Selasa, 20 Mei 2014

Tuhan, Antara Ada dan Tiada

Tuhan, Antara Ada dan Tiada

Bagaimana seorang dokter bedah saraf memandang agama dari sudut pandang pribadinya? Bagaimana agama menjadi pengalaman individual? Novriantoni Kahar mewawancarai dr. Roslan Yusni dalam acara unjuk wicara Agama dan Toleransi yang disiarkan langsung oleh KBR68H dan jaringan radionya.

Bagaimana agama mula-mula di-install atau ditanamkan kepada anda pada level keluarga?

Kalau bicara mengenai installment tentang gaya beragama pada saat saya kecil dulu, terus terang saya lahir di tengah keluarga dengan corak keagamaan tradisional yang ketat. Tradisional dalam pengertian cara umum yang dipakai rata-rata orang beragama Islam di Indonesia. Bapak saya seorang muballigh (juru dakwah agama), ibu saya juga seorang muballighah. Jadi bisa dibayangkan pada saat saya masih kanak-kanak, pada saat baru mulai belajar berbicara, belajar mengingat, saya sudah diharuskan menghafalkan Alquran, menghafalkan hadits, plus standar dogma-dogma dalam agama Islam seperti yang kita kenal semua. Sehingga pada awalnya, saya menganggap dan memandang agama sebagai sesuatu yang rigid, sebagai sesuatu yang tidak bisa dibantah. Kalau begini salah, begitu benar; begini dapat pahala, begitu dosa.

Pada awalnya, ini semua tidak menimbulkan banyak masalah pada diri saya. Tapi pada saat saya memasuki usia 10-11 tahun, di mana saya mulai bertumbuh dan dengan demikian mulai muncul daya kritis dalam diri saya, saya mulai mempertanyakan banyak hal: mengapa begini dan mengapa begitu. Nah, di sinilah mulai muncul masalah.

Anda dibesarkan dalam kelurga dengan corak keberagamaan tradisonal, tapi anda sudah bisa bersikap kritis terhadap agama pada usia yang cukup dini. Bagaimana itu bisa terjadi?

Karena ada hal-hal yang saya merasa perlu saya pertanyakan, sekaligus mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya itu. Simpel saja, misalnya doktrin tentang percaya pada malaikat. Ada Malaikat Jibril, yang tugasnya membagi wahyu. Lalu saya bertanya: kalau begitu sekarang ini Malaikat Jibril itu tugasnya ngapain? Nah, seringkali pertanyaan-pertanyaan saya yang simpel seperti itu, dijawab dengan hardikan, dengan nada marah, bahwa bertanya seperti itu adalah dosa. Karena merasa terus dikekang seperti itu, saya bertanya-tanya dalam hati, kalau begitu apakah saya tidak boleh mengusik doktrin-doktrin dasar dalam agama itu?

Pada saat saya kecil dulu juga ditanamkan dogma bahwa agama yang paling bener adalah Islam. Dan orang-orang di luar Islam itu ya tidak masuk hitungan. Maksudnya mereka nanti masuk neraka, apapun amal kebaikan yang mereka lakukan tidak ada pahala sama sekali.Pada awalnya saya menerima begitu saja, meskipun itu bukan bapak saya yang mengajari seperti itu. Tetapi dalam lingkungan-lingkungan santri tradisional, hal-hal seperti itu masuk dalam pertimbangan saya. Nah, pada saat saya masih kelas IV SD –saya waktu itu berumur 11 tahun--, ada tetangga saya seorang Katolik, dia baik banget, sekeluarga baik semua. Saya jadi berpikir, masak sih orang yang begini baiknya harus dimasukkan neraka, hanya karena dia Katholik? Saya merasa itu tidak adil banget. Pada saat itu, mulailah muncul pertanyaan: apakah dogma yang saya terima ini sudah benar, atau apakah ada hal-hal yang disembunyikan?

Bagaimana anda mengatasi kebuntuan di level keluarga atas pertanyaan-pertanyaan kritis anda?

Nah, saya mencoba mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan nakal saya itu dengan membaca tulisan dari para beberapa penulis. Misalnya saya ingat ketika kelas VI SD saya sudah membaca tulisan Romo Mangunwijaya. Saya baca juga tulisan M.A.W. Brouwer. Saya juga senang sekali --dan karena itu seringkali-- membaca tulisan almarhum Nurcholish Madjid. Saya juga membaca tulisan di media-media nasional, misalnya Kompas. Saya baca bagian kolom opininya. Nah dengan membaca seperti itu, saya jadi terekspose dengan semacam dissident opinion, pandangan lain yang tidak seperti yang saya terima selama ini, meskipun mereka berbeda agama dengan saya.

Lalu saya merasa, mungkin saya ini termasuk orang yang anti kemapanan. Jadi terhadap hal-hal yang mapan itu saya anggap kurang memuaskan. Saya menganggap orang yang beragama lain itu sama benarnya dengan saya. Dan pandangan seperti ini saya dapat dari seorang “teman”. Dan “teman” saya itu bukan orang sembarangan: yaitu Cak Nur (panggilan akrab almarhum Nurcholish Madjid).
Tulisan-tulisan Cak Nur waktu itu bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikiran saya. Jadi tulisan-tulisan Cak Nur itu sangat memberikan penyegaran bagi saya. Kebetulan ayah saya, dulu adalah temannya Cak Nur.

Sebagai seorang juru dakwah agama Islam, apakah pandangan keagamaan ayah anda sepaham dengan Cak Nur?

Sudah tentu tidak. Bahkan secara eksplisit dia mengatakan: saya tidak sependapat dengan Cak Nur. Secara eksplisit juga dia mengatakan: pandangan Cak Nur ini menyesatkan. Saya sendiri bertanya-tanya: apanya yang menyesatkan? Akhirnya saya banyak berbeda pendapat dengan ayah saya. Dan ini membuat ibu saya sedih. Ibu saya sering menangis dan menyesalkan pilihan pandangan keagamaan saya, sambil berkata pada saya: kalau kamu berpandangan seperti itu, kamu akan masuk neraka. Sikap dan perkataan ibu saya membuat saya gelisah dan berpikir macam-macam. Tapi saya balik berpikir, apa salah saya berpandangan sesuai dengan pilihan saya, toh saya tetap menghargai ibu dan ayah saya.

Nah, pada saat itu saya sudah mulai menginjak usia SMA. Saya mulai mendapatkan mata pelajaran baru dan dengan demikian saya mendapatkan ilmu-ilmu baru, seperti ilmu tentang hukum kekekalan massa dan energi. Jadi energi ini kekal. Dan ini tidak bisa dibantah. Ini sudah merupakan sebuah hokum dan bisa dibuktikan secara scientific, secara ilmiah. Energi itu kekal, dia cuma berubah saja: ada energi suara, energi panas. Kalau dibilang kekal, berarti tidak ada awal dan akhir. Lalu saya bertanya: kalau energi itu tanpa awal dan akhir, jadi penciptaan itu seperti apa? Tapi pertanyaa-pertanyaan saya seperti ini akan dimentahkan dengan perkataan bahwa pikiran saya seperti itu adalah pikiran orang sesat. Hal-hal seperti ini akhirnya membuat saya berpikir sekaligus membenarkan pendapat orang bahwa agama itu mengungkung manusia, membuat manusia tidak bisa maju ilmu pengetahuannya. Itu kesimpulan sementara saya pada saat itu.

Tumbuh dalam keluarga seperti itu, apakah anda mengalami semacam dilema keagamaan dalam diri anda?

Betul. Saya masih merasa tidak enak kalau tidak melaksanakan salat lima waktu, karena sudah dibiasakan sejak kecil; dan kalau tidak salat, saya akan mendapatkan pukulan dengan rotan. Saya waktu itu juga suka sekali membaca Alquran. Saya gemar sekali ikut lomba MTQ (musabaqah tilawati al-Quran), karena mendapat applause dari teman-teman, mendapat piala dan sebagainya. Itu kenikmatan tersendiri bagi saya. Jadi ada hal-hal yang menyenangkan. Tetapi di lain pihak, saya juga merasa bahwa apa yang didogmakan pada saya itu kok tidak sama dengan kenyataan.

Apakah orangtua berambisi untuk menyelamatkan perjalanan keagamaan anaknya?

Oh ya, itu jelas. Sekarang saya dapat memahami mengapa orangtua saya memutuskan untuk melakukan itu. Pada saat saya duduk di bangku SMP dan mungkin kelakuan saya dinilai semakin menjadi-jadi, guru agama saya juga sering komplain tentang kelakuan saya ketika merespon pelajaran-pelajaran agama di SMP. Tampaknya orangtua saya berpikir bahwa sikap saya ini tidak bisa dibiarkan. Akhirnya, kepada orangtua saya memutuskan harus mendalami agama. Waktu itu orangtua memutuskan mengirim saya ke beberapa pesantren di Jawa Timur, karena saya besar di Malang. Saya dikirim ke Jombang. Kebetulan waktu masih anak-anak, bapak saya juga di Jombang. Nah, ternyata di salah satu pondok pesantren di Jombang saya tidak bertahan lama. Dua minggu kemudian saya dipulangkan karena bikin onar di sana. Bikin onarya bukan sekadar bikin onar karena saya selalu membantah ketika diberikan pelajaran-pelajaran awal dan pelajaran dasar.

Jadi onarnya bukan nyolong mangga, begitu-begitu ya?

Oh, tidak. Kalau saya flash back sekarang, waktu itu saya sangat mengganggu forum kajian. Saya bisa paham kalau dipulangkan karena setiap saya sering melontarkan berbagai pertanyaan yang aneh bagi santri. Misalnya, saat belajar mengenai rukun Islam, saya bertanya, mengapa seperti itu? Mengapa dibuat rukun-rukun? Apakah sejak zaman Nabi Muhammad ada rukun-rukun seperti itu? Nah, itu yang mungkin dianggap meresahkan. Akhirnya saya dikucilkan. Tapi, ini tidak menjadi jalan keluar. Akhirnya saya dikembalikan lagi ke pesantren yang lain. Kebetulan ayah saya cukup sabar. Dia mencarikan pesantren lain untuk saya. di pesantren lain sama saja karena saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan. Yang ada hanya pengulangan dogma-dogma yang sudah didengarkan. Kira-kira begitu. Tapi sekarang ini saya dapat memaklumi karena tidak mungkin juga, awal-awal di pesantren, santri sudah diajarkan ilmu yang aneh-aneh.

Kalau dipikir-pikir ulang, apa fungsi mengulang-ulang dogma agama menurut Anda?

Menururt saya memang dalam agama ada dua hal yang sangat penting, yaitu yang dogma dan ilmu. Dogma bertugas melakukan simplifikasi, menyederhanakan hal-hal yang rumit sehingga mudah dijalankan. Shalat ya begini; ada rukunnya; ada syarat sahnya; ada syarat wajibnya.
Sifat Tuhan itu 20, begitu ya?

Itu simplifikasi. Kalau kita dikatakan bahwa Tuhan itu transenden, beyond imagination, beyond knowledge, orang makin bingung. Bagaimana Tuhan beyond our imagination, beyond our knowledge, tidak terjangkau, tidak begini dan tidak begitu.

Bagaimana merengkuh-Nya?

Nah seperti itu. Kemudian dilakukan simplifikasi seperti itu. Sekarang saya memandangnya seperti itu.

Ada yang menyatakan agama itu tidak logis. Pendapat Anda?

Kalau kita berbicara mengenai logis dan tidak logis, dalam mempelajari agama saya memisahkan dua hal antara apa yang saya imani (keimanan) dan apa yang dinamakan kajian agama. Hal-hal yang pelu diimani, ya diimani saja. Lantas ada pertanyaan, mengapa harus diimani? Itu masalah karena berhubungan dengan hal-hal yang tidak dapat kita buktikan. Contoh, saya mengimani bahwa Allah itu ada. Itu keimanan saya. Kalau saya disuruh membuktikan keberadaan Allah, ya tidak bisa. Memang keberadaan Allah itu tidak bisa dibuktikan: tidak bisa dibuktikan keberadaan-Nya juga tidak bisa dibuktikan ketidakberadaan-Nya. Itu iman. Itu menurut saya. Artinya, orang disuruh membuktikan keberadaan, tidak bisa. Orang yang mengimani bahwa Allah tidak ada, kalau disuruh membuktikan bahwa Tuhan tidak ada, juga tidak bisa.

Soal kebanyakan ahli neraka adalah wanita (dari penanya). Sepertinya ungkapan Nabi seperti itu bisa diverifikasi?

Ya, memang.

Wilayah iman atau bukan itu?

Bukan. Saya mengimani bahwa Muhammad itu Nabi. Itu diimani. Tapi apa yang dibicarakan Muhammad itu bisa diverifikasi, bisa diobservasi melalui ilmu. Semua bisa diverifikasi. Yang diimani itu hal-hal yang tidak dapat diverifikasi. Itu diimani.

Kalau begitu apa yang masih tersisa dari keimanan Anda?

Banyak hal. Bahwa al-Qur’an adalah wahyu. Itu diimani. Saya mengimani al-Qur’an adalah wahyu. Mengapa kok diimani? Saya juga tidak bisa memverifikasi apakah itu betul-betul wahyu. Saya mengimani saja bahwa al-Qur’an itu wahyu. Kemudian malaikat itu juga diimani. Banyak, masih banyak yang saya imani. Seandainya kita meneliti secara keilmuan, tidak semuanya akan terjawab oleh ilmu. Jadi, hal-hal yang tidak bisa dijawab adalah hal-hal keimanan.

Sampai batas mana kita bisa menggunakan logika dan akal?

Ada hal-hal yang harus kita pikirkan dalam agama ini. Karena agama ini ranahnya bukan hanya dalam wilayah dari masjid ke masjid, tapi dalam wilayah kultur, sosial, budaya, politik. Dan itu perlu pemikiran dan perlu akal, perlu logika. Yang tidak bisa kita fikirkan adalah keimanan tadi. Dan keimanan sebagai benteng penjaga, ya benar, tapi logika kita ndak boleh dibatasi.

Pemikiran bebas sebebas-bebasnya. Yang dibatasi adalah tindakan. Namun, tindakan dan kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tapi pemikiran, silahkan saja mikir apa saja boleh, wong berpikir itu kan area pribadi, tidak ngutik-ngutik orang lain.

Dimana Anda menghabiskan masa remaja? Kok tidak jadi da’i saja begitu? Kok jadi dokter bedah syaraf?

Itu harapan orang tua saya. Secara eksplisit orang tua saya mengharapkan saya mengikuti jejak beliau. Seorang muballigh itu mulia di mata dia. Saya juga menganggap seorang muballigh itu mulia. Menyampaikan kebenaran itu mulia. Tetapi akhirnya waktu dan keadaan menggiring saya ke arah yang lain. Pada saat saya memasuki usia remaja, berkenalanlah saya dengan hal-hal yang aneh —bukan aneh, tapi dunia mistisme.
Sempat juga mengarungi dunia mistisisme?

Saya sempat melakukan ritual-ritual yang sebetulnya wajar. Dalam kultur masyarakat Jawa, orang puasa terus kemudian melek 3 hari 3 malam, dijalani. Memang ada pengalaman-pengalaman spiritual yang saya dapatkan. Tetapi pada saat saya periksa, ternyata pengalaman spiritual, meskipun laku-nya sama, masing-masing orang beda.

Apanya yang berbeda?

Apapun yang dialami beda-beda, sesuai dengan kulturnya masing-masing.

Apakah mungkin orang bebas dari spiritualitas?

Dalam batas-batas tertentu ndak bisa.

Walaupun orang yang ilmiah-saintis sekalipun?

Sesaintis apapun, seseorang itu akan pernah merasa berharap: “ah, mudah-mudahan ini yang terjadi.” Nah ini akan melibatkan spiritualitas. Pasti.

Komentar Anda tentang kekerasan yang mengatasnamakan Islam?

Saya setuju bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan kekerasan. Nabi Muhammad melakukan perang karena diperangi, karena hal-hal yang bersifat politis dan mengharuskan peperangan. Tidak boleh melakukan kekerasan kepada orang lain, sekalipun orang itu tidak sesuai dengan keimanan kita. Keimanan tidak bisa dipaksa-paksakan. Dan argumentasi kita tentang keimanan, memang saya juga sepakat, bahwa keimanan —meskipun itu sesuatu yang tidak dijangkau, kita memerlukan argumentasi atau hujjah-hujjah rasional. Tujuannya untuk menegaskan keimanan saya sendiri, bukan untuk menjatuhkan keimanan orang lain.

Tapi masalah kekerasan, itu harus kita lawan. Tidak bisa kita melanggar aturan, melanggar undang-undang, ya harus kita lawan. Orang berbeda keyakinan kok dikepruki. Kalau memakai logika bahwa orang yang berbeda keyakinan boleh dikepruki, ya yang dikepruki itu boleh ngepruki balik.
Siapa yang menentukan proses manusia menjadi janin? Jawaban scientific dan jawaban agamanya bagaimana?

Dulu, saat yang namanya ilmu biologi itu tidak diketahui dengan jelas, maka timbullah anggapan-anggapan bahwa seperti ini, seperti itu. Kitab-kitab Islam klasik juga sudah bicara: pada usia 2-3 bulan, kemudian ditiupkan ruhnya, kemudian ada daging berubah menjadi tulang, tulang menjadi daging. Lho, itu kan anggapan. Setelah ilmu berkembang, eh ternyata tidak begitu. Kalau pertanyaan Pak Niko tadi, kenapa orang bersenggama itu kok tidak selalu jadi, banyak faktor yang menetukan. Satu, yang namanya ovum atau sel telur wanita itu selama 1 bulan penuh itu, dia hanya siap dibuai selama 3 hari. Kalau pas 3 hari tidak terjadi senggama ya nggak jadi. Kemudian faktor kesehatan sperma juga sangat menetukan. Ya memang 2 juta, tapi kalau loyo semua ya nggak bisa jadi. Banyak hal dan faktor yang menyebabkan sperma itu jadi apa ndak. Lha terus siapa yang ngatur gitu? Hukum alam. Ini sunnatullâh. Dan hukum alam, sunnatullâh, sangat-sangat konsekuen.

Kalau begitu kita mengabaikan intervensi langsung Tuhan?

Saya mengimani Tuhan itu yang transenden, bukan Tuhan yang imanen, yang terlibat. Tuhan melakukan sesuatu nunggu do’a dari manusia, masak iya? Ini pemahaman saya tentang Tuhan, tentang Allah; masak iya sih Allah itu nunggu surat permintaan, delivery order, kalau dimintai do’a baru melakukan. Bagi saya, Tuhan ya tidak begini dan tidak begitu. Terus peran Tuhan di mana? Peran Tuhan menentukan hukum-hukumnya yang sudah konsisten itu dijalani. Kita jalani menurut hukum-hukum-Nya. Coba bayangkan, kalau Tuhan itu tidak konsisten, manusia tidak akan bisa menemukan apapun. Demikian konsistennya Tuhan, orang akhirnya bisa meneliti bahwa panas yang diperlukan untuk menaikkan 1 gram air menjadi 1 derajat celcius lebih tinggi itu namanya 1 kalori. Karena diamati mulai zaman Nabi Adam sampai Adam Malik meninggal kemarin tetap seperti itu. Sehingga manusia bisa mengambil kesimpulan: oh, 1 kalori itu seperti ini. Kemudian dengan konsistennya Tuhan kita juga bisa menemukan pesawat terbang. Coba kalau Tuhan tidak konsisten, hukum-hukum alam tidak konsisten, sekarang kena angin begini ternyata tidak naik; ternyata di lain waktu pada saat perbedaan tekanan udara bisa menaikkan pesawat —tidak akan menemukan apa-apa. Justru karena kekonsistenan sunnatullâh berupa hukum alam ini, manusia bisa menemukan banyak hal.

Di dunia sekarang ini, kita melihat ada agama, ada sains juga, Kadang-kadang kontradiksi antara agama dan sains itu hampir-hampir mustahil untuk didamaikan. Bagaimana menyikapi hal seperti ini?

Memang pada awalnya, pada saat saya belajar mengenai hal-hal yang bersifat scientific, kemudian menemukan hal-hal yang bertentangan dengan keilmuan yang saya pelajari, dulu saya mencoba melakukan kompromi; mencoba bahwa: “ndak, itu ndak begitu, yang dimaksudkan dalam teks ini itu kira-kira seperti ini.” Jadi saya mencoba mengkompromikan, apologetic. Tapi pada suatu saat, pada saat sudah betul-betul mentok —ya memang ini bertentangan kok, pada saat itu ya akhirnya saya mencoba lagi mengubah yang namanya pemahaman saya memahami teks-teks yang ada secara kontekstual. Ya memang waktu itu belum ngerti, jadi ya diberikan gambaran begini aja supaya mengerti.

Contohnya?

Contohnya, bahwa banyak kisah-kisah —misalkan dalam al-Qur’an—yang tidak masuk akal.
Misalnya yang ini ya, ada salah satu surat di dalam al-Qur’an tentang al-Fîl, di mana kota Mekkah didatangi, dihujani batu oleh burung ababil
Akhirnya ya memang orang, ada hal, sesuatu itu, mengartikannya seperti al-Fîl itu, kemudian seperti orang-orang yang dimakan ulat, seperti daun yang dimakan ulat. Dari kajian-kajian, banyak yang mengatakan begini, begitu. Tetapi kajian yang paling cocok dengan pemikiran saya —oh ini bisa masuk akal. Pada saat itu terkenal yang baru —dan memang secara keilmuan kedokteran bisa dipahami, karena pada saat itu yang namanya wabah cacar itu masuk di jazirah Arab. Ya kebetulan saja, waktu itu pasukannya Raja Abrahah tertulat cacar sehingga mukanya seperti daun dimakan ulat. Ini hasil kompromi saya. Tapi, misalkan, walaupun tidak secara eksplisit dikatakan: Musa itu membelah lautan, tapi kalau dianggap memang al-Qur’an mengatakan begitu, saya pikir ya —yang namanya Nabi Muhammad ini, itu dia mengaku nabi lanjutan dari nabi-nabi sebelumnya. Kalau dia menceritakan hal-hal yang lain, yang berbeda betul, ya nggak dipercaya.

Yang seperti itu bukan wilayah keimanan menurut Anda?

Bukan. Karena kejadian Musa membelah lautan apa ndak itu bisa diverifikasi. Karena itu secara faktual, terjadi apa tidak itu ada. Ada orang mengatakan Nabi Ibrahim itu umurnya 950 tahun. Faktanya tidak ada bukti-bukti arkeologis di mana suatu peradaban, manusia itu usianya itu lebih dari 100 tahun. Tidak pernah ada. Itu fakta arkeologis, nggak ada. Di Papirus-papirus Mesir, Piramida dikatakan bahwa di situ usia rata-rata raja dan keluarga kerajaan lebih panjang dari pada masyarakat, ya wajar. Tapi, usianya nggak panjang. Mereka itu mati pada usia 40 tahun, 38 tahun, bahkan yang King Thut, Thutankhemein, mati pada usia 18 tahun.

Oleh Roslan Yusni

Dikutip: http://islamlib.com/?site=1&aid=1429&cat=content&cid=12&title=roslan-yusni-tuhan-antara-ada-dan-tiada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar