementara sahabat Ibnu Mas’ud menunaikan shalat sunnah sesudah shalat ‘id empat raka’at. Padahal dalam kitab tersebut juga diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan dan tidak menganjurkannya. Hal ini mereka lakukan karena diqiyaskan dengan shalat maktubah, yang memiliki shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudahnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi meriwayatkan:
وَسُئِلَ أَحْمَد ُعَنِ الْقُنُوْتِ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَمْ بَعْدَهُ وَهَلْ تُرْفَعُ اْلأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ فِي الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: اَلْقُنُوْتُ بَعْدَ الرُّكُوْعِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ وَذَلِكَ عَلىَ قِيَاسِ فِعْلِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُنُوْتِ فِي الْغَدَاةِ.
“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut dalam shalat witir, sebelum ruku’ atau sesudahnya, dan apakah dengan mengangkat tangan dalam doa ketika shalat witir?” Beliau menjawab: “Qunut dilakukan setelah ruku’, dan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. Demikian ini diqiyaskan pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR. Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Qiyam al-Lail, hal. 318.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat beberapa waktu yang lalu, juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini, beliau berfatwa:
حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْوِتْرِ
س: مَا حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْوِتْرِ؟
ج: يُشْرَعُ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْ قُنُوْتِ الْوِتْرِ؛ لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْقُنُوْتِ فِي النَّوَازِلِ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دُعَائِهِ فِيْ قُنُوْتِ النَّوَازِلِ. خَرَّجَهُ الْبَيْهَقِيُّ رَحِمَه ُاللهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan dalam shalat witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena ada bencana). Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan sanad yang shahih.” Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa anjuran melafalkan niat dalam ibadah adalah pendapat mayoritas ulama madzhab yang empat (madzahib al-arba’ah). pendapat tersebut memiliki dalil yang kuat dan otoritatif (mu’tabar), yaitu diqiyaskan kepada ibadah haji dan puasa, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melafalkan niat dalam keduanya. Pendapat tersebut tidak dapat ditolak dengan alasan kaedah, la qiyasa fil ‘ibadat (tidak boleh melakukan qiyas dalam bab ibadah). Karena qiyas termasuk dalil pengambilan hukum dalam Islam, yang berlaku dalam semua bab. Oleh karena itu, qiyas dalam bab ibadah telah diterapkan oleh para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan bahkan oleh sebagian ulama terkemuka kaum Wahabi kontemporer seperti Syaikh Ibnu Baz. Wallahu a’lam.
(Muhammad Idrus Ramli)
Sumber: Kiai Muhammad Idrus Ramli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar