Selasa, 20 Mei 2014

Relevansi NU Dalam Kehidupan di Indonesia

Relevansi NU Dalam Kehidupan di Indonesia

Tidak berbeda dengan Rumadi, Romo Muji pun memuji NU karena peranannya menampilkan Islam kultural yang ramah dan mengakar. Selain itu, nasionalisme NU terhadap Indonesia tidak diragukan lagi. Ketika perang melawana kolonialisme, jelas sekali KH. Hasyim Asy’ari berfatwa jihad bukan untuk kemerdekaan Islam semata, namun juga untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun yang paling penting menurut Romo Muji adalah peran NU dalam memperjuangkan pluralisme Indonesia. Dibawah kepengurusan Gus Dur, NU bisa memberikan wajah Islam yang ramah, dialogis, dan menghargai keberagaman. Selain itu, Gus Dur juga memberikan warna lain dalam tubuh NU dengan membawa kaum “sarung” yang identik dengan kehidupan pesantren dan tradisionalisme ke arah modernitas dan berbagai bidang intelektual.

Meskipun banyak versi tentang jumlah anggotanya, namun NU adalah salah satu organisasi terbesar sejagat. Tahun 2011 ini Nahdlatul Ulama (NU) merayakan ulang tahunnya yang ke 85. Pada acara tersebut, ketua umum NU KH. Said Aqil Siradj mengatakan bahwa NU dan Indonesia itu identik. Bila Indonesia sakit maka NU juga akan merasakannya. Begitu besarnya pengaruh NU terhadap bangsa Indonesia. Maka dari itu, Radio KBR 68 H bersama Jaringan Islam Liberal, melalui Program Agama dan Masyarakat pada tanggal 20 Juli 2011 mengangkat sebuah diskusi bertema “Relevansi NU Dalam Kehidupan di Indonesia” bersama peneliti The Wahid Institute, DR. Rumadi dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Romo Muji Sutrisno.

Menurut Rumadi walaupun tidak ada jumlah yang pasti berapa warga NU namun menurut survey yang diadakan oleh beberapa lembaga, warga NU memang terhitung banyak. Baik secara afiliasi maupun kultural. Dari sisi itu, warga NU memang luar biasa banyak. Walaupun dari jamaah yang sekian banyak itu tidak seluruhnya menjadi jam’iyyah (pengurus). Warga yang menganut keanggotaan NU secara kultural inilah yang jauh lebih besar daripada yang benar-benar berafiliasi dengan NU. Namun, lanjut Rumadi, kontribusi NU untuk Indonesia dalam berbagai hal bisa dikatakan cukup besar. Misalnya dalam bidang politik, NU mempunyai andil yang cukup besar dalam kemerdekaan Indonesia. Walaupun ada anggapan bahwa NU hanyalah menjadi “tukang dorong mobil mogok”. Bila mobilnya sudah jalan, maka yang dorong ditinggal. Analogi tersebut muncul karena jasa NU dalam berbagai hal yang kemudian selalu dilupakan. Rumadi mencontohkan bagaimana peran NU dalam membantu kemerdekaan dengan mengeluarkan fatwa jihad. Hal itu jarang diangkat dalam sejarah nasional Indonesia. Dan juga pada 1965, NU ikut berdarah-darah di peristiwa pemberontakan 30 september. Namun setelah itu, pemerintah Orde Baru melupakan peran NU tersebut. Belakangan anak muda NU tidak hanya berkontribusi dalam bidang-bidang keagamaan, namun juga kepada urusan-urusan sekuler.

Tidak berbeda dengan Rumadi, Romo Muji pun memuji NU karena peranannya menampilkan Islam kultural yang ramah dan mengakar. Selain itu, nasionalisme NU terhadap Indonesia tidak diragukan lagi. Ketika perang melawana kolonialisme, jelas sekali KH. Hasyim Asy’ari berfatwa jihad bukan untuk kemerdekaan Islam semata, namun juga untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun yang paling penting menurut Romo Muji adalah peran NU dalam memperjuangkan pluralisme Indonesia. Dibawah kepengurusan Gus Dur, NU bisa memberikan wajah Islam yang ramah, dialogis, dan menghargai keberagaman. Selain itu, Gus Dur juga memberikan warna lain dalam tubuh NU dengan membawa kaum “sarung” yang identik dengan kehidupan pesantren dan tradisionalisme ke arah modernitas dan berbagai bidang intelektual. Romo Muji mencontohkan dengan terpilihnya kader NU Mahfud M.D sebagai ketua Mahkamah Konstitusi. Dua hal tersebut yang paling diapresiasi Romo Muji dari NU.

Dalam sebuah komentarnya, seorang pendengar mengatakan bahwa NU mempunyai potensi politik yang luar biasa. Dia menjelaskan ketika pada masa pemilu 1955 NU menjadi salah satu partai politik terbesar. Dan pada masa orde baru peran politik NU dikerdilkan karena takut akan menyaingi Golkar. Pendengar tersebut juga memuji dua tokoh politik NU, Wahid Hasyim dan Mahbub Junaidi. Rumadi membenarkan pendapat tersebut, bahwa tokoh-tokoh yang disebut tadi adalah sosok yang besar di jamannya. Wahid Hasyim misalnya, dia mengambil langkah besar yaitu menmbawa NU keluar dari Masyumi. Selain itu, Wahid Hasyim juga mengambil corak baru gerakan NU dengan mengikuti pemilu 1955. Selain itu, lanjut Rumadi, Mahbub Junaidi adalah seorang kolumnis besar di koran-koran ternama. Dan para mahasiswa di Ciputat sekarang banyak mengkaji kolom-kolom Mahbub Junaidi. Ada romantisme dari tulisan-tulisan Mahbub Junaidi yang mengandung unsur kebudayaan mendalam. Romo Muji menambahkan, di masa ini ketika terjadi krisis ketokohan maka karya-karya Mahbub Junaidi bisa menjadi penyegar.

Ketika menanggapi pendengar lainnya, Rumadi menjelaskan tentang keunggulan NU dalam hal Islam kultural. Dia menjelaskan bahwa kultur NU bukanlah dibentuk dari organisasi, namun organisasi yang terbentuk dari kultur. Hal ini berbeda dengan organisasi lainnya yang biasanya membentuk organisasi terlebih dulu kemudian baru membentuk kultur. Oleh karena itu NU bisa menjaga kultur Islam yang ramah dan bersahabat dengan kultur di Indonesia. Berbagai elemen masyarakat yang bercorak abangan misalnya, tidak pernah terganggu oleh warga NU. Budaya mengkafirkan tidak pernah ada dalam tradisi NU. Bahkan NU sendiri banyak disebut oleh umat islam lain sebagai penganut bid’ah. Namun menurut Rumadi, warga NU yakin bahwa pemahaman Islam ala NU ini bukan dari luar Islam, tapi dari Islam itu sendiri. Selain itu, Rumadi juga menegaskan bahwa NU juga menganut ahlus sunah wal jamaah dan tidak berbeda dari umat Islam yang lain.

Dalam kaitan NU dengan politik praktis, Romo Muji menyayangkan pecahnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal menurutnya, PKB dibentuk Gus Dur sebagai wadah politik kaum nahdliyin. Dalam kaitannya, kiprah politik NU kini menurut Romo Muji tergantung ketua umum NU itu sendiri. Rumadi berpendapat berbeda, menurutnya kiprah politik NU harus dilihat dari tiga level. Pertama, pada level kenegaraan. Pada level ini NU telah sukses menyeleseikan isu yang krusial yaitu hubungan antara agama dan negara, agama dan Pancasila, dan agama dan NKRI. Semua yang berhubungan dengan negara yang biasanya dalam kelompok Islam lain masih bermasalah, di tubuh NU sudah sangat jelas dan tegas. Bahwa NU menerima NKRI dan Pancasila. Kedua, level yang berkaitan dengan politik kerakyatan. Dalam hal ini, menurut Rumadi NU relatif sudah berhasil berkontribusi. Contoh konkritnya adalah pembelaan terhadap hak-hak minoritas. Ketiga, level yang berkaitan dengan politik kekuasaan. Pembagian kekuasaan politik, perebutan kursi jabatan, dll. dianggap Rumadi sebagai level dimana NU belum berhasil. Pada level ini memang NU tidak mempunyai sejarah yang bagus. Pada reformasi 1999 misalnya, ketika Gus Dur membentuk PKB tidak semua warga NU mau bergabung. Banyak partai-partai lain yang berbasis NU. Dengan kata lain, menyatukan faksi-faksi di dalam NU tidak mudah. Selalu ada konflik bila berkaitan dengan politik kekuasaan.

*Mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta. Aktif di YFN-Freedom Institute.
oleh Rofi Uddarojat

Dikutip: http://islamlib.com/?site=1&aid=1764&cat=content&cid=10&title=relevansi-nu-dalam-kehidupan-di-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar