Kamis, 05 Juni 2014

Gus Dur, Pejuang Demokrasi dari Pesantren

Gus Dur, Pejuang Demokrasi dari Pesantren

Ahlannawawi: ~ Melihat sosok Gus Dur, adalah melihat sosok "kiai pesantren" secara telanjang, apa adanya. Memang seorang yang tampil apa adanya, penuh kejujuran, mengungkapkan batin dan pemikirannya secara lugas, sering memberikan kejutan kepada banyak orang. Seharusnya, kejujuran itu kita tertawakan, untuk merenungi diri. Gus Dur seringkali mengajak kita tertawa agar proses merenung itu menggembirakan. Charlie Chaplien berkata, “A day without laughter is a day wasted.”

Dalam arena diskursif pemikiran itu, wajar bila banyak orang yang marah. Terlebih, kelompok yang lahir dari tradisi yang berbeda, yang terkunci pemikirannya, dan memandang perbedaan sebagai ancaman. Kemudian, menyerang Gus Dur dengan hujatan dan fitnah, yang seringkali lahir dari ketidakpahaman, karena nalar dan hati yang mati. Sebagai pejuang demokrasi, Gus Dur merawat dan mengarifi perbedaan sebagai kekuatan. Tertawa bahagia dengan perbedaan.

Namun orang alim, akan dimuliakan saat pengkuburannya. Dan itulah Gus Dur, pemakamannya mungkin pemakaman terbesar di negeri ini. Televisi pun dengan rela, ikut berdzikir selama 7 hari lebih, tanpa dipesan dan dibayar. Bahkan, tokoh-tokoh nasional lintas ideologi, lintas ormas, lintas partai, lintas agama, para peneliti dan akademisi sepakat atas gelar pahlawan baginya. Ruh Gus Dur didoakan di masjid, gereja hingga vihara, bahkan di jalan-jalan oleh berbagai kekuatan sosial marginal.

Gus Dur hidup sederhana di Ciganjur, menjadikan rumahnya sebagai pesantren pasca lengser keprabon. Ciganjur selalu ramai, ala pesantren, banyak tamu, banyak peziarah. Bahkan, pasca jatuhnya Soeharto, tiba-tiba Ciganjur menggantikan Cendana, sebagai episentrum kekuatan politik. Di sinilah, kehebatan Gus Dur, beliau membuktikan diri, bahwa kiai bukan hanya mengaji, namun mampu menyemai kekuatan sosial dan politik yang kritis terhadap rezim.

Gus Dur bukan pribadi yang elitis, membangun istana, dan hidup penuh privasi. Gus Dur makan apa adanya, ala santri, ala kiai. Gus Dur dekat dengan seluruh umat, dari yang tinggal di istana, hotel berbintang, hingga pemilik warung kaki lima langganannya. Pesantren memang simbolisasi kelompok kanan, namun Gus Dur terlalu akrab dengan kelompok kiri.

Memahami Gus Dur, adalah memahami tradisi pesantren. Di sanalah Gus Dur lahir, hidup, dan dikubur. Pesantren dilahirkan untuk merawat keagamaan masyarakat dengan ramah, dialogis, dan demokratis.

Sikap kiai ini bermuara pada dua hal. Pertama, kualitas tauhid dan spiritualitas yang tinggi. Kiai pesantren paham benar, tauhid bukan semata diukur lahiriyah syariat, namun kemampuan membersihkan hati. Iman harus membersihkan sikap benci terhadap seluruh makhluk Allah. Iman melahirkan rahmat (kasih sayang) dan mengusir kemarahan. Keberhasilan iman diukur dari memandang seorang pemabuk dan pezina dengan mata kasih sayang. Rasa iba yang melahirkan proses dialogis, tanpa kekerasan.

Spiritulitas yang mengupayakan hati sampai kepada derajat laa khoufun ‘alaihim wala yahzanun (tidak ada ketakutan dan kesedihan), karena sikap pasrah dan berpegang kepada ‘urwatil wutsqo (tali yang kuat). Dari sini, lahirlah sikap positif dan harapan, bukan memandang orang yang berbeda dengan kecurigaan, defensif, bahkan ofensif.

Kekuatan tawakal inilah yang menjadi pilihan pesantren untuk menyapa, bukan menghujat. Gus Dur ingin mempraktekkan keramahan ala pesantren itu untuk menyapa umat dalam dimensi sosial yang luas. Ciganjur menjadi rumah besar, dari tokoh politik internasional hingga pedangdut yang tak mendapat tempat berlabuh. Pesantren (Ciganjur) benar-benar hidup menjadi kekuatan sosial yang inklusif, mewadahi seluruh umat.

Beragama bukan untuk melahirkan pribadi yang paranoid, ketakutan, dan gelisah. Iman yang tidak melahirkan kedamaian bagi pemeluknya sendiri adalah iman yang jelas-jelas telah tersesat. Kebatinan beragama ini melahirkan sikap emosional, cenderung menutup diri dan menyerang pihak lain

Kedua, lahir dari tradisi fiqh yassir wala tu’assir (permudah jangan dipersulit). Tugas seorang da’i untuk memahami aspek sosial, psikologis, dan kebatinan masyarakat. Bahasa dakwah harus dipermudah kepada tingkat yang paling awam, bukan bahasa buku (kitab kuning) yang kaku dan rumit. Secara psikologis masyarakat harus dibuat nyaman, bebas dari tekanan, maka bahasa santai dan humor menjadi pilihan, sebagaimana Kanjeng Nabi pun seringkali mempraktekkannya. Yang terakhir, para dai harus mampu menjaga suasana kebatinan masyarakat, tidak boleh terluka. Bila terluka, masyarakat akan lari dan timbul ketegangan-ketegangan.

Maka jangan heran, bila Gus Dur suka melucu. Itu bahasa verbal ala pesantren. Hidup secara jujur, menertawakan fitnah, belajar ikhlas dengan hujatan. Itulah pesan dari kalimat ‘Begitu Aja Kok Repot!’. Pesan bagi seluruh aktivis agar tidak putus asa dalam segala kesempitan dan keterbatasan.

Maka jangan heran, bila Gus Dur bersedia mendengar Inul menangis. Gus Dur meneladani kisah seorang kiai yang menerima pemabuk menjadi santrinya. Pihak yang memandang pemabuk sebagai kotoran, pasti akan salah paham dengan sikap kiai tersebut. Gus Dur pun lebih sering disalahpahami.

Gus Dur tak berniat menghalalkan goyangan Inul. Gus Dur, tak boleh menolak Inul yang mengetuk pintu rumahnya. Toh, Inul tak manggung di Ciganjur bukan?

Oleh: Arif Purwanto, Publish on: 1 April 2014 00:00 wib

https://m.facebook.com/elang

Sumber: http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/379/214965/gus-dur-pejuang-demokrasi-dari-pesantren

Tidak ada komentar:

Posting Komentar