Mbah Maimoen Gurune Wong NU
Ketika sampai di Pesantren Al-Anwar Sarang, tadi malam, saya mendengar nada nada tentang NU dilantunkan Habib Syaikh dengan santai, namun meriah. Salah satu bait yang saya hafal ada kalimat "Mbah Maimoen Gurune Wong NU".
Membicarakan Mbah Maimoen, ibarat bercerita tentang samudera atau angkasa dengan segala kabar baru yang membuat kita terpana.
Tiba tiba dalam usia sepuhnya (86 tahun) beliau satu panggung dengan Habib Syaikh. Sekali lagi mata ini memandang wajah tua itu penuh misteri, dada saya berkecamuk, otak saya berhenti beraksi, kenapa dan ada apa ini? Jawaban dan bisikan bantahan saling mengganti ruang tanya dalam hati saya, dan akhirnya menyumbat begitu saja, kebingungan.
Sufi tua itu sekali kali mengangguk anggukkan kepalanya. Sesekali jari tangannya mengetuk ngetuk pelan mengiringi rebana, dan sekali kali mengangkat wajah dan suaranya mengikuti lantunan syair Habib Syaikh.
Kemudian ulama tua itu menundukkan kepala, tertekur, dan ketika mengangkat kepalanya kembali, air matanya mengalir membanjiri wajah keriputnya.
Ketika saya menyadari taqdir Allah memberi kesempatan berada persis di depan Najih Maimoen, bagaikan berada dalam muara sungai yang mempertemukan air dingin dan panas, energi yang tercipta sungguh melumpuhkan kerja otak saya. Semula saya berjongkok di antara dengung shalawat itu, namun tiba-tiba gelisah wajah Gus Najih memaksa saya berdiri, terus berdiri dan berdiri tertopang lutut yang gemetar.
Saya pun lebih sering memandang Gus Najih yang lebih banyak menunduk. Hanya sekali kali memandang layar monitor yang di sana wajah bahagia Habib Syaikh dan Abahny sedang membagi energi.
Di sana kutemukan wajah roja Mbah Maimoen mempesona. Di sini saya menyelam pada wajah khouf Gus Najih menahan siksa.
Mahallul Qiyam........
Mbah Maimoen dengan dipapah bangkit berdiri. Dengan semangat luar biasa, beliu melepaskan papahannya, seakan beliau ingin menyambut Nur Muhammad itu dengan segenap kekuatannya, bibirnya bergerak, wajahnya dipaksa tegak ikut melantunkan puji pujian untuk kekasinya.
Kembali saya dibuat gila. Kali ini seluruh otot dalam tubuhku benar benar melumpuh. Saya buang tubuhku bersandar di pagar tembok. Dada saya benar benar penuh. Ingin saya menangis, tetapi mata ini terlalu panas untuk sekedar meneteskan air mata.
Lagu Indonesia Raya dilantunkan bersama. Gemuruh juang habib Syaikh mengguntur membahanakan suasana, memaksakan para hadirin ikut mengiringinya dengan tanpa malu.
Mbah Maimoen si sufi tua masih tetap berdiri bercanggah tongkat ikut meneriakkan nyanyian Indonesia Raya, gemetar tubuhnya tak kuasa menahan berkumpulnya semangat dan linangan air matanya.
Saya yang tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun memandang wajah Mbah Maimoen yang tiba tiba kembali muda. Tenaga saya seolah olah telah berpindah ke sana, melemas lunglai dan masih tetap semampir di pagar tembok ini.
Tiba tiba selintas membayang para wajah pejabat bangsat yang sedang bersujud di depan pahlawan bangsa itu. Namun tiada ampun, pedang panglima itu menebas leher leher mereka, darahnya sebagian muncrat ke wakah Mbah Maimoen dan Habib Syaikh. Mereka berdua semakin gagah dan tampan bersolek darah, sedangkan darah yang mengalir itu menenggelamkan mayatnya dalam neraka.
( ZAINAL MA'ARIF )
Sumber: NU Online
Terbitan: Sabtu, 14/12/2013 13:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar