Selasa, 20 Mei 2014

Obama Tak Mau Kalah oleh Populisme

Obama Tak Mau Kalah oleh Populisme

Presiden Amerika Serikat Barack Husein Obama berkunjung ke Indonesia. Kunjungan yang kurang dari 24 jam itu cukup menyita perhatian publik Indonesia dari berbagai kalangan. Obama menyampaikan pidato di kampus Universitas Indonesia. Ada pro dan kontra mengiringi kedatangannya. Untuk membahas poin-poin dalam pidato Obama, Vivi Zabkie dan Saidiman Ahmad mewawancarai Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina. Wawancara ini disiarkan langsung pada Rabu, 10 November 2010, dari KBR68H bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan disiarkan 40 stasiun radio di seluruh Indonesia

Dalam pidatonya, Obama menyoroti tiga isu:pembangunan, demokrasi dan toleransi beragama. Secara khusus Obama memuji kemajuan yang dicapai oleh Indonesia dan bahkan Obama juga mengutip falsafah Bhineka Tunggal Ika dua kali. Dia bahkan menyebut Bhineka Tunggal Ika dapat digunakan oleh masyarakat internasional untuk mencapai perdamaian. Bagaimana kira-kira Anda menanggapi penekanan soal itu?

Obama, seperti biasa, ingin tampak sopan dan baik. Antara lain dia menyebut belajar Bhineka Tunggal Ika di sini. Sejarah Amerika sebenarnya lebih kaya dibanding Bhineka Tunggal Ika. Bukan berarti Indonesia tidak patut bangga dengan Bhineka Tunggal Ika, tapi ada aspek Obama ingin menggembirakan hati kita. Dia sudah belajar di sana juga. Pada tahun 60-an, ketika dia lahir, muncul gerakan-gerakan hak asasi manusia. Soal diskirminasi terhadap masyarakat kulit hitam itu perkembangan paling akhir. Bahkan dia sudah menyebut bahwa Bhineka Tunggal Ika itu unity in diversity yang sudah ada sejak kelahiran bangsa Amerika. Kalau dia mau cerita lebih awal lagi tentang kebebasan beragama, negara Amerika itu dibangun oleh para imigran yang lari dari Eropa karena persekusi agama. Ketika mereka sampai di Amerika, satu prinsip yang ditegaskan adalah negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama dan sebaliknya. Itu salah satu prinsip ekspresi dari unity in derversity . Ya, it good to here from him. Dia ingin baik-baik di sini. Amerika punya modal kaya untuk pluralisme atau kebinekaan karena mereka terdiri dari berbagai ras, selain penduduka asli.

Dia nampak begitu optimis terhadap kebhinekaan dan harmoni keragaman di Indonesia. Seberapa beralasan optimisme itu?

Anda harus optimis dan saya kira kita layak optimis pada kemajuan dalam bidang pluralisme di Indonesia. Kita tahu, orang-orang seperti Bung Saidiman dan beberapa aktivis hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan beragama, akan mempersoalkan karena yang oleh Obama disebutkan dengan Pancasila khan ada Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu ada beragam penafsiran; apakah artinya ketuhanan ini model yang paling benar dan sebagainya. Tetapi ada juga orang seperti Haji Agus Salim yang memandang bahwa ini bisa ditafsirkan bahwa ateisme pun punya tempat di sini. Jadi dari segi itu, dibanding negara-negara lain, sebenanya kebhinekaan Indonesia sudah bagus. Setelah era reformasi berjalan lebih dari 10 tahun, mengelola pluralisme memang lebih rumit karena sekarang orang sudah bisa mengekpresikan kepentingan politiknya secara lebih terbuka sehingga memunculkan beberapa konflik kekerasan. Tetapi sebenarnya, kinerja kebebasan beragama kita bagus jika kita baca laporan kebebasan beragama yang ditulis Departemen Luar Negeri pemerintahan Obama. Menurut catatan itu, di Indonesia mengalami kemajuan dari segi pelaksanaan hak-hak kebebasan beragama.

Bagaimana dengan kekerasan berbasis identitas agama yang belakangan ini marak?

Kekerasan terhadap gereja dan sebagainya. Ya, seperti yang Obama sebut “tidak ada negara yang sempurna”. Indonesia juga masih punya sejumlah kendala yang mengahruskan kita bekerja lebih jauh. Itu merupakan PR yang perlu kita kerjakan lebih giat. Secara prinsipil perkembangannya baik karena sekarang ini kita kelola bukan dengan paksaan-paksaan. Kita bicara soal SARA secara terbuka. Dulu kita tidak ribut bukan karena tidak mau ribut, tetapi karena dilarang ribut karena ada ABRI di samping kita. Nah, sekarang kita memilih untuk tidak ribut karena memang ribut itu merugikan dan hidup beragam itu lebih baik. Tentu saja ada sejumlah pihak yang belum bisa menerima ide itu dan masih menggunakan cara-cara kekerasan. Namun demokrasi kita yang 10-12 tahun terakhir ini memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti dari segi itu.

Ada yang selalu menghubungkan kedatangan Obama dengan kepentingan Amerika Serikat. Sebenarnya apa kepentingan AS dalam kunjungan ini?

Ada dua prinsip yang saya tegaskan dalam hubungan internasional. Satu, yang namanya presiden, dalam hal ini Obama atau SBY, ya harus mengabdi dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Kedua, dalam hubungan internasional ada yang disebut democratic peace theory, teori mengenai democatic peace yang antara lain menyatakan bahwa negara demokrasi antara satu dan yang lain tidak akan perang. Ini terbukti dalam sejarah panjang bahwa tidak ada perang antara negara-negara demokratis. Mengapa? Satu, misalnya, pemerintahan yang demokratis itu akan dikontrol oleh rakyatnya karena ada kebebasan pers, kebebasan ekspresi, dan lain-lain. Tidak akan muncul orang seperti Saddam Husain yang akan gila-gilaan sendiri menyatakan perang karena pasti merugikan. Jadi, dilihat dari hal itu, Amerika suka dengan negara-negara yang demokratis karena mereka tidak saling agresif satu sama lain. Mereka lebih suka, sudahlah kita dagang saja. Tidak usah perang. Itu dari satu segi. Dari segi yang lain, negara Indonesia yang plural dan demokratis adalah contoh bagus untuk tumbuhnya demokrasi di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Akan lebih banyak bukti kegagalan klaim yang, misalnya oleh Huntington, menyatakan bahwa Islam kurang kompatible dengan demokrasi. Nah, pengalaman Indonesia itu menunjukkan bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi. Dan itu terbukti di negara yang jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia.

Sementara untuk Indonesia, apa yang bisa diperoleh dari kunjungan Obama terkait dengan kepentingan umat Islam Indonesia--kalau kepentingan seperti itu ada?

Bisa untung, bisa tidak untung. Tapi menurut saya harus untung karena banyak sekali yang bisa diambil. Saya anak NU. Di NU itu ada kaidah yang menyatakan ma laa yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Jadi kalau tidak dapat 100%, ya jangan yang 50% itu dibuang. Kalau tidak dapat yang optimal dari kedatangan Obama, apa yang bisa diambil kita ambil meskipun terbatas. Ambil positifnya, deh. Ambil dia sebagai sumber daya untuk meningkatkan kepentingan kita sendiri. Tentu saja ada beberapa segi. Kalau kita mau lebih detail, pertama saya setuju ada orang yang bilang kita harus sadar dan realistik bahwa Indonesia bukan yang terpenting bagi Amerika Serikat. Iya, kita tahu itu. Mungkin bukan negara yang terpenting, tapi mari kita buat negara menjadi penting. Obama sendiri mengakui bahwa dia masih memerlukan kerjasama ekonomi yang bisa menguntungkan kedua belah pihak karena di Amerika tingkat penganggurannya 10 persen. Itu banyak. Saya bukan ekonom, tapi mungkin banyak pengusaha yang masih bisa berfikir apa yang bisa dimanfaatkan dari 10 persen itu dan lain-lain. Obama juga sering mengatakan bahwa kita dipersilakan memperbanyak siswa-siswa Indonesia yang belajar ke Amerika dan sebaliknya. Hal-hal seperti itu khan mungkin. Kalau saya Ketua PBNU, misalnya, saya akan mengirimkan 10 anak NU setiap tahun untuk belajar di sana. Gunakanlah apa yang bisa digunakan dari kemungkinan itu, jangan dilihat secara pesimis. Optimislah.

Banyak yang memuji kenegarawanan Obama, terutama terlihat dalam pidatonya. Sejauhmana kita bisa belajar?

Iya, tetapi saya juga ingin menekankan beberapa segi yang lain. Saya ingin melihat Obama dibanding Hillary Clinton atau Bush yang lebih suka makefriend. Obama juga. Tetapi ada prinsip-prinsip yang ketika gagal dipertahankan, ia kecewa dan kekecewaannya kelihatan. Misalnya ketika dia bertemu dengan Benyamin Netanyahu. Dia gagal dan kelihatan kecewa sekali. Dia tidak bisa menyembunyikan. Ketika dia kalah pada tanggal 2 November, kelihatan sekali. Dia kurang president show jika Anda mau sebut seperti itu. Ada beberapa prinsip yang buat dia itu hilang. Beberapa komentator di Amerika juga bilang, sebenarnya kekalahan Partai Demokrat itu disebabkan perhatian Obama yang begitu besar terhadap soal have care. Dia ingin semua warga Amerika itu punya kartu asuransi sehingga tidak bingung ketika sakit. Nah, sejumlah kalangan berpendapat bahwa seharusnya jangan health care dulu diurusi. Mungkin health care itu nanti pada periode kedua pemerintahannya karena dia punya kesempatan lagi untuk tampil sebagai presiden yang kedua kali. Tapi beberapa segi dia tidak bisa kendurkan. Bahkan dia pernah menyatakan—pernyataan ini sangat terkenal—lebih baik menjadi presiden sekali tetapi dengan prinsip dan melakukan sesuatu yang akan dikenang sepanjang sejarah daripada menjadi presiden dua periode tetapi tidak melakukan apa-apa. Sebagai diplomat, kadang-kadang dia kurang diplomatis, ada sisi aktivisnya.

Dia nampak susah melepaskan diri dari dunia aktivisme

Ya, itu kredit buat Obama.

Apakah itu berkaitan dengan bagaimana dia menanggapi pendirian Islamic Centre di Ground Zero, di mana dia berani mengambil sikap berseberangan dengan 75 persen masyarakat New York yang menolak pendirian bangunan itu?

Ada peristiwa yang sama pada waktu itu. Saya kira dua bulan yang lalu ada isu besar ketika peristiwa 11 September diperingati. Beriringan dengan peringatan itu ada ide utuk membangun Islamic Centre dan salah satu bagian Islamic Centre itu memberi tempat buat orang shalat. Tempat itu sebenarya tidak di Ground Zero tempat Twin Tower berada, tapi beberapa meter dari situ. Imam Faisal menuliskan berbagai kontroversi bahkan penduduk New York yang metropolitan urban, intelektual, yang kita banggakan dengan Broadway manyatakan agak susah mendirikan Islamic Centre karena terlalu dekat dengan Ground Zero. Obama punya prinsip dan prinsip itu yang ia katakan. Itu hak orang untuk membangun Islamic Centre, hak kaum muslim dan itu harus kita hargai. Hal yang sama terjadi bahwa ada Pastur Terry John di Florida, dekat University of Florida, yang ingin membakar al-Quran. Nah, Obama itu tegas mengatakan orang ini—Obama tidak mau menyebutkan nama—ingin melakukan sesuatu yang oleh prinsip negara Amerika dianggap sebagai kebebasan berekspresi. Jadi negara tidak boleh ikut campur melarang dia. Hanya saja saya ingin menjelaskan kepada si Pastur bahwa bila itu terjadi, membakar al-Quran itu, banyak sekali ongkos yang harus dikeluarkan. Ada tentara Amerika di Afganistan; kira-kira kaum muslim di belahan dunia akan protes dan lain-lain. Tapi lagi-lagi dia menekankan kesulitannya bahwa hal ini (kebebasan berekspresi) adalah sesuatu yang tidak boleh dilarang oleh negara.

Bahwa dia punya hak

Dia ingin mengatakan kepada teman-teman di dunia Islam agar mengerti kesulitan yang ia hadapi. Lagi-lagi dia berdiri di atas satu prinsip tidak mau kalah oleh apa yang di Indonesia disebut populisme.

Menjelang kedatangan Obama, ada sejumlah spanduk penolakan di Jakarta. Salah satu isi spanduk itu adalah "Obama Datang: AS Untung, Indonesia Buntung." Bagaimana pendapat Anda tentang penolakan-penolakan sekelompok orang terhadap kedatangan Obama?

Iya, sangat wajar. Saya berharap itu menjadi salah satu pendidikan politik juga. Dia datang ke sini mungkin lebih bagus kalau kita berdiskusi. Mudah-mudahan spanduk-spanduk penolakan mendorong orang untuk berfikir. Minimal kita menjadi lebih cerdas. Tapi lagi-lagi ini adalah kebebasan berekspresi. Boleh juga orang menyebutkan seperti itu. Biasalah kalau ada yang untung dan ada yang buntung. Jika Anda bekerjasama pihak lain, Anda bisa menjadi yang beruntung atau yang buntung.

Atau sama-sama untung?

Atau sama-sama untung, kalau Anda berdagang berdua.

Sebenarnya kita belum bisa menyatakan Obama ini sukses atau memiliki keistimewaan karena dia baru dan masih menjabat Presiden. Sementara Presiden seperti Bill Clinton dan Jimmy Carter masih aktif melakukan kampanye demokrasi setelah tidak menjabat. Tanggapan Anda?

Ya, bisa saja itu. Soal Bill Clinton dan Jimmy Carter yang masih aktif setelah tidak jadi presiden, tentu saja baik dan kita bisa menjelaskan hal itu. Rata-rata presiden Amerika Serikat itu masih memanfaatkan popularitasnya untuk melakukan hal-hal tertentu. Tapi menurut beberapa orang, Obama ini agak lain: dialah satu-satunya presiden Amerika Serikat yang berkulit hitam. Dia pernah hidup di negara non-Amerika cukup lama, bahkan negara Indonesia yang notabene negara muslim.

Latar belakangnya juga menarik karena keluarganya terdiri dari beragam etnis dan agama…

Mungkin kita harus agak detail. Kita minta orang yang bilang Obama biasa saja untuk lebih banyak memberikan argumentasi mengapa dia biasa-biasa saja.

Ada komentar bahwa pidato Obama dianggap hanya retorika.

Ya. Jadi dalam ilmu politik dan ini relevan sekali dengan Obama, ada yang disebut the art of imposible, apa yang mungkin. Jangan 100 persen. Kalau tidak dapat 80 persen yang 60 persen jangan ditolak. Saya kira ada beberapa segi yang Obama tidak bisa mengatasinya dan dia harus tunduk pada realitas politik Amerika itu, yaitu kuatnya lobi Israel. Pada tingkat-tingkat tertentu dia tidak bisa menghambat. Dia tidak bisa menghentikan pembangunan pemukiman Israel. Itu suatu black holebesar yang merusak agenda-agendanya. Yang kedua, dia masih memandang kemenangan Hammas pada pemilihan demokrasi di sana masih dianggap sebagai sesuatu yang harus dipertanyakan. Padahal Hammas menang dalam pemilu yang demokratis. Jadi mestinya kalau kita berpegang pada prinsip demokrasi yang betul, memang Hammas yang menang. Jimmy Carter, misalnya, pada waktu itu menjadi pengamat ketika pemilu itu berlangsung. Pemilu itu berlangsung LUBER. Dan, karena beberapa kesalahan pada PLO, Hammas yang menjadi pemenang. Nah, ada beberapa deal politik yang tidak bisa ditembus oleh Obama. Tetapi ada cara baru dalam memandang antara Amerika dengan Islam yang tidak mungkin disampaikan oleh George Bush dan juga tidak bisa disederhanakan karena Obama pernah tinggal di sini. Itu sudah membuat berbeda…

Tapi apakah itu terjadi karena Obama punya pandangan yang berbeda dengan pendahulunya tentang Islam. Misalnya Anda menyebut tentang Huntington atau sejumlah pemikir yang menyebut Islam tidak kompatible dengan demokrasi. Sementara Obama melihatnya ada tuh kompatibilitas semacam itu. Apakah itu sangat valid karena mengingat Mesir, Turki dan negara-negara Islam itu tidak menunjukkan fakta sebagaimana yang ia sebut?

Biasanya jika orang menyebut soal demokrasi di dunia Islam, contohnya adalah Turki dan Indonesia. Keduanya disebut oleh Freedem House sebagai free. Indonesia bahkan memliki berapa poin menurut Freedem House. Jadi, kalau kita pakai teori angsa hitam untuk memperlihatkan bahwa teori itu salah, nah, angsa hitamnya sudah ada sekarang ini. Jadi orang ngomong Islam dan demokrasi tidak kompatibel sudah salah. Bukan Islamnya, tapi wich Islam, Islam where, wich muslim. Kita mungkin bukan bicara mengenai Islam, tetapi muslim. Saiful Mujani punya desertasi tentang muslim demokrat. Dalam buku itu dinyatakan bahwa dukungan orang Islam terhadap demokrasi Indonesia tinggi dan itu bertahan. Obama dari segi itu benar.

Dia berbeda dengan para pendahulunya?

Saya juga tidak tahu apakah mereka berbeda atau tidak. Misalnya kalau Anda percaya pada Bush, yang pernah bilang ini bukan merupakan teroris Islam; ini sekelompok muslim tertentu yang melakukan aksi-aksi teroristik. Tetapi lagi-lagi prinsip harus diterapkan secara realistis di dalam politik nyata. Itulah alasan yang menjelaskan sementara mengapa mereka bicara tentang demokrasi dan kalangan Partai Demokrat itu identik dengan exporting democracy. Jadi mereka itu partai orang-orang yang peduli untuk memperluas demokrasi di berbagai tempat. Karena, antara lain tadi itu, sesama negara demokratis tidak mau perang tetapi mau bisnis dan lain-lain. Tetapi di sisi lain ada hirarki kepentingan. Nah, sering sekali penyebaran hirarki kepentingan nomor dua atau nomor sekian sesudah kepentingan ekonomi. Anda ingat dulu Clinton bicara demokrasi tetapi ketika di tepuk-tepuk pundaknya sama Pak Harto, ya tunduk. Jadi real politiknya ada beberapa prinsip yang hirarki meski prinsipnya mereka lebih baik dibanding Partai Republik. Mereka lebih suka menyebarkan demokrasi.

Ada orang mangatakan bahwa Indonesia menyambut Obama secara berlebihan padahal Amerika sudah kalah perang. Amerika kolap jadi kita sambut Obama seperti pahlawan besar we get nothing it spirit. Obama juga disebut telah ingkar janji, bohongin orang Islam. Dia bilang pull out from Iraq, bukan pull out from Iraq tapi moving to Afganistan. Kunjungan Obama juga dianggap seperti orang yang mampir ke warung dan pemilik warung merasa tersanjung…

Yang bisa saya jawab saja ya. Diskusi yang ada di Amerika dan di beberapa jurnal mengenai perbedaan antara perang Amerika di Afganistan dan di Irak. Di Afganistan itu, Anda boleh setuju boleh tidak, itu melawan satu negara yang harboring terorisme. Kita tahu al-Qaida di sana. Jadi mereka betul-betul mengantisipasi suatu negara yang membesarkan al-Qaida. Yang kedua soal Irak. Argumen perang Irak itu sudah kelihatan sekali rapuh, bohong karena tidak ada senjata pemusnah masal.

Tidak ada alasan untuk menduduki Irak?

Tidak ada karena alasannya dibuat-buat. Itu yang membuat Colin Powel menyesal seumur hidup. Saya tidak tahu ada orang bilang Bush maunya give me war! Itu bisa jadi datang dari Bush, bisa jadi datang dari anak buahnya. Tapi argumennnya itu ada senjata pemusnah masal di Baghdad, di Irak dan mereka masuk ke sana untuk menghentikan itu. Nah, buat Obama kebijakan terhadap Baghdad ini salah. Inilah alasan lahirnya kebijakan full out, tarik pasukan sebanyak-banyaknya. Sedang di Afganistan tidak salah. Kebijakan terhadap Afganistan bisa dibenarkan karena berbahaya untuk demokrasi. Oleh sebab itu diatasi dengan benar, kalau perlu kirim pasukan yang banyak dan segera selesaikan. Jadi yang penting bukan hanya pasukan banyak, tapi sekali langsung selesai dengan cepat.

Mungkin itu alasan dia mengirim 30.000 tentara ke Afghanistan?

Ya, itu memindahkan dari Irak ke Afganistan karena argumen ke Afganistan itu benar.

Dan itu dilakukan beberapa hari setelah ia menerima hadiah nobel perdamaian. Kadang-kadang hal itu jadi sorotan juga. Dia dianugerahi hadiah Nobel tetapi beberapa saat kemudian mengirim 30.000 tentara.

Kalau Anda berdiskusi dengan pasifis, itu argumen Anda. Tapi bila Anda bicara mengenai realis, perang realis Anda tanya pada Einstein. Ada orang yang beragumen bahwa lebih mudah membuat perdamaian dengan bersiap-siap untuk berperang daripada tidak memiliki senjata sama sekali. Itu dua aliran yang berbeda. Tapi saya ingin mengatakan bahwa Obama punya pendapat bahwa failed state Afganistan itu harus diatasi secara serius sebelum Taliban berkuasa kembali. Dan hal itu mewajibkan Anda melakukan mobilisasi sebesar-besarnya agar berlangsung secara cepat. Jadi orang nakal jangan diatasi dengan bujukan seperti kepada Anda. Tetapi dengan menjewernya, antara lain dengan menyiapkan senjata. Jadi orang pasifis itu lebih percaya lebih bagus ada dua polisi kuat dunia, dulu Amerika dan Soviet, sehingga Amerika tidak main seenaknya, daripada Amerika sendiri karena bisa sewenang-wenang. Ini dua aliran yang berbeda. Kalau pasifis begitu argumenya. Kalau realis, ya dia (Obama).

Apakah kunjungan Presiden Amerika Serikat kali ini mempunyai nilai lebih dibanding kunjungan-kunjungan serupa sebelumnya?

Ya, tergantung kita juga. Saya inginnya punya nilai lebih. Kedatangan Obama ini mempunyai kemungkinan untuk dieksploitasi. Maksudnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dia punya pengertian lebih banyak dibanding dengan presiden-presiden yang lain. Karena dia pernah tinggal di sini, karena nama dia Husein, karena bapak tirinya muslim. Mestinya kita mempunyai akses masuk ke jajaran kepentingan Amerika secara lebih mungkin dibanding dengan presiden-presiden sebelumnya.

Ada yang mengatakan Obama lebih baik daripada Presiden Amerika terdahulu. Ada keyakinan dia mampu menjembatani antara kaum muslim dan non-muslim, terutama Amerika dan Eropa?

Setuju. Mungkin kita akan menyambutnya lebih meriah jika kita tidak menghadapi bencana gunung Merapi dan Mentawai. Ekspektasi itu saya setuju sekali, meskipun selalu ada ruang buat kecewa. Biar kecewanya tidak berat. Karena Obama berada di satu lingkungan yang tidak sepenuhnya dapat dia kontrol, yang sudah saya sebutkan tadi. Dia banyak sekali masalah di dalam negeri dan tugasnya yang pertama adalah memikirkan ekonomi dalam negeri, bukan memikirkan hubungannya dengan Indonesia dan negara muslim. Bagus sekali bila hubungan dengan negara-negara muslim mempermudah permasalahan dalam negerinya. Itu ideal sekali. Itu ekpektasi kita, tapi jangan berlebihan juga. Nanti bisa sakit kita.

Sebenarnya apakah penilaian Obama tentang Indonesia itu benar-benar faktual atau masih dalam tataran keinginannya?

Tiga tema. Mari kita diskusikan tiga tema itu: pembangunan, demokrasi dan toleransi beragama. Mana yang lebih baik, mendahulukan pembangunan atau demokrasi? Nah, Obama bilang bahwa kita bisa membangun atau membangun lebih baik kalau kita sudah berdemokrasi. Indonesia sejauh ini belum mencapai tingkat demokrasi yang diharapkan. Misalnya pertumbuhan ekonomi kita masih sekitar 6 persen. Mestinya lebih banyak. Dan saya lagi-lagi tidak teralu kecewa dengan berbagai set back di dalam pluralisme seperti yang diceritakan tadi. Karena, dilihat secara global sebenarnya pluralisme cukup maju. Apalagi kalau kita ingat sekarang ini eranya memang bukan era main kekerasan seperti Orde Baru. Semua orang bisa berbicara secara terbuka. Hanya saja kadang-kadang kita masih kurang terlatih untuk menyelesaikan segala konflik secara damai.

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

Sumber: http://islamlib.com/?site=1&aid=1444&cat=content&cid=12&title=ihsan-ali-fauzi-obama-tak-mau-kalah-oleh-populisme
Terbitan: 9-10 November lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar