Jumat, 02 Mei 2014

Gus Dur, Azami, dan Kritiknya Terhadap Fazlur Rahman

Gus Dur, Azami, dan Kritiknya Terhadap Fazlur Rahman
MUHAMMAD IDRIS MASUDI

Bahkan jauh sebelum kelompok Istac-Insist yang tergabung dalam majalah Islamia* melakukan apresiasi terhadap sumbangsih M.M Azami dalam mengeritik studi yang dilakukan oleh para orientalis, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah jauh lebih dulu melakukannya.**

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bagaimana Gus Dur mengapresiasi sumbangan Azami terhapap penyelidikan hadis. Gus Dur memulai tulisan tersebut dengan mendeskripsikan pemikiran Goldziher dan Joseph Schacht yang langsung merujuk kepada karya-karya induk mereka, hal ini bisa dilihat bagaimana Gus Dur dengan mencantumkan beberapa referensi karya mereka dalam makalah panjang tersebut.

Bagi penulis, salah satu yang menarik dari makalah panjang itu adalah bagaimana Gus Dur berhasil melakukan periodesasi penyelidikan hadis yang dilakukan oleh para Orientalis. Gus Dur membaginya ke dalam tiga tahapan;

1. Pra Ignaz Goldziher, sebelum tahun 1890, pandangan orientalis pada masa itu dapat disimpulkan bahwa hadis adalah sebuah corpus yang mengandung ucapan-ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad Saw, corpus-corpus mana seluruhnya dikarang oleh orang terkemudian dari beliau. Dengan demikian, menurut pandangan mereka, hadis bukanlah ucapan dan perbuatan sebenaranya dari Nabi Muhammad Saw. Konsekuensinya, hadis sebagaimana definisi yang dipercayai oleh umat Islam, dalam pandangan mereka tidak pernah ada.

2. Periode kedua adalah ketika Goldziher menerbitkan karya utamanya pada tahun 1890 berjudul Muhammadanische Stueian dan karyanya yang lain bertajuk Die Zahiritien, dua karya tersebut merupakan pucak dari tulisan-tulisan Goldziher. Setelah Goldziher mengeluarkan bukunya yang menggemparkan itu, maka para orientalis-orientalis lainnya segera melanjutkan usaha mereka untuk membuat rekonstruksi yang lebih terperinci mengenai perkembangan hadis dan lain-lain ilmu pengetahuan ke-Islaman atas dasar-dasar dan metode deduksi yang dibuat oleh Goldziher dalam karyanya yang disebutkan di atas.

Sederet orientalis yang melanjutkan usaha Goldziher itu, seperti Margoliouth, Nicholson, Snouck Hugronje, dan Bergstrasser sesegera memenuhi lembaran-lembaran penerbitan dalam lingkungan orientalisme, mengupas bebargai segi dari “penyelidikan baru” tentang Islam, termasuk hadis. Tetapi tidak ada pendapat yang fundamental baru dalam lapangan penyelidikan hadis, karena semua karya orintalis yang disebut namanya di atas hanya mengulangi belaka apa yang telah dikemukakan oleh Goldziher belaka.

3.  Periode ketiga adalah dimana Joseph Schacht munucul ke permukaan dengan menerbitkan karyanya berjudul The Origins of Muhammad Jurisprudence. Walaupun bersifat lanjutan dalam metode penyelidikan hadisnya Goldziher, Schacht berhasil mencapai hasil-hasil yang boleh dikatakan baru dalam penyelidikan hadis.

Pasca terbitnya karya Schacht tersebut, menurut Gus Dur, sejumlah orientalis sampai kepada kesimpulan lain yang tidak sepenuhnya sama dengan kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh Goldziher. Jalan bersimpang di antara sesama orientalis mulai ditempuh oleh para peneliti-peneliti lain seperti; Montgomerry Watt, von Grunebaum, Arberry, Arthur Jeffery, berpuncak pada J Robson yang menyanggah “kebenaran ilmiah” hasil-hasil yang dicapai Josep Shcacht.

Sebelum mengulas sumbangsih Azami, Gus Dur mendahuluinya dengan membahas tentang teori “Projecting Back” yang digagas oleh Schacht.

Teori Projecting Back adalah himpunan kesimpulan-kesimpulan yang didapatkan Schacht atas premis-premis yang dia buat mengenai kebermulaan hukum Islam. Premis tersebut adalah, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w.110 H). premis ini menggiring kepada sebuah kesimpulan bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis tersebut adalah buatan orang-orang pasca al-Sya’bi.

Kritik Gus Dur terhadap A. Fyzee dan Fazlur Rahman

Terdapat sejumlah pemikir muslim yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan orientalis seperti Goldziher dan Joseph Schaht. Gus Dur menyebut beberapa tokoh seperti; A. A. Fyzee yang dalam bukunya berjudul A Modern Approach To Islam, menerima tanpa syarat tesis-tesis yang dikemukakan oleh Schacht itu, walaupun ia adalah salah satu hakim muslim dalam susunan mahkamah agung Negara bagian di Bombay, India,; Fazlur Rahman, direktur Islamic Centre di Karachi, dalam bukunya “Islam” mengemukakan sanggahan mengenai dasar pokok pandangan Schacht dan Goldziher cs, mengenai hadis, terutama rekonstruksi terbentuknya aliran-aliran hukum Islam. Tetapi walaupun demikian ia menerima tesis pokok dari Schacht mengenai “diedarkannya” hadis dan mengenai teori “projecting back”.   

Di sinilah Gus Dur memuji dan mengapresiasi sumbangan Azami yang meskipun beberapa sarjana muslim seperti Fyzee dan Fazlur Rahman menerima tesis Schacht, Azami justru merintis jalan ke arah penghancuran teori-teori Goldziher dan Schacht. Namun, sebelum Azami melakukan hal ini, Nasiruddin Al- Asad (Saat itu rector Universitas Jordania di Amman) dalam bukunya, Mashadir al-Syi’r al-Jahili al-Ula, berhasil menjadikan fakta-fakta dan dokumentasi mengenai perkembangan subur dari seni tulis-menulis di daratan Arab. Bahkan kata Gus Dur, bukunya Asad inilah yang sebenarnya terlebih dahulu merintis jalan yang keumdian ditempuh oleh Azami.

Dapat dimaklumi bahwa dalam tulisan ini, Gus Dur belum memasukkan Fuat Sezgin dan karyanya bertitel “Tarikh al-Turats al-Arabi” yang juga mengupas dengan detail tentang “sahifah-sahifah” atau catatan-catatan hadis pada masa Nabi yang pada gilirannya mengukuhkan temuan Azami. Karena ketika menulis makalah panjang ini, Sezgin belum selesai melakukan penelitiannya tentang teks-teks ke-Islaman (turats al-Arabi) apalagi menerbitkannya. 

Sumbangan Azami dalam Penyelidikan Hadis

Gus Dur mengemukakan garis besar sumbangan Azami dalam penelitiannya:

1. Ia berhasil membuktikan penyimpanan, pemeliharaan dan penurunan hadis berlangsung semenjak abad pertama hijriyah, dan dengan demikian ia mematahkan teori “projecting back”-nya Joseph Schacht;

2. Ia mengubah kesalah pahaman di antara para sarjana dan ulama muslim sendiri, yang salami ini menyangkan bahwa penulisan hadis baru dimulai pada mas Ibn Shihab al-Zuhri. Dengan menunjukkan bukti-bukti pengetahuan bahasa dan data filologis yang meyakinkan, Azami mengemukakan bahwa kata-kata “Awwalu Man Dawwana ‘al-Ilma Ibn Syihab al-Zuhri” menunjukkan arti “pengumpul/compiler”, bukannya “menulis” seperti yang kita sangka selama ini.

3. Jasanya yangterbesar adalah keberhasilannya di dalam menggali kembali naskah-naskah kuno dari masa sebelum al-Zuhri dari berbagai perpustakaan yang tersebar tidak kurang di delapan Negara;

4. Menunjukkan dengan nyata kepada kita, bahwa sikap untuk selalu menerima dan tunduk kepada para orientalis, betapapun terkenalnya nama mereka dan tingginya reputasi mereka, adalah sikap yang salah. Keberanian untuk selalu melakukan “testing” terhadap kebenaran perkiraan-perkiraan yang dikemukakan di medan ilmu adalah satu-satunya jaminan untuk kita dapat sampai kepada keberanan.

Demikianlah sekelumit tulisan saya atas makalah panjang Gus Dur ini. Oh, Andai Gus Dur masih “sugeng”, saya akan menanyakan kembali tentang tulisan ini sembari menyodorkan hasil kerja Fuat Sezgin dalam bukunya berjudul Geschichte des Arabischen Schrifttums, yang diarabkan dengan judul Târîkh Turâts al-Arabî.

Wallahu A’lam Bisshawab

Dikutip: NU Online

By http://m.facebook.com/elang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar