Selasa, 16 September 2014

Prof Rahman: Yakinlah Akan Lahir Mbah Sahal-Mbah Sahal Baru

Prof Rahman: Yakinlah Akan Lahir Mbah Sahal-Mbah Sahal Baru

Hingga hari ke-40 pascawafatnya Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh, berbagai kesaksian dari berbagai elemen masyarakat terus mengalir. Para kiai, pengurus NU, dan tokoh masyarakat telah memberikan komentar, kini testimoni mengemuka dari seorang akademisi yang lahir dari tradisi NU:Prof H Abdurrahman Mas’ud, MA PhD (54). Doktor lulusan University of California Los Angeles (UCLA) ini menceritakan pengalamannya kepada Musthofa Asrori dari NU Online di kantornya.

Pria kelahiran Kudus, 16 April 1960, yang sekarang menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan (Kapuslitbang Penda) Balitbang Kementerian Agama RI ini memiliki cerita menarik seputar perkenalannya dengan kiai yang akrab disapa Mbah Sahal itu. Berikut petikan wawancara beberapa hari lalu.

Apa yang terbentuk dalam pemikiran Prof Abdurrahman Mas’ud tentang sosok Mbah Sahal?

Perkenalan dan ketertarikan saya kepada Mbah Sahal, pertama ya, saat saya mulai mengaji kepada beliau ketika kelas dua aliyah dulu. Tepatnya tahun 1978 dan 1979 di Pesantren Maslakul Huda Kajen. Dua tahun berturut-turut tiap bulan puasa saya mengaji pasanan di sana. Beliau itu ulama kharismatik, terbuka, dan juga seorang faqih. Saya masih ingat waktu itu ngaji Fathul Wahab kepada beliau. Mbah Sahal juga cepat dekat kepada santrinya, termasuk saya. Saking percayanya, misalnya, beliau memberikan ijazah kepada saya. Jadi, mula-mula saya tunjukkan kepada beliau kitab nadzaman Tsamratul Hajainiyah. Tanpa pikir panjang, beliau langsung memberikan ijazah bahwa saya sudah diakui mengaji kepada beliau. Padahal belum ngaji. Saya sampai beliau meninggal selalu berhubungan baik. Minimal setahun sekali saya sowan ke kediaman beliau. Saya merasa lebih dekat dengan beliau daripada santrinya yang lain. Padahal tidak nyantri di pondoknya. Dugaan saya, tapi Insya Allah bener, banyak santri yang nyantri di sana.

Nyantri di mana, Prof?

Saya justru mondok di pesantren Kiai Muzayyin Ngemplak (sebelah barat Kajen-red), setiap ngaji pasanan di Kajen.

Waktu mendapat gelar profesor di IAIN Semarang?

Iya, saya undang beliau. Usai penganugerahan langsung saya hampiri beliau, saya cium tangan beliau.

Bagaimana perasaan Prof saat mengetahui bahwa Mbah Sahal telah meninggal?

Saya sangat kehilangan sekali, bukan soal material tetapi moral. Ya, kita memang berhubungan dengan beliau secara moral ya. Apalagi tidak bisa memberikan penghormatan terakhir kepada beliau. Itu yang paling merasa kehilangan. Padahal biasanya, minimal tiap tahun silaturrahim ke beliau. Saya sering merasa jika ada kiai yang wafat, saya pasti sangat prihatin. Bahkan, paman saya sendiri, Kiai Ma’ruf Irsyad Kudus juga tidak bisa mengantar.

Pasca-Mbah Sahal, bagaimana NU ke depan? Tanggapan Bapak..

Suasananya mirip ketika NU dan bangsa ini ditinggal wafat Gus Dur. Di NU kan betapapun kiai itu masih menjadi tokoh sentral. Dalam penelitian saya, kiai saya sebut sebagai elite culture (kultur elit) yang menjadi imam keagamaan. Jadi, Mbah Sahal tidak diragukan lagi. Tapi, yakinlah bahwa ke depan akan lahir Mbah Sahal-Mbah Sahal baru.

Beliau dalam riset saya dikategorikan sebagai kiai yang ensiklopedis. Saya merasa tidak bisa terlepas dari bayang-bayang Mbah Sahal. Beliau itu tidak bisa diintervensi oleh pemerintah. Posisi beliau sedejarat dengan pemerintah. Jadi, pendapat beliau selalu didengar oleh pemerintah, bukan saja oleh gubernur, tetapi hingga tingkat nasional.

Artinya apa?

Sebagaimana kita tahu, dalam hadis, pemimpin yang adil dan ulama yang tidak korup maka umat akan aman.

Sekarang Mbah Sahal digantikan Gus Mus dalam kapasitasnya sebagai rais aam. Bagaimana Prof melihatnya?

Sangat pas dan tepat sekali. Saya kira Gus Mus orang yang sangat paham Mbah Sahal. Artinya, pemikiran kedua ulama ini cukup linier dan relevan dengan konteks kekinian. Saya pribadi sangat bersyukur bahwa Gus Mus bisa menggantikan beliau. Insya Allah perdamaian dan moderasi ala NU akan aman dalam kendali Gus Mus.

Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, khususnya bagi warga Nahdliyin, problem mendasarnya menurut Bapak?

Ada beberapa masalah tipikal dunia pendidikan Islam. Pertama, dikotomi keilmuan yang sudah menyejarah. Kedua, hilangnya spirit  of inquiry yang termasuk di dalamnya memudarnya tradisi rihlah fi thalabil ilmi, penelitian empiris, membaca, dan menulis. Ketiga, certificate-oriented (orientasi ijazah). Keempat, tidak mengacu pada problem solving. Kelima, common sense terlupakan. Dampaknya, kreativitas tidak menonjol. Keenam, akhlaq terbatas pada moralitas dosa, halal-haram, akhlaq sosial (social ethics) terabaikan.

Apa tawaran pemikiran prof terhadap persoalan ini?

Saya kira, perlu ditekankan adanya humanisme dalam pendidikan. Humanisme dalam pendidikan di sini adalah proses pendidikan yang lebih memerhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk religius dan makhluk sosial (abdullah dan khalifatullah), serta sebagai individu yang diberi kesempatan Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya sekaligus bertanggung jawab terhadap amal perbuatannya di dunia dan akhirat. Humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu yang senantiasa mengembangkan diri di bawah petunjuk ilahi, untuk bertanggung jawab mengurai aneka persoalan sosial. Individu dalam pandangan ini selalu aktif dalam status proses becoming menyempurnakan diri (istikmal).

Apa pesan penting humanisme dalam pendidikan?

Humanisme mengajarkan, tidaklah etis untuk sepenuhnya menunggu Tuhan bertindak untuk menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan dan keindonesiaan dengan karut-marutnya persoalan yang tak pernah kunjung selesai. Manusia Indonesia sebagai khalifatullah fil ardl harus bertindak dengan tetap memohon petunjuk dari Allah untuk merespons dengan tepat berbagai musibah.

Bagaimana hubungan humanisme dalam pendidikan dan humanisme dalam beragama?

Tentu sangat erat hubungannya. Lihat saja, realitas kesejarahan bangsa kita menunjukkan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia hingga hari ini adalah Islam kultural. Artinya, Islam mampu berkembang dan menjadi tradisi baru sejalan dengan dinamika budaya masyarakat. Pendekatan kultural merupakan strategi pengembangan keberagamaan yang memerhatikan keharmonisan dan kekayaan budaya lokal sebuah komunitas masyarakat.

Salah satu budaya bernuansa islami yang berkembang luas di masyarakat adalah budaya selametan atau syukuran. Budaya ini sering diidentikkan dengan masyarakat Jawa. Penyelenggaraannya pun nyaris berlangsung setiap hari, setiap even, dan searah tarikan nafas. Ketika orang akan memulai hidup baru, memasuki rumah baru, punya jabatan baru, atau sesuatu yang baru, dapat dipastikan mereka menggelar selametan itu. Termasuk juga selametan atas anugerah kehamilan mulai empat bulan, mitoni, hingga puputan,selapanan, lalu medon lemah.

Bahkan, ada lagi budaya selametan yang masih bersifat polemis di sebagian umat Islam sendiri, yakni selametan untuk orang-orang yang meninggal (3, 7, 40, 100, dan 1000 hari) yang kerap disebut tahlilan. Namun, kini sepertinya tahlilan telah menjadi milik Indonesia, bukan hanya warga Nahdliyin. Muhammadiyah pun sudah nyaman dengan ritual ini. Ketuanya saja (Din Syamsudin) sudah tahlilan kok.

Nah, keberhasilan mengembangkan budaya lokal bernuansa Islam tersebut tidak hanya bergantung kepada kadar keimanan dan konsistensi anggota masyarakat terhadap ajaran agama, baik individu maupun kelompok. Akan tetapi, faktor pendidikan amat berpengaruh dalam pembentukan tradisi dan budaya islami tersebut.

Berbicara soal pendidikan di kalangan warga Nahdliyin, apa yang menjadi keprihatinan Bapak?

Kita tahu bahwa Nahdliyin yang tergabung dalam wadah jam’iyah NU itu lahir dari pesantren. Sementara peranan lembaga pendidikan pesantren di negeri ini sangat besar dalam membina generasi muda. Sayangnya, perhatian kepada institusi ini belum memadai. Begitu juga pada level internasional, studi mengenai dunia pesantren bisa dihitung dengan jari. Sejauh pengamatan saya, sampai detik ini baru ada tiga disertasi berbahasa Inggris yang membahas topik dunia pesantren. Pertama, The Pesantren Tradition yang ditulis pada 1980 oleh Dr Zamakhsyari Dhofier (Departement of Anthropology and Sosiology Australian National University, Canberra). Kedua, disertasi yang muncul 17 tahun kemudian, tepatnya pada Maret 1997 berjudul The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings yang saya tulis untuk mengambil gelar doktor di UCLA. Ketiga, Peaceful Jihad, disertasi sarjana AS, Prof Roland Alan Lukens-Bull dari North Florida University AS.

Artinya apa itu, Prof?

Artinya bahwa doktor di NU itu masih minim. Apalagi dibandingkan Muhammadiyah.

Tawaran konkret seorang Abdurrahman Mas’ud PhD?

Satu hal yang sejak lama saya pikirkan bahkan pernah saya tulis: "Mendoktorkan NU sekaligus Mengkiaikan Muhammadiyah". Tulisan-tulisan saya dibukukan dengan judul “Menuju Paradigma Islam Humanis.” Selama ini kan ramai soal pandangan yang mengisyarakatkan bahwa NU lebih kaya dengan pesantren berikut kiai-kiai ampuhnya, MD (Muhammadiyah, red) bangga dengan stok doktornya dari dalam maupun luar negeri. MD lebih berkualitas dan rapi dalam kinerja organisasi dan kelembagaan, sementara NU lebih solid dalam kohesi dan solidaritas sosialnya. Soal kekuasaan, jika MD lebih berhasil menjabat negara, maka NU lebih erat menjabat tangan karena tradisi musafahah begitu tinggi. Jika NU leading dengan rekayasa kulturalnya, MD leading dengan lembaga pendidikannya.

Pada tahun 1990-an, saya punya pengalaman berharga tentang hubungan dengan tokoh MD. Ya, waktu itu, Din Syamsuddin yang menjabat Ketua Pemuda Muhammadiyah Pusat, adalah roommate (teman sekamar) saya saat kuliah di UCLA Amerika Serikat. Meski kami beda secara sosio-kultural dan organisasi, kami tidak pernah terlibat dalam diskusi emosional, apalagi sampai debat kusir. Dialog kami lakukan di mana saja, mulai di kamar hingga di kantin, dengan materi beragam. Kadang juga mencakup persoalan khilafiyah NU-MD. Diskusi sering dihiasi academic-joke, yang penekanannya lebih kepada upaya mencari solusi dari perbedaan paradigma keislaman. Salah satu kesimpulan yang masih penulis ingat adalah kami tidak pernah menyangsikan status Aswaja ala NU dan MD. Mengidentifikasi diri sebagai kaum Aswaja yang sekian tahuh kuliah di Barat, kadang kami mempertanyakan adalah pengaruh cross culture (lintas budaya) terhadap pola pandangan keagamaan kami. Sungguh kami merasa masih seperti yang dulu, hanya saja selain Aswaja kami juga punya identitas tambahan: Ahlul Jam’i wal Qasri (tukang jama’ qasar shalat) lantaran waktu shalat sering bentrok jam kuliah. Hahaha... (Prof Rahman tertawa terbahak-bahak).

Dalam hati sanubari Bapak, apa ada keinginan untuk menjadi pengurus Nahdlatul Ulama?

Pada saatnya nanti, waktu yang akan menjawabnya. Meski saya waktu kuliah di Amerika aktif di ICMI, namun saya tetap menggunakan tradisi NU dalam aktivitas ibadah maupun sosial. Pada waktu itu memang belum ada PCINU seperti sekarang ini.

Generasi muda NU yang sekarang tentu ingin seperti Bapak hingga memperoleh gelar doktor. Saran dan nasehat Prof..

Terus belajar dan belajar. Jika ingin keluar negeri, tingkatnya kemampuan Bahasa Inggris, khususnya TOEFL-nya itu. Apalagi ditambah kemampuan bahasa asing lain akan semakin membantu.

Terima kasih Prof atas wawancara dan nasehatnya.

Sama-sama. Semoga sukses. (Red: Mahbib)

Sumber: http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,5-id,50784-lang,id-t,Prof+Rahman++Yakinlah+Akan+Lahir+Mbah+Sahal+Mbah+Sahal+Baru-.phpx
(Jumat, 14/03/2014 18:01)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar