Gus Dur Kawan Orang-Orang Terdzalimi
Banyak orang terkesan dengan sosok Gus Dur. Kesan-kesan itu sangat beragam, tergantung pengalaman orang-orang saat berjumpa dan berinteraksi dengannya, entah secara fisik atau melalui gagasan dan tindakannya.
Karena itu, saya tak heran bila orang menganggap Gus Dur tokoh pluralis, atau waliyullah sekalipun; semua itu tergantung kesan apa yang paling ditonjolkan oleh persepsi pengalaman kita.
Saya sendiri, misalnya, menganggap Gus Dur sebagai kawan seperjuangan orang-orang atau kelompok yang terdzalimi. Ia membela minoritas yang direnggut hak-haknya. Gus Dur juga berjuang untuk buruh migran atau TKI yang diterlantarkan nasibnya.
Menurut saya, Gus Dur adalah tokoh yang dengan kesabaran dan keteguhan hati punya komitmen utuh membela buruh migran. Baik sebelum menjadi presiden, saat menjabat presiden, bahkan setelah turun dirinya lengser. Ia, misalnya, mengawal berdirinya organisasi atau serikat buruh migran saat rezim Orde Baru masih berkuasa.
Ketika menjadi presiden, Gus Dur pula yang bersama organisasi buruh migran dan para aktivis lainnya menata kebijakan pro-buruh lewat penerbitan Permenaker No.150 tahun 2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan upah pesangon, uang penghargaan dan ganti rugi oleh perusahaan. Setelah turun jabatan, Gus Dur juga merelakan kediamannya di Ciganjur menjadi penampungan buruh migran yang diusir dari Malaysia.
Pembelaan Gus Dur kepada buruh migran nyaris dilakukan secara total. Dan itulah yang membuat tokoh ini saya kagumi, dan karena itu perlu diteladani, perjuangannya mesti dilanjutkan.
Baru-baru ini, saya mendengarkan langsung kesaksian Nisa, TKI asal Cianjur, yang bercerita tentang kisah pilunya.
Maret 2010 lalu, Nisa direkrut oleh sponsor dan diberangkatkan ke Jeddah. Setibanya di Jeddah, ia dijemput majikan perempuannya. Paspor dan visanya tiba-riba dirampas, konon katanya agar tak bisa kabur. Nasib Nisa tragis: selama 16 bulan bekerja tanpa digaji, 23 jam bekerja tiap hari.
Perlakuan sang majikan terhadapnya sangat tidak manusiawi. Ia dibangunkan dari tidur dengan cara disiksa, dijambak rambutnya, lalu kepalanya dibenturkan ke tembok, dipukul dengan botol hingga gigi patah, atau tangannya ditempeli panci panas. Nisa tinggal di rumah selalu terkunci, kamar tidurnya berada di gudang bersama barang-barang bekas, dan makan sajian makanan basi dan minumnya air basbus, air bekas mencuci piring atau cuci pakaian.
Itu hanya sepenggal kisah para buruh migran kita --mereka Nahdliyin juga-- yang menjadi budak di negara orang. Banyak pula penindasan lain yang dialami mereka: mulai penipuan hingga pungutan liar saat pembuatan dokumen keberangkatan. Adapun di negara tujuan, mereka juga diperbudak: diperjualbelikan ke beberapa majikan, dieksploitasi tenaganya, hingga dilecehkan dan diperkosa. Penderitaan mereka masih belum berakhir: saat kepulangan, mereka dijerat pungli di bandara.
Perhatian besar Gus Dur terhadap nasib buruh migran ini sangat masuk akal. Mereka adalah anak-anak negeri yang terdzalimi. Paling tidak, mereka terpinggirkan dalam tiga hal: pertama, mereka terdzalimi dalam masyarakat kapitalis; kedua, mereka terasing dari negara sendiri; dan ketiga, mereka terpinggirkan dalam masyarakat patriarkis. Berlapis-lapisnya status marjinal ini membuat posisi Buruh Migran Indonesia sangat rentan. Secara bersamaan, mereka terbatas dalam kemampuan kerja dan adaptasi dengan lingkungan budaya yang baru, mereka minim memperoleh sistem perlindungan yang memdai, dan situasi sosial budaya yang tidak mendukung posisi buruh migran.
Saya sendiri selalu belajar dari sosok Gus Dur, yakni bagaimana ia mentransformasikan nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan dalam memperjuangkan kaum mustadl’afin agar menjadi inspirasi gerakan generasi muda.
Meskipun Gus Dur sudah tiada, namun gagasan-gagasannya harus ditebar, diinterpretasikan ke dalam tindakan-tindakan yang lebih nyata. Kontekstualisasi penafsiran al-Quran dan pemahaman kitab kuning terhadap persoalan kebangsaan mestilah menjadi spirit gerakan.
Bukankah Islam cukup jelas menentang adanya manusia mengeksploitasi manusia lain?! Itu tercermin dari surat al-An’am ayat 145 bahwa haram hukumnya “memakan darah yang mengalir”. Tuan-budak memeras tenaga para budaknya, tuan-tanah memeras tenaga hamba taninya, tuan-kapitalis “mencuri” tenaga kerja kaum buruh. Budak, tani hamba, buruh tidak akan dapat diperas, bila darah tidak mengalir lagi dalam tubuh mereka.
Gus Dur yang saya kagumi ini juga menafsirkan hubungan relasi buruh-majikan sebagai sesuatu yang konkret, yaitu keadilan dan kesetaraan. Sistem ekonomi klasik menempatkan hubungan buruh-majikan dalam posisi antagonistik: majikan lebih superior sedangkan buruh inferior (al-mustadl’afin). Sedangkan Islam menempatkan keduanya dalam hubungan kemitraan, saling percaya dan melengkapi. Kedua pihak musta’jir (orang yang memperkerjakan) dan mu’jir (orang yang dipekerjakan) sama-sama memiliki kepentingan dan saling melengkapi sebagai mitra kerja. Karenanya, Islam mengatur agar keduanya memenuhi tugasnya dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara adil.
Dalam berbagai kesempatan, spirit inilah yang saya bagikan kepada generasi muda NU sejauh yang saya mampu, khususnya Korp PMII Putri dimana saya sendiri berada. Kita seharusnya mengikuti Gus Dur untuk berperan aktif dalam sejarah kemanusiaan. Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang kehidupan akhirat tapi harus mampu melibatkan diri dalam dialektika sejarah sosial-politik manusia. Sebagaimana al-Qur’an memberi peringatan: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata, ‘Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!’”.(Q.S. an-Nisa 75). Begitu pula dalam hadits, Rasulullah bersabda: “Carilah aku di tengah-tengah komunitas fakir”.
Saya percaya kutipan tersebut adalah seruan agar kita menjadi “pendampingan” dalam kegiatan advokasi. Disana juga saya, anda dan kita semua mengagumi Gus Dur sebagai pemimpin yang berjuang bersama kaum mustadl’afin. Gus Dur memang telah tiada, tapi spirit dan militansinya tak pernah hilang, tetap menyala!
AI RAHMA, Ketua Umum KOPRI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Barat.
Sumber: NU Online
Terbitan: Jumat, 27/12/2013 19:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar